Bab 14 Arum dan Rumah
Bab 14 Arum dan Rumah
"Mereka bilang saya tidak mendidik anak perempuan saya dengan baik. Tahu apa mereka! Saya paling ndak suka sama orang yang sok tahu urusan hidup orang lain. Gayatri perempuan yang mirip saya, saya ajarkan pelajaran hidup mengenai apa saja yang tidak akan didapatkan di bangku sekolah manapun. Sampeyan bayangkan apa ada pelajaran tawar menawar harga sampai mendapat kortingan terendah di bangku sekolah?
Bagaimana caranya menarik pelanggan untuk datang dan membeli. Bagaimana caranya agar tahan berdiri berjam-jam seperti Gayatri dan buruh lainnya ketika sedang berjualan di depan emperan jalan dan masih banyak lainnya. Apa bangku sekolah mengajarkan itu? Mana ada! Tidak ada! Anak-anak sekolah seperti Gayatri dan Arum hanya sibuk diajarkan pelajaran menghafal yang tidak tahu apa maksudnya," ujar Mak Ratih yang masih kesal.
"Ya memang itu benar, Mak. Bahkan sekolah juga tidak mengajarkan bagaimana mendidik anak agar mereka paham dengan hal seperti ini. Mereka terlalu disibukkan dengan tugas sekolah yang sangat banyak sampai tidak sempat untuk menikmati hidup. Beda dengan zaman kita dulu sekolah."
"Ya! Dan tidak ada yang mengajarkan soal bentuk kekerasan seksual. Apa sekolah pernah kasih pelajaran?! Bayar mahal-mahal tapi ndak dapat apa-apa. Susah memang! Sekolah seperti tidak becus menjalankan perannya. Andaikata setiap sekolah mengajarkan pelajaran soal bentuk pertahanan diri terutama bagi perempuan yang mau dilecehkan, setidaknya kita bisa melindungi anak-anak perempuan diluar sana sehingga jangan ada lagi Arum atau Gayatri yang lainnya. Sepertinya gulungan kain sampeyan sudah siap. Hei bujang, bagaimana?" ujar Mak Ratih seraya memanggil salah satu buruhnya.
***
Bapak baru kembali ke rumah menjelang maghrib. Ia berusaha pulang lebih cepat namun angkot tadi sore mengangkut banyak penumpang dan sering sekali berhenti. Sehingga makan waktu dan Bapak tidak dapat apa-apa. Di jalan ia mengkhawatirkan Arum, apakah ia sudah makan? Bapak sudah menyiapkan sebelum berangkat tadi di tudung bawah tutup meja makan. Bapak harap ia sudah makan. Sesampainya di rumah Bapak segera menaruh gulungan kain, jarum pentul langsung dimasukkan ke wadahnya, dan tidak lupa berlembar-lembar kain flanel dengan berbagai warna. Ia ingin menunjukkan pada Arum setelah makan malam nanti.
Namun ketika melihat meja makan betapa terkejutnya Bapak. Makanan tadi siang yang Bapak siapakan tidak ada. Semua diganti masakan baru yang masih panas dengan asap yang mengepul ke udara. Aromanya begitu sedap. Bapak merasa benar-benar kebingungan, "Siapa yang memasak ini semua?" Semuanya lengkap, mulai dari lauk pauk, nasi dalam dandang sampai sayur baru.
Arum keluar kamar dengan mengikat setengah rambutnya menggunakan jepit rambut yang ia buat dari kain flanel. Bapak melihatnya dengan takjub. Arum tidak memandang Bapak dan hanya menunduk lantas segera duduk seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Bapak dengan gelagapan mengikutinya untuk duduk dan langsung mengikuti Arum yang mengambil piring. Bapak melihatnya makan dengan lahap bahkan kali ini sangat lahap. Ada nafsu untuk makan tidak seperti hari-hari lain selama belasan tahun lalu. Tidak ada lagi makanan sekadar nasi putih, tahu putih dan air putih. Arum makan seperti halnya orang normal makan.
"Keasinan, Pak?" tanya Arum tiba-tiba.
Bapak kaget bukan main dan tidak sengaja tersedak, "Maaf, Bapak makannya terlalu cepat jadi tersedak," ujar Bapak berusaha menutupi kegugupannya. "Ndak asin, rasanya pas." jawab Bapak berusaha untuk menyenangkan Arum.
Ia kembali makan dengan lahap. Bapak pun mengikuti irama makan Arum yang nampak nikmat.
"Bapak sudah beli kainnya. Kau bisa ambil--"
"Biar Arum yang ambil sendiri, Pak." ujar Arum cepat.
Bapak mengangguk dan mengiyakan.
***
Sepertinya kau lebih suka di rumah ya. Aku juga. Sekecil dan sesederhana apapun rumah itu aku tetap senang, karena aku jadi punya ruang untuk diriku sendiri. Aku suka berada di rumah karena aku merasa lebih tenang, namun bukan berarti aku tidak keluar sama sekali. Aku juga harus bekerja dan bertemu dengan orang-orang, setidaknya untuk bertegur sapa dan menanyakan kabar.
Sepertinya kegiatan di rumahmu begitu menyenangkan. Aku baru tahu jika kau bisa merangkai bunga dan menjahit. Aku tidak terlalu bisa merangkai bunga, namun aku suka ketika memperhatikan seseorang bekerja di toko bunga. Kadang aku kerap memperhatikan mereka dari luar jendela, seperti bagaimana mereka merangkai bunga demi bunga. Ada juga yang merangkainya satu helai demi satu helai. Betapa telitinya mereka, sama sepertimu. Aku yakin pasti rangkaian bungamu pasti sangat indah dan mempesona. Tanpa melihatnya pun aku merasa sudah tahu saja.
Sama seperti namamu Arum yang berarti harum. Bunga itu tidak hanya beraroma harum namun juga memberikan serangkaian perasaan yang tulus dan penuh dengan kasih sayang. Aku sangat senang jika mendapat satu helai bunga darimu, bunga apa saja. Namun, aku tidak terlalu berharap. Aku sudah sangat senang mengetahui namamu sebagai Arum. Seperti aku dapat mencium semerbak bunga dan dirimu hanya dari surat yang kau kirim kemarin dan kemarinnya lagi.
Arum buru-buru mengambil satu tangkai bunga mawar yang baru saja ia hias di dalam plastik. Ia buka kembali bingkisan buket tersebut dan menatanya di atas kertas menggunakan lem. Satu demi satu helai ia rangkai sampai berbentuk hati yang begitu manis. Warna merah bunga mawar tampak begitu mempesona di atas kertas yang Arum buat. Tidak lupa ia menuliskan kata-kata dalam pikirannya yang mengalir begitu saja. Tulisan tangan Arum sangat indah. Ia dapat menulis latin yang begitu rapi seperti abad ke 19 ketika orang menulis menggunakan bulu burung dan tinta hitam.
Kali ini Arum dapat menulis lebih lancar dari sebelum-sebelumnya. Ia hanya menghabiskan tiga lembar kertas yang is sobek karena ada kesalahan ejaan. Ini adalah bukti kemajuan yang progresif dari tulisannya yang lalu. Seolah-olah kata itu muncul begitu saja dan tangannya mampu merekam tanpa perlu berpikir panjang. Ia bercerita soal hari-harinya di rumah termasuk ketika ia berhasil masak untuk pertama kalinya. Bapak bilang masakannya tidak keasinan dan ia senang mendengarnya.
Aku takut jika masakanku tidak enak. Karena selama ini lidahku mati rasa. Aku tidak dapat merasakan bumbu apapun. Aku pertama kali datang ke dapur dan mencicipi satu persatu toples yang ada di situ. Pertama kali merasakan garam aku sampai meludahkannya ke bak cuci piring. Asin sekali! Aku juga mencoba gula. Aku suka rasanya. Maka dari itu aku bertanya pada Bapak apakah keasinan, karena aku tidak terlalu suka yang terlalu asin. Lidahku seperti kelu ketika aku memasak malam itu. Bapak sedang tidak ada di rumah, ia sedang ke pasar untuk membelikan kain flanel padaku dan beberapa gulungan kain berukuran sedang. Aku memberanikan diri untuk melakukan hal yang belum pernah kulakukan.