Bab 15 Bagaimana Jika Mereka Menyakitiku?
Bab 15 Bagaimana Jika Mereka Menyakitiku?
Demikian adalah segelintir tulisan yang mengalir dari pikiran Arum. Ia bercerita lebih panjang lagi bagaimana ia tidak tahu apa bedanya merica dan ketumbar. Baginya kedua bumbu dapur berbentuk biji kecil-kecil itu sama saja tidak ada bedanya sama sekali. Arum begitu antusias menceritakan kesehariannya selama di rumah. Sebelumnya ia tidak tahu harus bercerita apa. "Apakah aku harus keluar ke halaman agar ceritaku lebih menarik?" pikir Arum.
Namun, bayangan akan bangunan rumah yang belum jadi itu sekelebat muncul di pikiran Arum. Ia berhenti sejenak dan memandang dirinya di depan cermin. "Apa aku harus keluar rumah?" ucapnya pada Arum yang sedang berada di cermin. "Namun, aku takut. Aku merasa begitu takut. Bagaimana jika segerombolan pria itu datang dan menyakitiku lagi? Bagaimana jika mereka menidurkanku dan memasukkan penis mereka ke bawah rok ku secara bergilir lagi?" Tanpa terasa, air mata Arum menetes begitu saja membasahi suratnya. Ia tersadarkan dan berusaha mengelapnya namun terlambat, air matanya sudah meresap dengan cepat. "Ah, bagaimana ini?!" Arum merasa kesal. Ia ingin ganti kertas lagi, namun rangkaian bunga mawarnya begitu indah. Ia tidak ingin membuangnya begitu saja. Tiga tetes air mata membekas pada sepucuk surat yang akan dikirim melalui gulungan tikar Bapak.
Arum sedikit menyesal mengapa ia harus menangis. Kertasnya jadi kotor dan lecek karena air mata. Padahal tidak terlalu kentara. Namun, Arum merasa kertas tersebut begitu buruk. Ia ingin mengirim sesuatu yang istimewa pada seseorang yang entah dari mana asalnya. Ia seperti muncul begitu saja tanpa disengaja. Bahkan Arum tidak tahu namanya. Ia juga tidak tahu apakah ia laki-laki atau perempuan. Yang jelas ia merasa nyaman untuk berbagai cerita dengan orang ini. Arum berfirasat sepertinya ia seorang laki-laki namun ia tidak ada bayangan sama sekali seperti apa orang ini, berapa usianya, apakah mereka seusia atau ia jauh lebih tua, apakah orang ini tinggal di kompleks yang sama atau jauh, apakah orang ini bekerja di pasar karena selama ini surat yang ia berikan selalu datang ketika Bapak pulang dari pasar. Arum tidak tahu sama sekali. Ia juga tidak terlalu pusing memikirkannya. Ia merasa memiliki seorang teman setelah sekian lama mengurung diri dan enggan untuk keluar.
Hal di luar rumah adalah sesuatu yang mengerikan baginya. Orang yang lalu lalang melewati pagar rumah yang mencurigakan bagi Arum. Siapapun orang itu, entah penjual kaki lima yang baru mau membuka lapaknya pukul lima sore. Atau tukang sayur yang datang pagi hari dan dikerumuni ibu-ibu kompleks dengan gosip yang tidak ada habisnya. Bapak-bapak yang bermain catur di cakruk depan pagar rumah Arum. Atau bahkan Pak Yono sekalipun. Arum selalu menaruh rasa curiga dan was-was pada siapapun yang lewat rumahnya. Ketakutan itu datang dengan sendirinya dan tiba-tiba. Arum kerap tersentak hebat ketika ada paket datang yang hendak mengirim barang Bapak. Ia tidak mau menerima tamu dari siapapun dan langsung berlari ke kamar. Bapak yang kemudian buru-buru keluar sambil mengatakan, "Tidak apa, Arum ini hanya kurir yang mengantar paket Bapak," ujar Bapak yang tampak gelisah melihat Arum yang begitu paranoid yang Bapak sendiri tidak tahu juntrungannya.
Arum segera mengintip dari balik gorden dengan wajah curiga sekaligus cemas. Bapak mengamatinya dengan perhatian sambil menahan rasa sedih. "Bapak kurirnya sudah pergi, kau bisa melanjutkan merangkai bunga. Tidak apa, tidak ada yang akan masuk rumah," ujar Bapak merasa kasihan dengan Arum yang seolah-olah sedang diintai mara bahaya yang maha dahsyat. Baru setengah jam kemudian Arum dapat tenang. Ia terus mengintai dari balik jendela takut jika sewaktu-waktu ada yang datang lagi. Bapak berusaha meyakinkan bahwa tidak ada siapa-siapa. Namun, ketakutan Arum yang muncul dari pengalaman masa lalu begitu mengenaskan.
"Arum, tidak ada siapa-siapa. Hanya orang-orang biasa saja yang lewat."
"Bagaimana jika pria-pria itu datang dan menyetubuhiku lagi?!" ujar Arum dingin dengan sorot mata yang begitu tajam.
Bapak terdiam lama, sangat lama sampai ia tidak dapat berkata satu kata pun. Arum menatapnya Bapak seolah-olah menuntut jawaban dari pertanyaan yang begitu menyakitkan bagi Bapak. Seketika air mata Bapak menetes, Arum masih sibuk mengintip dari balik tirai putih vitrase yang Bapak jahit beberapa waktu lalu. Bapak mengusap air matanya dan membalikkan tubuh menutupi sesenggukan tangisan yang tidak ingin ia tunjukkan di hadapan Arum. Betapa hancur hatinya ketika mata itu menatap Bapak dengan begitu ganas. Mata yang begitu terluka sekaligus tidak menaruh harapan apa-apa lagi untuk hidup. Bapak tidak sanggup menatap matanya lebih lama lagi. Ia kembali ke meja jahit dengan air mata yang terus mengalir sedangkan Arum masih sigap mengintip dari balik tirai mengawasi semua orang yang lewat pagar rumahnya.
"Lain kali suruh orang itu mengantar sampai depan pagar saja," ujar Arum tiba-tiba dengan ketus.
"Maafkan Bapak, Arum. Bapak tidak segera keluar rumah ketika paket itu tiba. Bapak tidak bermaksud untuk membuatmu takut."
"Pokoknya lain kali jika ada orang yang hendak datang, cukup sampai depan pagar saja!" tegas Arum sekali lagi dan langsung beranjak pergi.
Bapak mengangguk menurut akan suruhan Arum.
***
Aku begitu kesal jika ada sembarangan orang masuk ke halaman rumahku. Jangan masuk sampai rumah, masuk halaman rumah saja aku tidak suka. Siapapun dia aku tidak suka. Apakah aku salah? Bagaimana jika orang-orang itu hendak menyakitiku lagi? Aku tidak mau!
Demikian surat pembuka yang Arum tulis mengenai keluh kesahnya hari itu. Ia berharap jika balasan surat dari orang itu tiba ia akan segera membalasnya.
Aku tidak menyalahkan Bapak sebenarnya, namun aku seperti tidak tahu harus melampiaskan kepada siapa dan kebetulan hanya ada Bapak di sini. Bapak tidak salah, hanya saja ketakutan terhadap dunia luar sangat tinggi dan tidak dapat dikontrol. Sudah cukup orang-orang itu menyakitiku dan membuatku terpuruk seperti sekarang. Aku tidak mau berurusan dengan mereka lagi. Apakah kau sering keluar dari tempat persembunyianmu? Bagaimana rasanya berada di luar rumah? Apakah menyenangkan atau justru kau menjadi khawatir seperti aku?
Arum menuliskan semua unek-unek yang ia rasakan pada hari itu. Tiga lembar kertas ia habiskan untuk menceritakan semuanya secara detail. Ia tidak ingin orang itu melewatkan satu hal pun yang terjadi hari ini. Ia harus membagi ceritanya selama di rumah saja. Tidak lupa ia berikan kelopak bunga sebagai pemanis dan siap untuk dikirim melalui gulungan kain Bapak.
Ada perasaan lega yang ia rasakan. Seperti semua kekesalannya terbawa oleh surat itu.