Bab 16 Menunggu Surat Baru
Bab 16 Menunggu Surat Baru
"Bapak tidak membeli kain lagi?" tanya Arum pagi-pagi.
Bapak sedikit heran namun berusaha untuk menyembunyikan perasaannya. "Ada apa? Apa kau butuh kain flanel lagi? Atau kain lainnya, Bapak bisa segera ke pasar kalau itu yang kau butuhkan."
Arum bingung hendak menjawab apa. Kain flanel dan pernak-pernik bonekanya semua masih ada. Persediaan buket bunganya pun masih banyak, Bapak sengaja membeli lebih agar tidak bolak-balik keluar rumah.
"Apa ada bahan yang habis?" tanya Bapak yang menangkap kebingungan Arum.
"Tidak..." Arum beranjak pergi ke kamarnya sambil membawa berbagai tangkai bunga dan perlengkapan hiasan lainnya. Ia tidak tahu harus mencari alasan apa supaya Bapak pergi belanja dan pulang membawa gulungan kain lagi. Bapak melihatnya masuk ke kamar namun pintu tetap terbuka tidak ditutup rapat.
Di dalam kamar Arum merasa resah. Sudah seminggu ini Bapak tidak membeli bahan apapun lagi. Sedangkan ia menunggu kedatangan surat-surat itu. Apakah surat itu sampai pada orang yang ia tuju? Bagaimana jika ternyata surat itu jatuh di jalan atau sudah rusak karena terselip di gulungan yang banyak dipegang orang. Arum tahu jika perkampungan pasar pasti penuh dengan orang dan keramaian. Ia khawatir jika surat itu justru ditemukan oleh orang lain dan dibaca seenaknya saja. Lantas orang tersebut tertawa dan memandang remeh layaknya "Apa ini? Sepucuk surat yang tidak ada artinya."
Arum khawatir. Berulang kali ia mondar-mandir di kamar namun tidak kunjung pula menemukan alasan yang tepat agar Bapak kembali ke pasar atau kemanapun tempat yang biasanya Bapak membeli kain. "Apakah aku harus berpura-pura untuk kehabisan kain? Namun, bagaimana? Tidak mungkin aku membuat boneka, jepit rambut dan gantungan kunci dalam sehari jadi. Aku tidak akan sanggup, terlalu banyak." Arum terus berpikir bagaimana caranya. "Bagaimana jika kubuang sebagian kain ini atau pernak-perniknya, sehingga Bapak akan segera pergi belanja ke pasar." Namun, ia merasa sepertinya itu ide buruk. Bapak menyisihkan uang hanya untuk membelikan Arum ini, masa iya, ia tega seenaknya membuang begitu saja.
Arum mendesah berat. Ia ingin sekali rasanya membaca balasan surat dari orang itu. Apa seperti ini rasanya menunggu ketidakpastian?
***
"Tumben sekali sampeyan datang hari ini. Cari apa?" ujar Mak Ratih
"Apa ada kain lagi? Ini untuk Arum."
"Sebentar kutanyakan Yono dulu." Mak Ratih memanggil Yono yang sedang sibuk menawar harga di lapak sebelah. "Arum ingin warna apa?"
Bapak kebingungan, Arum tidak pernah meminta sesuatu secara spesifik. Mak Ratih membaca kebingungan Bapak.
"Kuberikan semua warna saja mungkin ya," ujarnya cepat dan Bapak hanya menuruti saja. "Apa kau butuhkan lagi, bagaimana dengan gorden yang kemarin? Apa sudah jadi?"
"Sebentar lagi jadi, Mak, saya butuh waktu lebih saja."
"Baiklah, setidaknya sudah ada toleransi dari pelanggan, usahakan jadi tepat waktu."
Bapak mengerti.
"Gulungan lagi?" tanya Mak Ratih.
"Gulungan di rumah masih banyak, Mak."
"Apa sampeyan yakin?"
Sebenarnya Bapak jarang membeli gulungan karena beberapa pelanggan masih belum mengambil pesanannya dan membayar. Sehingga belum ada pemasukkan yang lebih untuk membeli gulungan kain. Apa Arum tahu jika aku sedang kesulitan uang sampai bertanya mengapa aku tidak pergi membeli gulungan, pikir Bapak.
"Pie? Kalau mau saya carikan."
"Ndak usah dulu, Mak. Saya masih ada."
"Kalau beli hari ini saya kasih kortingan, mau ndak?" ujar Mak Ratih menatap sambil menurunkan kaca matanya yang berlensa berat.
Mak Ratih tahu jika Bapak butuh gulungan kain namun tidak mampu membelinya. Ia berusaha membantu sekaligus tidak ingin membuat harga diri Bapak jatuh. Bapak bukan model orang yang suka meminta-minta sama dengan Mak Ratih. Itulah sebabnya mengapa Mak Ratih menimpalin dengan memberi kortingan khusus hari itu.
"Jika beli sekarang jadinya berapa, Mak?"
"Saya hitungnya dulu."
"Saya tanya saja dulu ndak papa ya, Mak."
"Sebentar, saya hitung dulu," ujar Mak Ratih sambil mengetik angka-angka di kalkulator.
"Bagaimana dengan harga ini?" uajr Mak Ratih menyodorkan pada Bapak.
Bapak menatap Mak Ratih. "Mak, tidak mungkin harganya segini. Ini terlalu murah," ujar Bapak merasa tidak enak sendiri.
"Bagaimana dengan ini?" Mak Ratih menyodorkan kembali kalkulator dengan perhitungan lain. Bapak menimbang-nimbang harga tersebut, Mak Ratih pasti sengaja memberikan harga yang lebih murah agar Bapak dapat membeli kain dan tetap menjaga uang untuk rumah dan Arum.
"Apa masih tidak terlalu murah, Mak?" tanya Bapak khawatir.
"Sudah ambil saja harga ini, khusus hari ini." Mak Ratih mendesak Bapak yang akhirnya diterima dengan perasaan sedikit tidak enak.
Mak Ratih segera memanggil salah satu buruhnya untuk menyiapkan pesanan Bapak. Dua orang buruh segera menurunkan gulungan tikar super besar dan memotong kainnya menjadi bagian. Buruh kain Mak Ratih tampak begitu terlatih. Sekali memotong kain terbagi menjadi dua dengan sudut-sudut yang sangat rapi, tidak ada miring sama sekali. Semuanya seperti itu. Mereka bekerja dari pagi sampai sore, terus menerus melayani banjir pelanggan dari berbagai daerah. Seperti tidak ada jeda sama sekali. Bapak dapat mencium aroma tubuh yang penuh keringat dan lengket itu.
Beberapa di antara mereka ada yang seperti berusia sama dengan Arum. Mereka termasuk anak-anak yang senagaja dipekerjakan Mak Ratih ketimbang jadi anak pinggir jalan yang ngamen kemudian ikut ngelem atau nyabu karena pergaulan jalanan kota yang keras. Di lapak Mak Ratih tidak ada yang boleh membawa miras atau nyabu. Jika ketahuan akan langsung dipecat, tidak ada toleransi sama sekali. Mak Ratih adalah perempuan yang keras pendirian. Ia masih bisa menerima asap rokok namun tidak untuk hal lainnya. Apalagi sampai membawa perempuan, jelas akan ia dupak dari lapaknya.
Beberapa buruh kain seringkali jagongan sambil merokok dan minum kopi ketika jam istirahat. Mak Ratih mempersilahkan bagi mereka yang hendak sholat dan makan siang di warteg atau angkringan bawah. Namun, setelah itu kembali lagi ke toko tepat waktu, Mak Ratih tidak suka karyawan yang seenaknya pergi dan pulang tanpa tahu waktu kerja. Meskipun ini hanyalah perkampungan pasar yang penuh dengan kesan kotor dan buruh-buruhnya yang kucel dan amburadul, namun Mak Ratih memiliki etos kerja yang tinggi dan disiplin. Ia tidak segan-segan untuk menegur bahkan memecat karyawannya yang tidak menghargai waktu dan kerja karyawan lain.
"Ini gulungan sampeyan dan ini kain untuk Arum. Sekali tadi Yono dapat aksesoris ini, supaya jahitan Arum lebih cantik saja. Yang aksesoris ini tidak usah bayar, ambil saja--"
"Ndak, Mak, jangan seperti itu. Saya jadi nggak enak."
"Anggap saja itu hadiah saya buat Arum. Supaya dia lebih semangat buat karya bonekanya yang baru," ujar Mak Ratih sambil mengemas barang Bapak.