Bab 17 Menetap Di Rumah untuk Selamanya?
Bab 17 Menetap Di Rumah untuk Selamanya?
Bapak membuka pintu depan. Barang bawaan yang banyak membuatnya kesulitan masuk. Arum yang melihatnya dari dalam kamar langsung keluar untuk membantu. Bapak terkejut bukan main, namun bersikap seolah-olah biasa saja.
"Kenapa Bapak tidak bilang jika hendak membeli kain lagi?" tanya Arum. Nada suaranya berbeda tidak seperti pagi tadi yang ketus dan tidak ingin mendengar alasan lain selain mengapa Bapak tidak pergi beli kain. Seolah-olah pertanyaan itu menyuruh Bapak untuk pergi dari rumah dan segera ke pasar untuk membeli kain atau apapun, yang penting adalah pergilah ke pasar segera.
"Iya, Bapak lihat kau di kamar dan tidak ingin menganggu, jadi Bapak pergi tanpa pamit."
Arum tidak terlalu menggubris Bapak yang berusaha sedang menjelaskan sesuatu. Perhatian sudah beralih ke dua gulungan yang baru Bapak bawa dari pasar. Bapak melihatnya terburu-buru membuka gulungan tersebut.
"Apa kau juga ingin menjahit kebaya atau gorden?" tanya Bapak dari belakang pundak Arum. Bapak memperhatikan sepertinya ia sedang mencari sesuatu namun dialihkan dengan pertanyaan lain.
Arum sedikit gugup ketika Bapak menatapnya lama. Ia berusaha menutupi kegugupannya dengan merapikan kembali gulungan kain. Barang ia cari belum ditemukan.
"Tidak, Pak. Apa Bapak beli kain flanel juga?" ujar Arum mengalihkan.
"Ya, Bapak beli, ada di plastik satunya." Bapak mengeluarkan sepuluh lembar kain flanel termasuk aksesorisnya.
"Ini dari Mak Ratih, katanya untukmu."
"Siapa Mak Ratih?"
Bapak ingat Arum tidak kenal siapapun di luar rumah ini. "Mak Ratih adalah pemilik lapak kain yang baisa Bapak kunjungi untuk membeli semua ini, termasuk kainmu. Bapak kenal dengannya sudah cukup lama karena Pak Yono yang kerap mengambil dan mengantar pesanan. Kain flanel yang sebelumnya juga Mak Ratih yang pilihkan, yang kau pegang sekarang pun juga ia yang carikan," ujar Bapak.
"Apa semua gulungan ini dari lapaknya Mak Ratih juga?"
"Ya, benar. Bapak selalu membeli kain di sana tidak pernah pindah tempat."
"Apakah di sana ada banyak orang?"
"Maksudmu pasar?"
"Bukan, toko Mak Ratih?"
"Ya, Mak Ratih punya cukup banyak karyawan ada yang tua sampai yang seusiamu semua ia perkerjakan dan jamin untuk hidup layak. Ada banyak para pekerja di sana yang digaji ala kadarnya, namun tidak dengan Mak Ratih. Bapak sering sekali mendapat harga miring dan bonus-bonus lain seperti aksesori yang ia berikan ini."
"Seperti apa orang-orang di sana?" tanya Arum penasaran.
Bapak sedikit menurunkan suaranya hendak melihat sejauh mana Arum akan bertanya hal yang sangat jarang ia tanyakan. "Ya, biasa mereka bekerja dari pagi sampai sore bahkan malam, hampir sama seperti kita namun bedanya kita bekerja dari rumah. Mereka harus memikul beban yang berat di pundaknya entah itu gulungan tikar yang sangat besar, batang besi atau kayu untuk jendela, tirai-tirai pesanan pelanggan dari luar kota atau bahkan luar negeri sampai barang lainnya. Kebanyakan dari mereka laki-laki hanya Mak Ratih seorang yang perempuan. Dulu ada satu perempuan namanya Gayatri, anak perempuan satu-satunya Mak Ratih. Ia yang kerap membantu, namun sekarang sudah tidak."
"Mengapa begitu?"
Bapak mengusap wajahnya bingung hendak menjelaskan dari mana. Bapak ingat bahwa Gayatri adalah kisah lama yang nyaris seperti Arum bahkan dapat dikatakan serupa namun berbeda kejadian dan tempat. Bapak mengambil kursi dan mengusap wajahnya untuk menutupi rasa gugupnya.
"Gayatri sedang sakit..." ujar Bapak pelan.
"Sakit apa?"
"Bapak tidak enak jika bertanya lebih lanjut ke Mak Ratih, hanya saja ia berkata Gayatri sedang sakit dan harus terus di rumah."
"Apakah ia di rumah selama aku?"
Bapak terdiam cukup lama sambil berpikir keras.
"Ia di rumah sampai dikatakan dapat cukup kuat untuk beraktivitas lagi."
"Maksudku apakah ia juga tinggal di rumah selamanya sepertiku."
Seketika Bapak menjadi begitu sedih. Hatinya merasa tersayat mendengar kata 'selamanya' yang barusan Arum ucapkan tanpa beban. Apakah ia benar akan tinggal di rumah ini selamanya? pikir Bapak. Apakah ia benar-benar tidak ingin melihat dunia luar? Bapak ingin ia kembali seperti dulu. Sebagai gadis perempuan yang periang dan selalu ingin tahu akan banyak hal. Bukan yang saat ini ia lihat di depannya. Ia ingin Arum yang dulu kembali, namun ia tidak dapat memaksakan apapun. Arum masih terbelenggu dalam rasa takut dan trauma berkepanjangan atas kejadian sepuluh tahun lalu itu. Begitu pula Bapak. Ia merasa ini adalah salahnya. Ia tidak layak dipanggil Bapak karena tidak mampu melindungi gadisnya, hanya satu gadis dan ia gagal. Bapak merasa sangat menyesal. Ia merasa bersalah atas apa yang menimpa Arum. Harusnya ini tidak terjadi, harusnya Arum masih bisa meneruskan sekolah bahkan sampai perguruan tinggi, bukan selama bertahun-tahun terkurung dalam atap rumah yang mulai banyak bocornya ini.
"Pak..."
Bapak terkesiap, "Ya?!"
"Bapak kok melamun, tadi Arum tanya."
"Oh tidak nak, Gayatri akan sembuh dan segera keluar rumah. Ia akan melihat dunia luar dan merasakan bahwa ada sesuatu di luar sana yang sedang menantinya, sesuatu yang indah dan membayangkan."
"Seperti apa itu?"
"Apa saja? Gayatri perempuan yang punya banyak mimpi kata Mak Ratih, ia pandai dan cekatan ketika membantu Mak Ratih berjualan di pasar."
"Aku harap Gayatri lekas sembuh," ujar Arum yang kemudian beranjak sambil mengambil kain flanel dan aksesorisnya.
Bapak menatapnya secara mendalam. Arum menatap pula dan Bapak berusaha untuk tersenyum namun senyum yang dipaksakan. Ia melihat Arum kembali ke meja untuk melanjutkan boneka-bonekanya. "Bapak tidak tahu kapan Gayatri akan pulih begitu pula denganmu, Rum. Bapak ingin kalian berdua sama-sama keluar rumah dan berjalan-jalan bahkan hanya sekedar di depan rumah saja. Orang tua macam Bapak dan Mak Ratih begitu sengsara melihat anaknya seperti ini." Mata Bapak berkaca-kaca, ia berusaha untuk tidak menangis di situ karena masih ada Arum. Ia tidak ingin ada air mata yang jatuh membasahi pipinya, apalagi jika Arum sampai tahu.
Jauh dalam lubuk hati Arum ia ingin agar malam segera tiba. Ia ingin melihat gulungan kain itu dan segera membaca balasan suratnya. Jujurnya saja ia tampak begitu bersemangat untuk menyelesaikan pekerjaannya. Tidak lupa ia juga sudah menyisihkan karangan bunga yang ia ambil dari kelopak terbaik ia pilih dengan jeli satu persatu.
Bapak meletakan gulungan kain yang baru di rak paling atas. Arum sudah memperhatikannya dan tidak sabar untuk segera melihat isi gulungan. Memang biasanya jika ada gulungan baru Bapak tidak langsung membuka. Ia akan letakan di rak atau hanya disandarkan ke dinding.