Bab 18 Sebuah Petunjuk
Bab 18 Sebuah Petunjuk
Malam itu Arum sengaja membuat dirinya terjaga sampai pukul dua pagi. Bapak begadang menyelesaikan jahitannya satu jam lalu. Sehingga ia harus menunggu sampai Bapak masuk kekamar dan memastikannya benar-benar tertidur. Arum membuka pintu perlahan namun pasti dengan meminimalisir suara sekecil apapun. Ia mulai melangkah jinjit kecil-kecil menuju meja jahit Bapak. Sayangnya, gulungan itu cukup besar dan berada di rak paling atas. Arum kebingungan bagaimana mencapai dan mengambil surat itu. Akhirnya ia ambil kursi dan naik diatasnya. Ia tarik gulungan tersebut namun sangat berat, tenaganya kurang kuat. Ia tarik lagi dan perlahan mulai bergerak. Ia berusaha mengambilnya tanpa menimbulkan suara. Ia tarik terus dan angkat menggunakan kedua tangannya yang mungil dan terjatuhlah di lantai.
Jantungnya hampir saja copot karena suara dentuman di lantai cukup kuat. Namun, sepertinya aman. Kamar Bapak masih sama senyapnya, barangkali Bapak sangat lelah dan tidak mendengar apapun. Ia buka gulungan tersebut sambil meraba-raba di manakah surat itu terselipkan. Dan ya surat itu benar ada! Arum hendak berteriak kegirangan sambil mencium surat tersebut berulang kali-kali. Ia gulung kembali kain itu namun mustahil dapat meletakkannya kembali ke atas rak. Dan tiba-tiba pintu kamar Bapak terbuka pelan. Bapak keluar dari kamar menuju dapur tanpa melihat Arum sama sekali. Di bawah cahaya remang-remang mata plus Bapak sulit mengawasi siapa yang sedang mondar-mandir di meja jahitnya. Arum berusaha untuk sembunyi. Bapak masih di dapur sambil membawa segelas air kembali menuju kamarnya dan menutupnya. Arum dapat bernapas lega. Sudah gila ia jika sampai Bapak tahu apa yang ia lakukan pukul dua pagi seperti ini.
Buru-buru ia segera kembali ke kamarnya takut jika tiba-tiba Bapak muncul lagi. Arum segera membuka suratnya. Namun, tidak ada surat sama sekali. Arum khawatir, apakah orang itu tidak berniat membalas suratnya. Tidak ada surat yang penuh dengan kata-kata, yang ada hanya selembar kertas dengan sebuah denah. Arum tidak tahu apa maksudnya.
"Apa ini?" tanya Arum sendiri. Ia melirik sekali lagi dalam surat tersebut namun hanya ada denah ini. Arum merasa kebingungan dan tidak mengerti, ia membalikkan denah yang dibuat dengan tulisan tangan itu "Ikuti petunjuk ini dan pergilah ketika menjelang petang." Arum semakin runyam. Apakah ia memintaku keluar rumah, Arum melihat dari ke arah pintunya. Apa yang ingin aku keluar rumah ini? Tidak mungkin, pikir Arum. Tidak mungkin ia keluar dari rumah ini. Arum menaruh denah itu ke meja dengan kasar. Sambil menatap kertas tersebut ia sedikit kesal namun juga penasaran. Apa-apaan orang ini? Apa yang hendak melukaiku dengan menyuruhku keluar rumah. Dan denah apa ini, aku tidak tahu sama sekali soal dunia luar, bahkan halaman depan rumah saja aku tidak tahu bentuknya.
Arum jadi semakin gelisah. Bagaimana mungkin ia pergi, ia tidak ada keberanian sama sekali. Dan bagaimana jika ternyata ia dijebak oleh orang ini. Seketika keringat dingin membasahi dahinya, ia menjadi menggigil dan berkeringat hebat. Nafasnya pun jadi tidak beraturan, degup jantungnya berpacu kuat. Aku tidak mau, ujar Arum. Akan ada orang-orang yang akan menyakitiku jika aku keluar dari rumah. Aku tidak mau disentuh lagi oleh laki-laki yang tidak kukenal dengan tangan mereka yang menjijikan. Bagaimana jika selama ini aku hanya dibohongi. Ternyata orang ini sama dengan orang-orang dulu yang ia temui di bangunan itu. Lelaki bajingan yang menggoda sekaligus mengambil kehormatanku seolah-olah aku hanya anak anjing terlantar yang dapat dimanfaatkan. Arum meremas denah tersebut dan ia buang ke tempat sampah yang ada di kamar. "Sudah selesai semuanya!" ujar Arum sambil mematikan lampu dan menutup wajahnya dengan selimut.
***
"Arum..." ujar Bapak pagi-pagi. "Bangun, nak, sarapan dulu."
Arum tidak menjawab. Ia tahu Bapak menunggu di depan pintu, namun ia tidak berniat untuk mengeluarkan suara atau beranjak dari kasur.
"Makanan yang keburu dingin, sarapanlah dulu." Bapak masih berusaha untuk meminta Arum makan, namun sia-sia ia tidak berselera untuk melakukan apapun. Akhirnya Bapak menyerah, ia membiarkan Arum tetap dalam kamarnya.
Seharusnya dari awal tidak usah ditanggapi, pikir Arum. Aku yakin ini hanya orang iseng yang suka mengerjai orang lain. Apalagi orang yang sepertiku, perempuan aneh yang hanya berdiam diri di dalam rumah dan tidak melakukan apapun. Aku memang seperti itu. Harusnya aku keluar dan memiliki teman kemudian pergi bersama mereka untuk bersenang-senang layaknya anak muda pada umumnya. Namun, lihatlah aku, aku justru terperangkap di kamarku sendiri dan temanku hanyalah bayanganku sendiri yang ada di cermin. Aku tidak memiliki teman sama sekali bahkan aku tidak mengenal samping rumah kanan kiriku.
Aku begitu terasingkan dari dunia luar dan tidak berusaha untuk membuka diri. Siapa yang mau berteman denganku perempuan aneh yang pernah diperkosa sepertiku, tidak ada! Arum mengusap air matanya menggunakan selimut. Matanya sembab karena semalaman menangis dalam hening sampai terhanyut dan tertidur sendiri. Tidak ada yang mau berteman denganku. Keluargaku juga aneh hanya ada Bapak di sini tidak ada orang lain. Bagaimana mungkin aku akan berteman jika melihat orang lalu lalang di depan pagar saja aku sudah takut setengah mati. Dan sekarang ia memintaku untuk pergi mengikuti denah yang ia buat. Dasar sialan! Semua orang memang sama, mereka semua sama-sama suka berbuat jahat dan memeras orang lain demi kepentingan mereka sendiri. Aku benci semua orang!
Arum semakin tenggelam dalam lautan kesedihan dan kebencian yang selama ini ia pendam. Perasaan jijik itu tidak akan pernah hilang sampai kapanpun. Ketika kejadian itu terjadi, adalah tiga bulan Arum merasa begitu jijik untuk menatap Bapak, hanya karna Bapak adalah seorang lelaki. Ia begitu jijik dengan laki-laki manapun, entah itu Bapak, tukang sayur pagi-pagi, kurir paket, Pak Yono atau siapapun. Ia merasa sangat jijik dan hendak muntah setiap kali melihat mereka. Rasa jijiknya menjelma menjadi perasaan benci dan marah yang teramat sangat namun hanya mampu ia pendam sendiri dan itu menyakitkan.
Bapak tidak akan paham soal ini. Ia kalut dengan perasaan bersalahnya yang lain yang Arum sendiri pun tidak akan paham. Bapak pun hanyut akan perasaan bersalahnya menjadi orang tua yang gagal dan tidak layak melindungi anak perempuannya. Kekerasan seksual yang terjadi tidak hanya menjadi pengalaman traumatis dan mengubah Arum menjadi sosok lain, namun juga mengubah Bapak menjadi orang lain. Arum yang dulunya adalah gadis periang sekarang lebih sering berwajah cemberut, muram dan acuh tak acuh. Caranya berbicara singkat, padat, dan ketus. Tiada ada kesan ramah sama sekali ketika ia sedang berbicara dengan Bapak. Jauh dalam lubuk hati Arum ia sendiri tidak tahu mengapa ia menjadi gadis lain. Gadis yang telah mati jiwanya dan tidak akan pernah kembali lagi.