Bab 19 Pagar Rumah
Bab 19 Pagar Rumah
"Bapak akan pergi dan kemungkinan pulang malam. Apa kau baik-baik saja jika Bapak tinggal?" ujar Bapak sambil mengetuk pintu kamar pelan.
Arum hanya melirik dengan sinis dari dalam kamar. Ia tidak ingin diganggu atau diajak bicara oleh siapapun.
"Arum... Bapak pergi dulu." ujar Bapak dengan berat hati. Ia jarang meninggalkan Arum sendiri terutama menjelang malam. Namun, Arum tidak berniat untuk menanggapi Bapak sama sekali.
Ia masih saja mengurung diri di kamar seharian ini. Tidak bergairah sama sekali untuk keluar bahkan untuk makan. Makan siang hanya tergeletak di bawah tudung meja tanpa disentuh sama sekali. Arum pun tidak merasa lapar, lidahnya tidak berasa apa-apa. Bapak berusaha membujuknya untuk makan agar tidak sakit. Apa yang terjadi dengannya? Bapak dibuat kebingungan dengan perubahan sikap yang mendadak. Awalnya Arum terlihat begitu cair dan mulai membuka diri, namun sikapnya kembali seperti dulu lagi. Diam, mengurung diri seharian di kamar, tidak ingin diganggu oleh siapapun dan tidak pula menjawab jika sedang diajak bicara.
Bapak jadi khawatir. Apakah ada sesuatu yang membuat pikirannya menjadi terganggu? Atau sesuatu itu datangnya dari Bapak sendiri?
Bodoh sekali aku, pikir Arum. Selama ini aku hanya dikerjai oleh seorang yang tidak kukenal. Semua orang sama, mereka sama-sama suka memanfaatkan penderitaan orang lain. Ia tahu jika aku menderita dan ingin membuatku lebih menderita lagi dengan memberikan kertas pertama yang berisi sapaan tidak penting. Aku tidak butuh teman! Aku ingin diriku sendiri di sini, di kamar ini, aman tanpa ada siapapun yang dapat masuk. Harusnya kubakar saja kertas dan surat yang pernah ia berikan. Untuk apa aku menceritakan semua hal padanya. Buat apa aku menceritakan pengalamanku membuat secangkir teh bahkan memasak ketika Bapak pergi. Aku benci!
Arum menatap dirinya lama di depan cermin dengan raut wajah yang dingin dan tidak bersahabat. Pikiran-pikiran itu muncul di benaknya dan terus membuatnya tenggelam dalam amarah yang terpendam diam. Ia buka laci di samping kaki kanannya dan ia keluarkan semua kertas dan surat yang pernah orang itu berikan. Ia baca lagi satu persatu dengan perasaan kesal sampai membaca surat yang terakhir.
Denah itu menunjukkan pada suatu tempat yang tidak terlalu jauh dari rumah Arum. Ia masih ingat jalan yang pernah ia lewati dulu terakhir kali ia keluar rumah. Namun, tidak, Ia menolak dengan keras! Bapak sudah pergi dan ia sendirian di rumah. Siapa yang akan menjaga rumah. Sejujurnya, ada perasaan takut dan cemas setengah mati yang dirasakan Arum namun dorongan kuat untuk pergi tempat ini pun juga ada. Ia ingin tahu mengapa orang ini tidak membalas pesannya dan justru memberikan suatu denah.
Arum keluar kamar untuk melihat keadaan. Sepi. Tidak ada siapapun. Ia merasa sendirian dan hampa. Apa aku harus pergi? pikirnya. Kalaupun aku harus pergi kira-kira apa yang akan terjadi. Jam dinding masih menunjukan pukul lima sore sebentar lagi akan segera malam. Ia memintaku datang menjelang petang dan ini adalah waktunya. Arum mengintip dari balik tirai gorden, beberapa orang terlihat lalu lalang. Ia buka pintu rumah pelan-pelan seraya mengeluarkan kepalanya dari balik pintu. Tidak ada siapapun di depan pagar rumah. Arum berusaha memberanikan dirinya untuk melangkah keluar setidaknya tiga langkah. Ada penjual bakso keliling lewat dan ia sudah mau kabur masuk ke dalam. Namun, tukang bakso itu hanya lewat saja dan Arum menghentikan langkahnya. Tidak terjadi apa-apa, pikirnya. Tukang bakso itu tidak melakukan apapun selain hanya lewat di depan pagar rumahnya. Arum menjadi lebih berani untuk melangkah lagi menuju pagar depan. Ia lihat samping kanan kiri hanya ada beberapa orang yang keluar dari rumah untuk menikmati sore hari.
"Apa aku harus melangkah lebih jauh?" ujarnya dalam hati. Arum kembali ke pintu depan. Ia berpikir lebih matang. Akankah aku sampai dengan selamat pada ke tempat ini? Aku sungguh benci harus keluar dari tempat persembunyianku. Mengapa orang-orang selalu saja memaksa, apakah ia tahu keadaanku saat ini? Atau ia sebenarnya hanya menjebakku saja? Arum semakin pening, kepalanya terasa berat untuk melangkahkah kaki lebih jauh lagi. Perasaannya terbelenggu pada sosok lelaki bangunan yang menjebaknya untuk ikut masuk dalam ruang gelap. Mereka membungkam mulutnya mengenakan kain kotor bekas mengelap material dan mereka dengan seenaknya menanggalkan pakaian mereka.
Apakah ini bentuk jebakan yang lain pula? Bagaimana jika Bapak datang dan menemukanku tidak ada di rumah. Ia pasti akan kelimpungan mencariku. Bapak paling khawatir jika aku melakukan sesuatu yang sebelumnya belum pernah kulakukan. Beberapa orang tampak lalu Lalang, Arum menatap mereka semua dengan perasaan kagum. Bagaimana mungkin orang-orang ini takut untuk berjalan-jalan di depan rumah mereka. Bahkan mereka tampak bergembira satu sama lain. Mereka pun mengajak anak perempuan mereka yang masih kecil. Apa mereka tidak takut jika anak perempuan itu dibawa kabur oleh orang lain, kemudian memerkosanya sama seperti aku ini.
Akhirnya Arum memilih untuk duduk di beranda rumah. Ia menatap semua orang yang lewat, tidak terkecuali kucing yang lewat. Ia iri pada hewan itu. Hidupnya begitu bebas, tidak terkekang oleh apapun. Oleh rasa takut dan amarah dendam yang tumbuh bertahun-tahun pada kepalanya. Arum terkejut ketika ada salah satu anak kecil yang datang dan berdiri di depan pagar rumahnya. Rupanya bola anak itu masuk ke halaman rumah. Anak itu menatap Arum, barangkali ia bingung melihat Arum yang duduk sendirian menatap semua orang yang lalu Lalang. Anak itu menunjuk pada Bola itu, ia menginginkan bolanya kembali. Dengan perasaan bimbang Arum ingin melangkahkan kaki mendekat pada anak itu, namun perasaanya tetap takut. Namun, lihatlah ia hanya seorang anak kecil yang tidak akan menyakitinya. Anak itu menujuk lagi pada bolanya seraya mengatakan, “Tolong, Kak…”
Untuk pertama kalinya ada yang mengajaknya bicara secara langsung. Dengan gerakan patah-patah dan kaku, ia melangkah mengambil bola itu. Anak itu tersenyum manis, Arum tidak bisa menepis bahwa ada perasaan lain yang ia rasakan tatkala melihat bocah perempuan itu. Hatinya membunga. Ia serahkan bola itu pada si anak sembari mengatakan, “Ini… ambillah…” Anak itu tersenyum kembali.
“Kok kakak sendirian saja? Apa mau main dengan Maria?”
Arum tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya menatap anak itu. Jangankan untuk main, untuk keluar dari pagar rumah ini saja ia tidak sanggup.
“Di sana ada banyak, ada Wisnu, Aisyah, Malala, ada juga Bimo. Ia teman kami yang paling jago main bola. Aku juga jago kok, kak.”