Bab 8 Nama dan Perkenalan
Bab 8 Nama dan Perkenalan
Sesampainya di rumah Bapak segera meletakan belanjaanya di meja jahit. Semuanya ia keluarkan dan jejer dengan rapi. Kain-kain yang barusan dibeli ia lipat rapi dan ada beberapa yang digulung. Khusus untuk kain pemberian Mak Ratih barusan ia simpan di salah satu kotak jaga-jaga jika dibutuhkan sewaktu-waktu. Bapak melihat kamar Arum masih sama seperti ia pergi tadi. "Apakah ia tidak keluar sama sekali," tanya Bapak pada dirinya sendiri. Ia segera ke dapur untuk menyiapkan makan siang. Kali ini ia lebih berhati-hati lagi. Ia tidak ingin mengulang kesalahan yang sama.
"Makan siang sudah siap." ujar Bapak pelan. Ia tidak berani mengetuk pintu kamar Arum. Namun, tidak ada jawaban dari dalam dan Bapak semakin dibuat bingung harus bagaimana.
"Makan siang sudah siap," kata Bapak sekali lagi. Namun, lagi-lagi sama orang yang didalam dan sedang diajak bicara mengacuhkan begitu saja.
Akhirnya Bapak memutuskan untuk menggelar makan siangnya sendiri. Ia tetap menyiapkan nasi putih, tahu putih dan air putih untuk Arum semisal ia lapar dan ingin bergabung untuk makan siang. Bapak menyuap sendoknya dengan perasaan tidak nafsu. Lidahnya terasa begitu pahit dan tidak berasa apa-apa. Padahal sayur oseng yang barusan ia masak memiliki kadar cabai yang tidak sedikit. Bapak menyuap untuk kedua kalinya seraya menatap pintu kamar Arum. Namun, tidak ada perubahan apapun. Pintu itu tetap tertutup dan keheningannya menjalar sampai meja piring yang ada di depan Bapak.
Bapak memalingkan wajahnya, pasrah dan memilih untuk menyelesaikan makan siangnya. Tiba-tiba pintu kamar terbuka pelan. Bapak ingin sekali rasanya menoleh untuk melihat perempuan yang keluar dari kamar itu, namun ia tahan. Arum berjalan pelan ke arah meja makan dan duduk dengan tenang. Bapak tidak berani menatapnya. Mereka saling diam dalam kebisuan yang menyakitkan. Arum segera melahap makannya dengan pelan seolah-olah tidak bernafsu sama sekali. Namun, perutnya begitu keroncongan. Ia tidak tahan jika perut tersebut terus bersuara aneh yang membuatnya menjadi merasa semakin aneh dengan dirinya sendiri. Keheningan makan siang membuat Bapak sungkan untuk berbicara apapun. Selama ini, selama bertahun-tahun seperti itulah hubungan kedua insan itu, anak dan bapak itu. Tidak ada percakapan sama sekali.
***
Malam itu Bapak sedang mengukur ulang pola jahitan yang hendak ia buat. Ada beberapa lingkar pinggang dan dada yang salah ia tulis. Sehingga harus segera diperbaiki. Arum sibuk merangkai bunga yang akan dikirim besok. Ia selalu bekerja dalam diam. Sesekali Bapak khawatir dan kerap memperhatikannya dengan seksama bagaimana ia bekerja. Tidak mungkin ia bekerja di luar sana. Melihat depan halaman rumah saja sudah membuat Arum dingin beku seolah-olah hendak mati berdiri. Bapak yang mencarikannya pekerjaan dan salah satu yang dapat dilakukan di rumah adalah merangkai bunga.
Ia begitu telaten. Tidak ada satu kesalahan pun ketika ia merangkai satu demi satu buket bunga ditata dengan rapi dan indah menurut keinginannya. Bapak sesekali membantu jika jahitannya sudah rampung. Namun, selama ini Arum lebih banyak melakukannya sendiri. Ia tahu jika tagihan rumah harus segera dilunasi. Jika tidak mereka akan terancam untuk mencari atap rumah lain.
"Permisi!!" sapa seseorang dari luar pagar rumah. Bapak menengok melalui jendela. Arum melirik arah halaman rumah dengan sangat sinis. Bapak mengerti ia tidak suka jika ada orang lain datang.
"Permisi!" ujar orang itu sekali lagi. Ia sudah mau masuk halaman rumah dan hendak mengetuk pintu. Namun, dengan tanggap Bapak langsung keluar dan meminta untuk berbicara di luar pagar rumah saja tidak lebih.
"Mau ambil pesanan, Pak," ujarnya berusaha untuk ramah karena terkejut dengan sikap Bapak yang memintanya untuk keluar halaman rumah.
"Sebentar, biar saya ambilkan," ujar Bapak.
Ia kembali masuk dan mengepak buket bunga yang sudah jadi ke dalam dua bagor putih besar. Arum sudah masuk kembali ke kamarnya dan Bapak tahu mengapa. Buket bunga karangan Arum ia ambil satu persatu dan kembali keluar menemui orang itu.
"Ini ada sekitar tiga puluh buah."
"Baik, terima kasih, Pak. Ini untuk upahnya."
"Ya, terima kasih," ujar Bapak singkat dan langsung masuk rumah kembali serta menguncinya rapat.
Mendengar suara pintu yang sudah tertutup lagi Arum kembali membuka pintu kamarnya secara perlahan. Bapak menanggapi seolah-olah tidak terjadi apapun meskipun ia sangat memperhatikan sikap Arum. Arum kembali ke meja tempat ia merangkai bunga dan kembali melakukan pekerjaannya. Begitu pula dengan Bapak. Keduanya tampak tidak ingin mengganggu satu sma lain terutama Arum. Ia tidak ingin diganggu oleh siapapun, meskipun di dekatnya ada Bapak.
"Bapak, mau keluar beli rokok dulu," ujar Bapak.
Arum tidak bergeming sama sekali dan memilih melanjutkan pekerjaannya.
Bapak keluar dan pintu ditutup kembali. Arum merasakan Bapak yang kian menjauh. Lambat laun ia mulai lelah merangkai bunga-bunga sejak tadi siang. Ia beranjak ke meja jahit Bapak mulai mencari jarum pentul lagi. Ia melihat ada jarum jahit yang baru saja Bapak beli. Namun, ia tidak terlalu tertarik. Ia lebih suka dengan jarum pentul karena ragam warna pada tiap pentul yang beragam. Arum melihat dan meraba beberapa kain baru yang sudah dilipat di meja jahit. Termasuk ia melihat kain yang diberi Mak Ratih pada Bapak pagi tadi.
Dan ketika ia sibuk membolak-balikkan kain dan merasakan bahan-bahannya satu kertas muncul kembali. Kali ini kertas itu sedikit memiliki ketebalan yang lebih. Tidak seperti kertas-kertas sebelumnya yang begitu tipis sehingga mudah lecek. Arum mengambilnya dan membuka kertas tersebut. Bagaikan sebuah pesan yang entah dari siapa, kertas tersebut bertuliskan, "Hai, siapa namamu?"
Arum merasa aneh dengan kertas ini. Ia merasa seolah-olah sedang berkirim pesan dengan seseorang yang tidak nyata. Ia buang kertas tersebut ke tempat sampah dan sibuk mencari jarum pentul lagi. Namun, lama kelamaan kertas tersebut menarik perhatiannya. Ia mengamati kertas dalam tempat sampah cukup lama dan akhirnya memutuskan untuk memungut kembali. "Arum." ujarnya dingin dan datar. Ia menjawab kertas tersebut namun janggal karena ia hanya seorang diir di rumah. Arum memutuskan untuk memasukkan kembali ke dalam laci bersama dengan dua kertas sebelumnya.
Ia kembali lagi ke meja jahit Bapak dan sibuk melihat satu persatu kancing baju yang barusan dibeli oleh Bapak. Tidak lupa Bapak juga membeli vitrase lagi sebagai dalaman gorden sehingga cahaya yang masuk tidak terlalu terang dan menyala. Arum mengebaskan kain tersebut ke lantai. Dan lagi-lagi terdapat kertas yang muncul terbang keatas karena hempasan udara ketika Arum mengebaskannya ke lantai. Ia memungut kembali kertas tersebut dan tertulis, "Bolehkah kita berkenalan?"
Arum terdiam lama.