Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 Perasaan Bapak

Bab 7 Perasaan Bapak

Mak Ratih bangga dengan kemampuan Gayatri. Meskipun ia perempuan namun jiwanya cekatan dan rasional sama seperti halnya laki-laki. Sehingga Mak Ratih selalu mengajari hal baru pada Gayatri. Ketika itu Gayatri berusia sama dengan Arum. Hanya selisih dua tahun lebih tua saja. Gayatri juga sama-sama sekolah di sekolah negeri seperti Arum. Sampai akhirnya tidak ada angin atau apapun bencana alam, Gayatri ditemukan tidak sadarkan diri bawah tangan dekat parkiran pasar tempat biasanya sampah dibuang. Gayatri ditemukan oleh salah satu pedagang yang baru saja membuka lapaknya ketika subuh.

Beruntung Gayatri masih bernyawa hanya tidak sadarkan diri saja. Orang-orang pasar segera membantunya untuk ke rumah sakit. Mak Ratih langsung datang menabrak orang-orang yang menghalangi jalannya. Dan ketika ia melihat Gayatri di atas ranjang Mak Ratih tidak sanggup menatapnya lebih lama lagi dan langsung jatuh pingsan. Sejak saat itu Gayatri tidak pernah lagi muncul di pasar. Kepandaiannya dalam hitung menghitung dan kemampuannya untuk negosiasi dalam tawar menawar sudah sirna bak manusia yang ditelan oleh tanah. Ia seperti menghilang begitu saja tanpa kabar dan Mak Ratih tidak pernah membuka cerita soal Gayatri lagi.

Para buruh kayawannya mengetahui apa yang disembunyikan oleh Mak Ratih. Mereka sudah bertahun-tahun mengabdi bekerja di bawah perintah Mak Ratih karena kepemimpinan Mak Ratih yang mereka anggap berwibawa. Meskipun Mak Ratih adalah juragan di toko namun ia tidak pernah lupa akan kesejahteraan para buruhnya. Tidak tanggung-tanggung, diantara lapak toko yang lain, buruh kerja di toko Mak Ratih ia bayar lebih tinggi dari toko lainnya. Karena Mak Ratih tahu bahwa banyak buruh kerjanya yang kebanyakan laki-laki adalah seorang bapak, suami, menantu bahkan abang dari adik-adik kecil mereka yang masih harus minum susu dan sekolah. Sehingga jaminan mulai dari upah bulanan, bonus tambahan dan tidak lupa pesangon tidak pernah luput dari perhitungan Mak Ratih. Semua hasil dagangan benar-benar ia salurkan untuk kesejahteraan buruh-buruhnya sendiri.

Sebab itulah ada banyak buruh yang enggan untuk pindah ke lapak lain. Karena lapak Mak Ratih dapat dikatakan satu-satunya lapak yang benar-benar menjamin kehidupan barunya sampai kapanpun. Dan salah satu buruh itu adalah Pak Yono. Sudah hampir lima belas tahun Pak Yono bekerja di lapak Mak Ratih sebagai kurir dan tukang angkat-angkat kain. Pak Yono juga yang menyarankan Bapak untuk berbelanja keperluan menjahit sampai kain dan segala tetek bengek urusan penjahitan pada Mak Ratih. Selain itu Mak Ratih juga seorang penjahit sama dengan Bapak. Ia tahu seluk beluk jarum dan benang. Tidak perlu menggunakan mesin pun Mak Ratih dapat membuat pakaian anak-anak sederhana yang nyaman.

Ketika pertama kali Bapak datang Mak Ratih tidak langsung mengetahui siapa Arum. Bapak hanya datang untuk membeli dan langsung pamit. Mak Ratih memperhatikannya dengan penuh perhatian karena ada hal yang memang Bapak sembunyikan. Yaitu soal Arum. Sampai akhirnya Bapak dengan sukarela bercerita pada Mak Ratih setelah ikut serta mendengar desas-desus menyedihkan soal Gayatri. Maka dari itu Bapak menaruh rasa hormat lebih pada Mak Ratih. Ia perempuan kuat yang tetap tegap berdiri dan tegar menjalani hidup meskipun menyakitkan.

"Sudah beli itu saja? Apa ada tambahan lain?" tanya Mak Ratih sambil beberes kain yang tergelar di pelataran depan lapak.

"Ini saja, Mak. Nanti kalau ada lagi saya titip pesan ke Pak Yono. Saya harus segera balik ke rumah. Arum sendirian soalnya."

"Ini saya punya kain bekas," kata Mak Ratih seraya menyadarkan kain kebaya berwarna hitam gelap yang menawan.

"Mak, kain bagus seperti ini kok bekas. Saya--"

"Sudah ambil saja. Saya masih punya kain banyak."

"Ndak usah, Mak. Ini kainnya terlalu bagus untuk saya."

"Sudah ambil saja, ndak usah bayar, itung-itung uang yang dipakai buat keperluan Arum," ujar Mak Ratih yang langsung beralih melayani pelanggan lainnya.

Bapak menatap Mak Ratih penuh dengan harap. Baru dua tahun ini Bapak mengenal Mak Ratih, namun ia merasa sudah kenal perempuan satu ini begitu lama. Rasa kekawanannya dan saling membantu sesama sangat dirasakan Bapak. Tanpa Bapak bercerita soal lika-liku di dalam rumah pun Mak Ratih tahu jika Bapak sedang dalam kesulitan. Baik kesulitan dalam menghadapi Arum maupun kesulitan finansial. Sudah hampir tiga bulan ini cicilan rumah nunggak dan Bapak berusaha sekuat tenaga agar tepat waktu melunasi hutang kebaya dan beberapa jahitan pelanggannya. Hanya saja pikirannya terpecah belah belakang ini sehingga kesulitan untuk berkonsentrasi penuh.

"Mak, terima kasih banyak," ujar Bapak dengan penuh arti.

"Ya, sudah sana pulang, anakmu menunggu, bukan?" jawab Mak Ratih yang masih sibuk melayani pertanyaan pelanggan lain.

Bapak beranjak pergi dengan membawa belanjaannya untuk dua minggu kedepan. Diam-diam Mak Ratih menatapnya yang berangsur-angsur pergi tertelan oleh segerombolan manusia pasar yang selalu ramai dan tidak pernah sepi. Ada gemeletuk kecil dalam hatinya ketika melihat Bapak datang. Ia tahu bahwa Arum mengalami nasib yang sama dengan Gayatri. Mak Ratih tidak pernah tanggung-tanggung jika memberikan Bapak sesuatu. Ia selalu memberikan Bapak kualitas kain yang terbaik yang ada di lapaknya. Dan sesekali memberi tanpa cuma-cuma seperti barusan. Satu-satu alasannya adalah Mak Ratih sangat memahami bagaimana perasaan orang tua dengan luka batin anaknya yang masih dan tak kunjung mengering. Bahan luka tersebut semakin lama seolah-olah semakin basah, membusuk dan mengeluarkan cairan nanah yang menjijikan. Bapak ingin menyembuhkan luka tersebut namun kuman dalam luka itu justru ikut menggerogoti Bapak yang rapuh dan rentan.

Ketika menaiki Trans Jogja Bapak termenung dalam diamnya yang lama. Orang-orang yang duduk disebelahnya tampak begitu lusuh dan lelah. Ada yang menggendong bayi sambil tertidur pulas dan berkeringat. Ada bapak-bapak yang duduk dengan menyilangkan kakinya dan memandang keluar jendela. Sampai ada anak SMA perempuan yang memilih untuk berdiri karena kursi yang sudah penuh. Ia mengenakan seragam sekolah berkerudung dengan name tag di sebelah dada kanannya dan lambang sekolah di sebelah dada kirinya. Ia tampak letih terlihat dari raut wajahnya yang kusam terkena paparan sinar matahari dan debu polusi. Bapak menatapnya lama dan teringat dengan Arum. Bukankah Arum dulu juga seperti perempuan di depannya itu. Anak sekolahan yang berangkat dan pulang sekolah seperti wajarnya anak-anak pada umumnya.

Hati Bapak rasanya begitu pilu. Ingin sekali ia menangis namun tidak mungkin. Orang-orang akan menganggapnya aneh bahkan macam orang gila saja. Masa yang Bapak inginkan ketika melihat Arum seperti perempuan berseragam itu sudah lama hilang bertahun-tahun lalu. Bapaknya hanya dapat memendamnya dalam hati seraya menangis pilu dalam diam. Ia menahan segala perasaannya dengan begitu hebat.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel