Bab 6 Sapaan Kedua
Bab 6 Sapaan Kedua
"Neng, cantik mau kemana? Sini dong Abang temenin," goda salah satu lelaki dari segerombolan yang sedang asyik menatap layar tancap.
Saat itu aku sendirian dan harus melewati mereka semua. Dan ketika aku melewati bangunan rumah yang sedang dibangun salah satu dari kuli bangunan memanggilku dengan sebutan 'neng' dan 'cantik'. Mereka ada banyak sekitar lima orang. Aku melihat mereka sedang beristirahat sambil ngopi dan merokok di depan televisi. Sesekali mereka tertawa terbahak-bahak dan mengumpat melihat sinetron yang sedang ditayangkan.
"Sudah mau malam, kok jalan sendiri. Mau abang temenin," kata salah satu dari mereka, lagi.
Aku berusaha mengabaikan dan terus berjalan tanpa mau menoleh sama sekali. Mereka terus memanggilku bahkan mulai menggodaku dengan seragam sekolah yang kukenakan.
"Roknya bagus ya, harusnya diangkat lebih tinggi di atas dengkul neng," ujar mereka sambil tertawa bersama.
"Sini, Abang bawakan tasnya sepertinya berat ya!" Dan mereka tertawa lagi.
Sampai akhirnya aku merasa begitu takut mendengar suara tertawa mereka yang seolah-olah hendak menerkamku dari belakang. Hari mulai gelap, sayup-sayup suara toa masjid mulai terdengar. Ingin sekali rasanya untuk berlari sekuat tenaga namun aku berusaha untuk tetap tenang. Sampai akhirnya salah satu dari mereka mengejar dan merangkul pundakku. Aku terkejut bukan main dan melepaskan tangannya dengan kasar. Pria itu tertawa diikuti dengan gerombolan teman-temannya yang lain.
"Jangan takut, Abang orang baik kok. Mau apa antar pulang? Di mana rumahmu?" tanyanya dengan senyum wajah yang membuat bulu kudukku berdiri.
"Hei, di mana rumahmu, anak manis? Tidak baik perempuan pulang sendiri apalagi perempuan yang masih kecil sepertimu." ujarnya sambil menjentikkan jarinya ke daguku. Aku memberontak dengan mengibaskan tangannya untuk menjauh dari wajahku. Ia tampak tidak suka ketika aku melakukan itu terlihat dari raut wajahnya yang seketika berubah.
"Perempuan yang ini sombong sekali ternyata," ujarnya melepas canda ke teman-temannya untuk mengolok-olokku.
"Permisi, Bang saya mau pulang," kataku cepat dan dingin. Aku sudah siap untuk melangkah, namun ia menghalang-halangi.
"Mau kemana sih kok buru-buru. Abangkan cuma mau kenalan."
"Saya mau pulang! Beri saya jalan."
"Galak sekali. Tidak boleh seperti itu, jadi perempuan itu harus lembut, jangan galak-galak nanti jarang disukai sama orang lho."
Ia mulai meraba tas punggung dan lenganku. Aku menepis dan mengatakan jangan ganggu aku dan aku ingin segera pulang. Namun, ia justru tersenyum dan semakin meraba-raba tas punggungku bahkan mengarah ke bawah pantatku.
"Kurang ajar! Apa mau saya teriak?!" kataku lantang.
Dan saat itulah ia membekap mulutku kuat-kuat. Aku mencium bau keringat busuknya dan tangannya yang tidak kalah bau dan kasar. Aku meronta sekuat tenaga untuk melepaskan cengkraman tangannya dari mulutku. Kugigit tangannya sekuat tenaga dan ia berteriak kesakitan. Aku berusaha lari namun salah satu temannya sudah menarik tas ranselku dan memegangi kedua tanganku.
"Jangan galak-galak, neng. Main sama Abang sebentar ya," ujarnya seraya tersenyum diikuti dengan tawa teman-temannya yang lain.
Aku berteriak di balik tangan busuknya yang begitu najis menyentuhku. Aku menangis ketika mereka menggendongku dalam keadaan mulut tersumpal lap bekas bangunan yang entah mereka gunakan untuk mengelap oli atau semen. Aku dapat merasakan material itu di mulutku. Dan saat itu pula aku menyadari aku telah mati.
***
Arum mengamati wajahnya di depan cermin. Ia menatap wajah itu begitu lama, sampai akhirnya terdengar ketukan dari luar.
"Arum, Bapak mau ke Pasar sebentar. Bapak mau membeli alat jahit dan beberapa kain," ujar Bapak pelan dan sopan.
Arum tidak menjawab ia hanya menengok ke arah pintu yang masih ditutup rapat tidak terkunci. Bahkan dalam keadaan tidak terkunci pun Bapak sangat sungkan untuk masuk dan melihat Arum di dalam. Bapak hanya menghelakan nafas pasrah. Sebenarnya ia tidak ingin meninggalkan Arum sendirian, meskipun hanya ke Pasar. Bahkan meninggalkan Arum ke halaman depan rumah untuk menutup pagar saja ia tidak mau. Ia ingin terus melihat Arum dan melindunginya ketika ada yang hendak menyakiti. Namun, sepertinya Bapak merasa ia sudah terlambat untuk melindungi Arum. Ia terlambat sepuluh tahun lamanya.
Bapak sudah pergi, Arum kembali untuk bermain di tempat jahit Bapak seperti kemarin. Ia ingin mengambil jarum pentul lagi. Jika ia menemukan sesuatu yang lebih tajam akan segera ia ambil. Ketika ia sibuk membolak-balikkan kain ia menemukan kertas itu lagi. Kertas tersebut secara tidak sengaja terkeluar sendiri ketika ia menghempaskan kain ke udara. Arum mengambil kertas tersebut dan membuka.
"Hai! Aku sedang menyapamu!"
Arum melempar surat tersebut ke lantai. Ia tidak peduli. Namun, lambat laun ia kembali lagi ke kertas tersebut. Ia pungut kembali dan mencari label dari kain tersebut. Namun, tidak ada. Kain dari Pasar Kembang Rakyat biasanya tidak menyertakan merek kain.
Arum mengamatinya lamat-lamat. Kertas itu dituliskan di kertas biasa seperti kertas buku tulis namun cukup tebal. Dan yang lebih membuat dahi Arum berkerut kertas tersebut dituliskan tangan seseorang lagi. Bukan hasil ketikan atau apapun. Seolah-olah kertas tersebut sedang berbicara pada Arum melalui tulisan tangan orang lain di luar sana. Arum tidak mau ambil pusing, ia ambil saja kertas itu dan meletakkannya kembali di laci kamar sama seperti kertas sebelumnya.
Ketika Arum menaruhnya di laci ada perasaan janggal yang timbul. Sudah ada dua surat dengan kertas dan tulis tangan yang sama. Apakah ini suatu kebetulan? pikir Arum. Kalau pun janggal, maka ia tidak akan memikirkannya lebih. Setidaknya kertas tersebut tidak menyakiti atau melukainya seperti pria-pria di rumah yang sedang dibangun itu. Kenangan tersebut muncul begitu saja dan sering kali secara tiba-tiba. Membuat Arum luput dari kesadaran saat ini dan seringkali merasa terancam dengan trauma menyakitkan yang ia tahan selama belasan tahun.
Arum memandangi dua kertas tersebut. Tiba-tiba ia ingin mengambil satu jarum pentul dan memasukkannya ke ibu jarinya. Ia menusukkan jarum terbaru tanpa ampun sampai cairan merah tersebut menetes ke lantai. Arum melihatnya dengan lega dan dapat menarik napas kembali. Ia merasa aman sekarang. Bersama dengan cairan merah segar itu dan di dalam kamarnya sendiri. Tidak ada orang yang akan menyakitinya. Lebih baik ia menyakiti dirinya sendiri ketimbang harus bertemu dengan orang lain dan merasakan kesakitan yang tiada tara.
***
"Pak, kebaya yang kemarin bisa lebih cepat ndak ya. Ini pelanggan suka buru-buru soalnya," ujar Mak Ratih.
"Saya usahakan, Mak," jawab Bapak singkat seraya tersenyum.
Mak Ratih adalah salah satu toko langganan Bapak sejak dulu. Mak Ratih yang sering kali memberik kompensasi lebih pada Bapak. Karena jauh dalam lubuk hati Mak Ratih ia tahu keadaan Bapak, terutama keadaan anak perempuannya. Meskipun Mak Ratih belum pernah bertemu dengan Arum. Konon katanya dari kabar desas-desus pekerja buruh pasar yang kerja di bawah komando Mak Ratih. Ia dulu memiliki anak perempuan juga. Namanya Gayatri. Ia dikenal karena kecakapannya ketika membantu Mak Ratih jualan kain di Pasar. Selain cakap berdagang Gayatri juga pandai untuk urusan tawar menawar. Ia piawai sekali ketika sedang menghadapi pelanggan yang suka seenaknya menekan harga, padahal kualitas kain di toko Mak Ratih dapat dikatakan unggulan dari toko-toko yang lain.