Bab 5 Sapaan Biasa
Bab 5 Sapaan Biasa
Suara Bapak sudah tidak terdengar lagi. Arum kembali menatap dirinya di depan cermin. Ketika ia menatap dirinya ada satu titik air mata menitik begitu saja dari mata kanannya. Ia mengusap dan memperhatikan bulir air mata itu. Apakah ini yang dinamakan menangis? pikirnya. Namun, orang yang menangis adalah mereka yang sedang bersedih dan merasa susah karena suatu hal. Namun, ia tidak merasakan apapun. Bahkan ketika ia menyilet tangannya dan memuncratkan darah segar keluar ia tidak merasakan kesakitan dan justru merasa lega.
Malam itu ia merasa sendirian. Ditemani dengan sahabat sejatinya yaitu bayangan diri sendiri di depa cermin. Arum tersenyum tipis melihat kawan karibnya tersebut. "Aku sudah muak dengan manusia," papar Arum mulai bercerita mengeluarkan segala unek-uneknya pada kawannya tersebut. "Bapak tidak tahu apa-apa soalku. Aku pun kadang merasa bingung ketakutan apa yang sebenarnya kurasakan saat ini. Kadang Bapak hanya tidak mengerti batasan saja. Aku tahu ia tidak bermaksud untuk melukaiku seperti orang lain yang dulu menghajarku ketika aku berada di rumah kosong, namun aku tidak suka! Aku benci siapapun yang berusaha masuk ke wilayahku, aku juga membenci Pak Yono yang suka datang mengambil jahitan Bapak. Bagaimana jika tiba-tiba Pak Yono hendak memperkosaku pula? Apa yang harus aku lakukan?"
Arum terlihat begitu serius bercengkrama dengan bayangannya sendiri. Sesekali raut wajahnya jadi begitu mengerikan penuh dengan amarah dan rasa benci yang diikuti pantulan bayangan di cermin. Ia kerap mengeluarkan kata-kata keji dan penuh dengan umpatan menyumpahi orang-orang yang telah merusak hidupnya. "Lihatlah aku sekarang, teman baikku. Aku terkurung di ruangan ini, dan akan selamanya terkurung di sini. Jangan pernah tinggalkan aku, aku percaya kau akan menjadi sahabat baikku. Aku tidak butuh siapa-siapa lagi, kecuali mungkin Bapak. Meskipun aku sedang marah besar padanya, namun ia banyak membantuku pada hal-hal yang aku tidak bisa. Ia dapat keluar ke halaman rumah sedangkan aku tidak dan tidak akan!" ujar Arum sambil menggeram marah.
"Aku tidak akan sudi bertemu orang-orang. Aku tidak akan tertipu lagi untuk kedua kalinya. Sebelum mereka memperkosaku lagi aku akan tetap berada di sini bahkan sepanjang hidupku sampai akhir hayat. Mereka tidak akan dapat menyentuhku lagi sampai kapanku. Aku dan kau, teman baikku, kita akan aman di sini, hanya berdua saja, tidak butuh orang lain."
***
Esoknya Arum merasa keadaan sudah jauh lebih tenang. Ia memberanikan diri untuk keluar kamar. Sepi. Tidak ada siapapun. Makanan yang Bapak tinggalkan semalam di depan pintu sudah tidak ada. Ia beralih ke tudung bawah tutup, melihat apakah ada sesuatu yang dapat dimakan. Beruntungnya Bapak sudah menyiapkan makanan yang biasa ia makan. Arum melahapnya dengan cepat dan meneguk air putih bergelas-gelas. Rasanya hampir setahun tidak makan. Ia mengelap sisa makanan yang ada di mulut dan beranjak duduk di depan akuarium menatap ikan-ikan yang berenang dengan tenang.
"Aku ingin seperti kalian. Hidup dan tidak punya beban," papar Arum yang masih menatap gerak ikan dengan intens.
Gorden-gorden jendela sudah ditutupi semua oleh Bapak. Ia tahu jika Arum takut bahkan hanya untuk melihat ke luar halaman saja ia takut dan enggan. Selama ini keadaan rumah lebih sering gelap. Cahaya masuk ketika Arum sedang berada di kamar saja. Bapak baru berani membuka gorden rumah. Atau kalau tidak Bapak hanya membuka jendelanya saja. Itulah mengapa hari ini Bapak pergi kepasar. Ia ingin membeli vitrase lebih banyak lagi agar cahaya matahari dapat masuk sampai ke dalam rumah.
Arum beralih ke meja tempat jahit Bapak. Sudah lama sekali rasanya ia tidak menyentuh kain-kain ini. Sejak terakhir Bapak hendak menjahitkannya gaun merah muda namun ia menolak dengan keras. Ia memainkan kain-kain dengan membalikkan satu persatu. Melihat-lihat segala jenis warna dan bahan pada kain-kain tersebut. Yang paling ia sukai adalah jarum jahit terutama jarum pentul. Bentuknya yang kecil mungil dan terdapat bulatan kecil di atasnya. Jarum pentul biasa ia gunakan ketika merasa terancam dan takut akan suatu keadaan. Misalnya ketika Pak Yono datang mengetuk pintu untuk mengatarkan pesanan Bapak yang baru. Pak Yono tidak sengaja melihat Arum dan ia langsung ketakutan setengah mati. Sejak saat itu ia kerap mengambil jarum pentul Bapak diam-diam dan menusuknya ke jari telunjuknya sampai keluar tetesan darah yang segar.
Kala itu ia ingin mengambil dua jarum pentul lagi. Lebih tepatnya mencuri dari Bapak. Ia tahu Bapak akan sangat marah jika ia melakukan ini. Namun, Bapak akan marah dalam diamnya. Sama ketika Bapak menangis dalam sunyi tadi malam. Perasaan seorang Bapak yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata bahkan pada anak perempuan satu-satunya. Arum tidak peduli, hanya inilah satu-satunya cara ia dapat merasa lega. Hanya dengan menusuk benda tajam pada tubuhnya dan sampai ia melihat ada cairan berwarna merah keluar dan baru ia merasa lega dan dapat menarik napas kembali.
Arum melihat-lihat kotak-kotak yang lainnya yang Bapak tata dengan rapi. Mulai dari kancing baju, payet, benang dan tanpa sengaja ia melihat sepucuk kertas di antara lipatan kain-kain. Ia mengambil kertas tersebut yang terlipat menjadi empat bagian.
"Hai!"
Begitulah pesan dari kertas tersebut. Arum merasa kebingungan. Siapa yang meletakkan kertas ini di kain-kain Bapak. Barangkali ini hanyalah kertas biasa yang tidak sengaja menyelip di antara kain. Arum tidak mengambil pusing kertas tersebut namun ia bawa masuk ke kamar.
"Siapa yang mengirim sapaan seperti ini?" pikir Arum aneh.
Kertas tersebut cukup tebal. Dan anehnya lagi kertas itu ditulis dengan tulisan tangan seseorang. Arum tidak ambil pusing namun rasanya sangat tidak wajar. Apa pelanggan Bapak menjatuhkan sesuatu ketika sedang datang untuk mengukur kebaya, pikir Arum. Ia menyimpannya dalam laci, entahlah hanya ingin menyimpan saja tanpa ada alasan atau tendensi apapun.
Ia kembali ke ruang jahit Bapak yang berantakan dan sunyi. Melihat dirinya pada cermin besar yang terpajang di samping jendela sekaligus melihat luka-luka yang ia sembunyikan di balik pakaiannya. Arum merasa aneh dengan dirinya sendiri, ia merasa seperti tidak mengenal bayangannya seperti tadi malam ketika ia asyik berbincang dan saling curhat. Kadang ia merasa begitu jauh dari dirinya sendiri, dari kamarnya bahkan dari Bapak.
Bapak sudah pergi pagi tadi dan entah kapan kembali, barangkali sore. Arum tidak ambil pusing. Ia suka berada sendirian di rumah asalkan tidak ada siapapun yang hendak berkunjung. Kalaupun ada ia akan membiarkan tamu tersebut menunggu lama sampai akhirnya pergi dengan sendirinya. Ia memilih untuk bersembunyi di kamar atau di bawah meja jahit Bapak yang lebar. Arum sangat benci dengan dunia luar.