Bab 4 Penyesalan Bapak
Bab 4 Penyesalan Bapak
"Arum buka pintunya, Bapak akan masuk untuk mengambil pakaian kotormu," ucap Bapak sambil mengetuk pelan pintu kamarnya.
"Arum, Bapak hendak masuk, buka sekarang!" Bapak masih menunggu jawaban dari dalam
"Arum!" nada suara Bapak mulai meninggi, "Buka pintumu sekarang, kau tahu peraturan di rumah ini, bukan? Tidak ada pintu terkunci selain pintu depan. Kau sudah melanggar peraturan beberapa kali dalam satu minggu ini. Buka sekarang!" desak Bapak seraya menggedor lebih keras.
"Arum, Bapak akan--"
Jeglek! Arum membuka pintunya dengan kasar dan menatap Bapak dingin. Ia langsung membalikkan tubuhnya dan menuju cermin depan meja.
"Kau tahu peraturannya bukan? Sudah berapa kali Bapak katakan pintu kamar tidak boleh dikunci."
"Namun, ini kamarku," jawabnya dingin.
"Jika Bapak bilang tidak boleh artinya tidak boleh! Kau mengerti?!"
"Bagaimana jika ada seseorang yang masuk?!!" teriaknya kesal.
"Siapa? Tidak ada siapapun di sini."
"Bagaimana jika pria itu masuk ke kamarku dan mendekapku lagi. Apa yang akan Bapak lakukan? Apa?! Ketika aku melewati rumah itu sepertinya tidak ada siapapun, namun ternyata ada segerombolan pria yang sedang menungguku. Bagaimana jika mereka masuk ke kamarku!!" Seketika kaca pecah dengan lemparan sisir yang Arum lakukan. "Kau tidak tahu apa yang kurasakan! Mereka berusaha membunuhku! Apa kau tahu, ha?!!!" Serpihan pecahan kaca mengenai kakinya sampai berdarah. Bapak terkejut bukan main dengan ledakan amarah yang tidak ia duga sama sekali.
"Arum, dengarkan Bapak baik-baik nak, Bapak hanya--"
"Hanya apa?! Hanya apa? Aku tidak butuh perlindunganmu, Pak. Aku sudah ternodai, kau tidak perlu melindungiku lagi."
"Arum, Bapak mohon jangan seperti ini, nak," ujar Bapak dengan linangan air mata.
Arum keluar kamar dan pergi melihat akuarium. Ia menatap ikan-ikan yang berenang dengan tenang di air yang mulai keruh dengan tatapan tidak wajar. Ingin sekali rasanya ia mengeluarkan ikan tersebut dan membiarkannya mati secara perlahan. Mati seperti dirinya saat ini. Luka di kakinya masih menetes sampai ke sofa. Bapak keluar kamar dengan membawa betadine dan kapas.
"Jangan sentuh aku!" ujarnya dengan tatapan dingin.
"Setidaknya biarkan Bapak membersihkan lukamu. Itu bisa infeksi, Arum..."
"Aku bilang jangan sentuh aku!"
"Arum... Bapak mohon jangan buat Bapak sedih seperti ini terus."
"Bapak bisa menghilangkan kesedihan dengan menjahit saja."
Arum masuk kembali ke kamarnya. Bapak berusaha mengetuk untuk mengobati luka di kakinya, namun Arum enggan memperbolehkan siapapun untuk masuk lagi ke kamarnya.
"Arum, Bapak hendak masuk, apa boleh?"
Arum mematikan lampu kamarnya menyiratkan Bapak tidak dapat memasuki ranah wilayahnya yang sangat pribadi dan sensitif. Bapak menangis dalam diam tepat di depan pintu kamar Arum. Ia merasa gagal menjadi seorang Bapak, mau sampai kapan hal akan terus berlangsung. Sudah lebih dari sepuluh tahun dan luka itu masih basah bahkan tidak mengering sama sekali dari benak anak perempuannya. Ia terperangkap dalam masa lalu yang tidak ada seorangpun yang dapat menyelamatkannya.
Malam itu Babak termenung sendirian di depan mesin jahit. Ingin rasanya ia menjahitkan gaun cantik untuk Arum dengan warna lain, merah muda misalnya. Namun, jelas Arum akan mentah -mentah menolak dan berakhir dengan bantingan pintu yang mengagetkan jantung Bapak. Sudah hampir setengah jam Bapak tidak bergeming sama sekali. Apakah ini rasanya menjadi Bapak yang gagal? Yang tidak dapat melindungi anak perempuannya dari serangan predator seksual yang ganas dan liar diluar sana.
Bapak menitikkan air mata meratapi nasib hidupnya yang demikian terpuruk. Sepulang Arum sekolah kala maghrib itu Bapak tidak akan pernah melupakan tatapan mata Arum. Mata yang telah mati diikuti dengan jiwa yang melayang entah direnggut oleh siapa. "Aku gagal menjadi Bapak yang baik untuk Arum. Maafkan Bapakmu, nak." Bapak berucap sendiri padanya dirinya. Ia mengasihani Arum namun rasa kasihan itu membuatnya tidak dapat memaafkan dirinya sendiri.
Bapak kembali mengusap air matanya. Hidup dengan seorang anak perempuan yang terlecehkan harkat dan martabatnya sungguh bagaikan memikul beban terberat yang pernah diberikan oleh alam. Coba saja aku lebih perhatian lagi dengannya. Coba saja aku menyusulnya ketika ia pulang terlambat. Coba saja jika aku tidak hanya sekedar menasehatinya untuk pulang tepat waktu. Seharusnya aku mengantar dan menjemputnya setiap harinya ke sekolah. Seperti yang dilakukan orang tua teman-temannya. Namun, aku tidak menjemputnya kala itu bahkan selama ini Arum selalu berangkat dan pulang sendiri. Aku hanya sibuk menjahit dan menjahit sampai melupakan dirinya. Bapak menjabarkan dosa yang ia anggap berhasil menjadikan Arum terpuruk seperti saat ini.
Bapak terisak melihat lampu kamar Arum yang masih mati. Bapak tahu jika Arum di dalam sana belum tertidur. Ia pasti sedang menyakiti dirinya sendiri dan menangis dalam diam. Bapak tahu itu meskipun tidak ada suara lain selain senyap. Ingin sekali rasanya Bapak masuk untuk melihat keadaannya. Mengelus rambut panjangnya dan memeluknya setelah lebih dari sepuluh tahun tidak pernah ada sentuhan hangat itu di rumah ini. "Maafkan Bapak, anakku." Berulang kali Bapak minta maaf dengan menatap pintu kamar Arum dari tempat duduknya di depan mesin jahit. Pesanan untuk esok tidak niat ia garap sekarang. Hatinya terlalu remuk untuk sekedar menyelesaikan pekerjaan.
Wajah Bapak memerah. Matanya bengkak dan sembab. Malam itu pukul sebelas dan hari-hari akan sama seperti ini. Pergulatan batin antara Bapak dan anak akan terus terjadi mengisi rumah yang kian lama kian usang dan kehilangannya ruhnya. Lama Bapak mengamati pintu kamar Arum dan tiba-tiba lampu kamarnya menyala kembali. Bapak bereaksi sejenak sambil menajamkan pendengarnya. Arum sedang masuk ke kamar mandi. Suaranya terdengar cukup jelas di antara kesunyian. Bapak segera mengambil makan dan minum yang diletakkan di nampan.
Ia berusaha untuk memberanikan diri mengetuk pintu Arum, namun setengah mati takut rasanya. Berkali-kali Bapak mencoba bagaimana cara terbaik untuk mengetuk dengan santun tanpa ingin mengganggu ketenangan Arum. "Arum, dari tadi kamu belum makan." kata Bapak seraya mengetuk pelan. Tidak ada jawaban. "Bapak tidak bermaksud membuatmu terkejut dan takut. Bapak hanya ingin melihat keadaanmu saja. Apakah kamu baik-baik saja? Bapak sungguh minta maaf, Arum."
Hening.
Arum memilih untuk kembali mematikan lampu kamarnya dan mengabaikan Bapak.
"Jika kamu merasa lapar tengah malam nanti, Bapak taruh makan di depan pintu ya. Jangan sampai sakit. Sekali lagi Bapak benar-benar minta maaf."
Bapak meletakkan nampan persis di depan pintu depan kamar Arum. Air matanya sudah berujung di kelopak mata, namun sebisa mungkin ia tahan. "Harusnya aku tidak pernah masuk ke kamarnya. Harusnya aku tahu jika ia benar-benar merasa takut jika ada orang yang sembarang masuk. Harusnya aku tahu jika ia takut dengan laki-laki manapun termasuk aku sebagai Bapaknya."