Bab 3 Pulang Terlambat
Bab 3 Pulang Terlambat
Hari itu menjelang maghrib dan ia berjalan sendirian sepulang sekolah.
"Harusnya aku tidak mengikuti apa kata Nuha, aku jadi pulang terlambat begini. Bagaimana jika Bapak jadi marah," ujarnya khawatir.
Gadis belia itu berjalan sambil menggerutu sepanjang jalan. Sepulang sekolah Nuha mengajaknya untuk main main basket dengan teman-teman kelas. Ia sudah menolak takut jika Bapak marah, namun teman-teman laki-lakinya banyak yang mengolok dengan mengatakan, "Kau tidak seru sekali, Rum! Memang siapa yang menunggu di rumah kan hanya Bapakmu. Bapakmu juga pasti sedang menjahit," ujar mereka beramai-ramai. "Paling tidak mainlah dulu dengan kita, lagian di sini juga masih ada Nuha, lihat Nuha, ia tampak biasa saja." Arum semakin bingung, ia tidak ingin pulang rumah terlambat dan membuat Bapak khawatir.
Sekolah selesai pukul tiga sore, namun ada beberapa ekstra yang wajib diikuti oleh setiap muridnya. Arum tergabung dalam komunitas kecil-kecilan yang diadakan oleh Bu Ningsih. Setiap dua minggu sekali mereka berkumpul di pelataran kelas untuk membaca buku apa saja yang pernah atau sedang atau sudah tamat dibaca. Biasanya Arum memilih untuk membacakan cerita rakyat atau dongeng yang biasa Bapak karang sendiri. Kelas membaca selesai pukul empat sore dan setelah itu Bu Ningsih memperbolehkan murid-muridnya untuk menghabiskan makan siang atau cemilan terlebih dahulu sebelum pulang.
"Arum!!!" teriak Nuha dari gerbang sekolah.
"Ikutlah dengan kami! Anak-anak kelas akan main bersama, kau sudah lama tidak ikut kita bukan?" ujar Nuha dengan napas tersengal-sengal.
"Aku tidak bisa. Aku harus pulang sekarang."
Di depan pagar sekolah sudah ada banyak anak laki-laki kelas lain. Mereka menunggu Nuha sekaligus keputusan Arum untuk ikut.
"Katakan pada mereka aku tidak bisa ikut. Aku harus membantu Bapak di rumah."
"Hoi!!! Jadi tidak? Kita sudah lama menunggu ini!" teriak Arya yang sedari tadi sudah menunggu.
"Tunggu sebentar, aku masih berbicara dengan Arum," balas Nuha, "Jadi, bagaimana, katakan saja nanti dengan Bapakmu kalau kelas membaca selesai pukul lima sore karena buku-buku yang harus dibaca banyak."
"Aku tidak suka berbohong, Nuha. Aku tidak bisa."
"Ikutlah, aku mohon. Aku sendirian di antara anak-anak laki-laki yang suka usil itu."
"Kau bisa tidak ikut dengan mereka."
"Namun, mereka temanku. Mereka anak-anak kelasku. Ayolah kali ini saja!" rengek Nuha.
Arum merasa tidak enak dengan harus menolak ajakan Nuha. Sebenarnya ia juga tidak terlalu menyukai anak laki-laki dari kelas Nuha, mereka suka sekali mengganggu anak-anak perempuan dari kelasnya.
"Bagaimana?" tatap Nuha memohon.
"Baiklah, tapi sebentar saja ya."
"Akhirnya! Ya sudah ayo!" ujar Nuha seraya menarik lengan Arum. "Hei! Arum akan ikut dengan kita."
"Tapi, Nuha," sergah Arum cepat, "Kita tidak akan sampai pergi ke salah satu tempat tongkrongan mereka, bukan? Aku sungguh tidak bisa. Bapak akan marah besar."
"Tidak, kita hanya akan main basket saja di lapangan milik Pak Ahmad, ia juga tidak akan marah."
Arum mengikuti tarikan lengan Nuha dengan berat hati. Bapak sering kali melarangnya untuk main setelah pulang sekolah. Jika waktunya pulang maka pulang segera tidak ada mampir-mampir ke tempat lain. Namun, Nuha adalah teman paling dekat Arum. Nuha lah yang memperkenalkan Arum dengan teman-teman dari kelas lain dan juga kakak kelas yang tidak ia kenal sebelumnya. Bapak sudah katakan jangan pulang terlalu sore, saat itu sudah pukul lima sore dan Arum masih duduk sendirian mengamati teman-temannya asik saling oper bola. Ia tidak ikut main sama sekali dan hanya menonton dari jauh.
"Kau tidak mau main?" tanya Arya
Arum menggeleng.
"Hei! Teman-teman ia tidak mau main, lantas mengapa ia berada di sini?"
Segerombolan teman-teman Arya mulai menertawakannya.
"Jika kau tidak mau main dengan kita, lebih baik pulang saja!" ujar salah satu dari mereka.
Nuha sedang berada jauh dari Arum. Ia tidak mendengar jika teman-temannya mengolok-olok Arum yang hanya mampu terduduk diam di pinggir lapangan.
"Payah sekali kau ini!" ujar Arya.
"Tinggalkan aku sendiri!" ketus Arum tidak suka.
"Kau mau apa? Apa kau akan menangis?" ledek Arya.
"Aku bilang hentikan," wajah Arum mulai memerah dan henak menangis.
"Hei! Lihat teman-teman ia akan menangis sebentar lagi. Menangislah! Memang anak perempuan mudah sekali menangis," ejek Arya yang tidak mau berhenti mengganggu Arum.
"Hei hentikan! Apa-apaan kau ini! Aku sudah bilang kan jangan ganggu dirinya. Biarkan saja jika ia tidak mau ikut main. Lagian kalian main pun suka curang, tidak usah sok merasa jagoan," Nuha tiba-tiba datang ketika melihat dari kejauhan Arum mulai dikelilingi teman-teman laki-lakinya yang usil.
"Kenapa aku membelanya? Kami hanya ingin mengajaknya bermain saja." sanggah Arya, "Iya kan semua?" Arya berusaha mencari pembenaran dengan mendapatkan dukungan dari kawan-kawannya. Dan mereka mengiyakan seolah-olah memang Arum lah yang sulit untuk diajak berteman.
"Sudahlah, pergi saja kalian!" ucap Nuha kesal.
"Ada apa denganmu? Kalau kau mau menyalahkan orang salahkan saja temanmu ini. Besok-besok kita tidak usah mengajaknya bermain lagi, ia tidak seru ternyata."
"Aku bilang hentikan!" Nuha melemparnya dengan tas.
Arya menatap Nuha tidak percaya, "Kau juga besok tidak usah ikut dengan kami, kau tidak seru sama seperti temanmu yang mudah menangis itu!"
"Baiklah, aku juga tidak peduli dengan permainan curang kalian. Dasar payah!"
Nuha mengambil tasnya dan menggandeng Arum untuk segera pergi ke tempat lain. Arum sudah meneteskan air mata akibat perundungan yang sering ia alami seperti barusan.
"Apa kau tidak apa?" ujar Nuha prihatin.
"Tidak apa-apa. Aku harus pulang sekarang, pasti Bapak sudah mencariku."
"Aku minta maaf jika kau menjadi menangis seperti ini. Besok-besok kita tidak akan lagi main dengan Arya dan teman-temannya."
Arum dan Nuha berpisah saat itu. Rumah mereka berlawanan arah sehingga harus menempuh jalan sendiri-sendiri. Hari itu sudah menunjukkan pukul lima lewat lima belas dan sebentar lagi akan adzan maghrib akan berkumandang. Arum berusaha mempercepat langkahnya karena langit mulai gelap ditutupi awan hitam. Selama perjalanan ia tahu Bapak akan sangat marah dengannya. Sudah dikatakan jangan pulang terlambat dan segera pulang ia justru melanggar aturan itu. Pakaian sekolahnya pun menjadi tampak lusuh sekali padahal besok masih dipakai.
Bagaimana jika Bapak marah? ujarnya sendiri. Bapak akan menyuruhku untuk mencuci seragam sekolah sendiri. Bagaimana jika tidak kering? Arum semakin khawatir. Ia tidak mau mengenakan seragam yang lembab karena akan berbau tidak enak. Arum berusaha berjalan lebih cepat lagi. Tumpukan buku pelajaran, kotak bekal makan siang dan air minum yang masih terisi setengah membuat langkahnya jadi lambat. Punggungnya pun terasa berat. Semakin cepat ia berjalan semakin ia merasa keberatan dengan ranselnya.
Sampai akhirnya di persimpangan jalan Arum melihat segerombolan kuli bangunan sedang beristirahat. Mereka tertawa melihat acara televisi di layar tancap ditemani dengan asap rokok dan bau keringat yang menyengat. Arum tidak ingin lewat namun hanya jalan inilah satu-satunya yang paling cepat menuju rumah.
"Eh, ada neng cantik. Kok jalan sendirian, sudah mau malam lho," ujar seorang laki-laki yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya.