Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Rasa Takut

Bab 2 Rasa Takut

"Permisi, Pak!!!" teriak seseorang dari luar.

Bapak segera keluar rumah dan menuju pagar depan.

"Eh, Pak Yono, maaf, Pak ini barangnya sudah siap sebagian. Apa mau dilihat terlebih dahulu? Sebentar ya saya ambil dulu," ujar Bapak.

Bapak masuk ke dalam dan mengambil beberapa pakain kebaya yang sudah jadi. Patung-patung perempuan yang dipasangi Bapak kebaya tampak begitu indah dengan warna dan payet yang mengkilap.

"Maaf, saya baru bisa menyelesaikan dua kebaya saja. Pelanggan minta payet di seluruh bagian tubuh jadi saya harus meluangkan waktu lebih banyak lagi untuk konsentrasi."

"Ndak, apa Pak. Saya ambil sekarang bisa ya?"

"Bisa, Pak, sebentar saya kemasnya dulu supaya lebih rapi."

Bapak masuk kembali kerumah mengambil kotak box berwarna coklat yang berlabelkan Jati Griya Kebaya diatasnya. Ia melepaskan dua kebaya dari patung perempuan itu dan melipatnya dengan rapi.

"Pak, untuk bayarannya saya transfer saja ya, atau mau tunai saja?"

"Kalau bisa tunai saja, Pak. Saya ndak ada waktu buat keluar rumah. Saya harus jaga Arum setiap saat."

"Oh ya sudah, ndak apa, besok saya datang lagi bawa tunai."

"Baik, Pak, terima kasih banyak."

"Sama-sama, Pak. Salam buat Mbak Arum ya, Pak," ujar Pak Yono pamit.

"Iya, Pak. Saya masuk ya, Pak."

Bapak kembali menutup pagar rumah dan mengunci pintu depan lagi. Barangkali ia harus lebih meluangkan waktu agar pekerjaannya selesai dengan cepat. Dua minggu ini Bapak merasa begitu lelah dengan semuanya. Kebaya yang harusnya jadi dalam bulan banyak yang molor dari tenggat waktu. Sulit sekali rasanya untuk daapt fokus. Rumah masih sama seperti dulu tidak ada yang berubah. Bapak menatap rumah yang penuh dengan kain berlembar-lembar, bekas-bekas benang yang tercecer dimana-mana, dan alat jahit yang semuanya terkeluar dari tempatnya. Kadang Bapak harus berhati-hati karena banyak jarum di lantai yang sering mengenai kakinya.

"Arum, kau sedang apa?" tanya Bapak melihat Arum di sudut ruangan. Ia tampak linglung memperhatikan akuarium yang berisi dua ikan cupang. Arum tidak menjawab Bapak dan masih terus memperhatikan gerak ikan yang berenang-renang bebas di dalam air. Ia menatap Bapak lama, "Mengapa mereka dipisahkan seperti ini?" tanyanya dengan raut wajah datar.

"Itu dari Pak Yono yang barusan mengambil pesanan kebaya. Bapak sebenarnya tidak mau menerima takut jika ikan itu mati. Namun, barangkali ia bisa jadi temanmu."

"Aku tidak butuh teman," jawab Arum dingin.

Bapak menghela napas pasrah, "Arum, semalam kau tidak makan, apa mau Bapak buatkan sesuatu?"

"Nasi putih, tahu putih dan air putih. Di meja makan!" Arum langsung masuk kembali ke kamarnya.

Bapak menatap belakang punggung Arum yang berjalan menuju kamar. Belum sempat Bapak mengelus rambutnya ia sudah beranjak pergi saja. Barangkali Arum masih marah denganku, pikir Bapak, "Sudah sepatutnya aku tidak ceroboh ketika sedang makan malam," kata Bapak yang masih penuh penyesalan atas kejadian tadi malam.

***

Keseharian Arum lebih suka ia habiskan di kamar. Ia dapat berdiam diri selama berjam-jam tanpa melakukan apapun selain memandang dua akuarium kecil di ruang tamu jika ia bernafsu untuk keluar kamar. Namun, selebihnya ia lebih suka berada di kamar sendiri. Bapak merasa sangat sungkan untuk masuk kamarnya. Hanya ketika Arum sedang mandi saja Bapak berani masuk untuk membersihkan kasur dan mengambil beberapa pakaian kotor. Semenjak kejadian itu Arum tidak suka dengan warna pakaian yang terlalu mencolok. Ia hanya mengenakan warna-warna gelap seperti hitam dan abu-abu. Pakain itu pun harus berbentuk gaun selutut dengan tali pita di belakang dan resleting panjang. Arum tidak mau mengenakan pakaian lainnya selain itu. Ia membuang semua pakaiannya yang lain dua minggu setelah kejadian dan bertelanjang selama di rumah. Bapak berusaha untuk mengenakannya pakaian namun ia menolak. Ia mau telanjang sepanjang hidupnya, paparnya ketika itu.

Akhirnya Bapak menjahitkan pakaian yang ia mau, gaun berwarna gelap dan harus berwarna gelap. Ia tidak menerima warna lain selain gelap. Pernah Bapak menjahitkannya pakaian berupa gaun panjang seperti tunik dengan warna lembut pastel. Bapak berusaha membuatnya menjadi perempuan yang cantik dan ceria dengan pakaian tersebut. Namun, seketika Arum mengamuk dan mengambil gunting, merobek-robeknya di hadapan mata Bapak, lantas membuangnya ke tempat sampah. "Aku benci warna itu! Aku sudah katakan aku membenci semua warna yang Bapak selalu ingin aku mengenakan pakaian itu!!!" ujarnya penuh dengan amarah.

Semenjak itu Bapak menyerah. Bapak hanya akan menjahit pakain khusus untuk Arum dari sisa-sisa kain kebayanya yang dapat menyerap keringat lebih mudah sehingga Arum tidak cepat gerah. Selebihnya Bapak tidak pernah berani mencoba hal lain untuk mengembalikan Arum. Warna gelap dan hitam adalah warna yang hanya mau ia ambil, tidak ada warna lain. Pernah sekali Bapak kedatangan Pak Yono yang membawa pesanan kain beberapa minggu lalu.

"Arum, apa kau mau Bapak jahitkan pakaian lain? Kau bisa pilih warna yang kau sukai."

"Aku mau warna merah," ucapnya datar.

"Merah jambu?"

"Merah darah. Apakah ada?"

Bapak langsung terdiam mendengarkannya. Arum tahu warna itu tidak ada di antara lembaran kain Bapak. Ia beralih pergi meninggalkan Bapak dengan perasaannya yang terluka tanpa sebab.

"Bagaimana Pak, apa Mbak Arum mau warna lain, saya bisa carikan di Pasar Kembang Rakyat, di sana lengkap."

Bapak berusaha untuk tetap tersenyum dan menghargai jerih payah Pak Yono yang datang dengan motor bututnya. "Arum, belum mau warna lain, Pak. Nanti kalau misal ia ada permintaan saja, baru saya hubungi Bapak lagi."

"Atau begini saja, Pak," kata Pak Yono kala itu, "Saya bisa bawakan katalog daftar warna kain kalau Bapak mau, nanti saya bilang sama majikan supaya bisa dipinjam Bapak dulu, begitu."

"Apa tidak apa, Pak. Saya tahu merepotkan."

"Ndak apa, wong saya sudah sering kesini, majikan saya juga sudah mengenal Bapak meskipun jarang bertemu."

"Kalau begitu boleh, Pak. Saya jadi punya tambahan referensi," ucap Bapak seraya tersenyum.

"Ya sudah, Pak. Saya pamit dulu nanti dicari sama majikan, saya permisi ya Pak," ucap Pak Yono pamit undur diri.

"Silahkan, Pak, terima kasih banyak."

Arum menatap Bapak dan Pak Yono dari balik jendela. Ia ingin sekali rasanya untuk keluar hanya di halaman rumah saja, namun ia merasa takut. Bagaimana jika permerkosa itu datang dan memerkosanya lagi? Pria itu akan melucuti pakaiannya dengan paksa dan menyobek roknya sampai ke paha. Kemudian menamparnya dengan keras karena hendak melawan. Dan ia akan memasukkan kelaminnya secara paksa sambil mendekap mulut Arum yang kesulitan bernapas. Masa lalu itu datang begitu saja menghampiri Arum yang sedang melihat Bapak dan Pak Yono yang hendak pamit.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel