Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1 Sepuluh Tahun Lalu

Bab 1 Sepuluh Tahun Lalu

Seringkali ia berbicara sendiri ketika sedang berhadapan dengan cermin di depannya. Kebiasaan ini sudah ia lakukan sedari dulu dan terbawa sampai usianya mencapai dua puluh tahun. Baginya tidak ada yang dapat dipercaya selain bayangan dirinya yang berada di cermin. Ia adalah satu-satunya bentuk refleksi diri yang paling bisa diajak bicara dari hati ke hati. Seringkali Bapak memergokinya berbicara sendiri, namun ia memilih untuk tetap diam. Keadaannya sering kali tidak stabil dan Bapak tidak mau ia semakin menjadi-jadi. Namun, ia melakukan itu untuk dirinya sendiri. Cermin di depan meja yang berada di kamar adalah teman sejatinya. Semenjak kejadian sepuluh tahun lalu, ia menjadi enggan untuk keluar rumah jika bukan karena harus merangkai bunga. Pernah Bapak memaksanya untuk ikut sanggar seperti dulu namun sia-sia. Ia tidak ingin sekolah formal lagi dan memilih mengurung diri sampai sekarang.

***

"Setidaknya bantu Bapak untuk membuatmu dapat hidup kembali," kata Bapak kala itu. Ia merasa begitu putus asa dan tidak tahu harus bagaimana. Ia telah gagal melindungi putrinya sendiri. Tidak ada kabar mengenai keberlanjutan kasus yang sudah lebih dari setengah hidup putrinya.

Saat itu petang menjelang maghrib, Arum tidak biasanya pulang terlambat. Bapak menantinya di rumah dengan sedikit was-was jangan-jangan ia tertidur lagi di perpustakaan kota. Ia kerap sekali tertidur karena terlalu lelah sehabis mengikuti kegiatan ekstra sekolah. Adzan maghrib berkumandang dan Bapak masih belum melihat batang hidung Arum. Sampai akhirnya salah satu warga datang kerumah. Ia mengatakan menemukan Arum tertidur di rumah kosong yang tidak bertuan yang masih dalam tahap pembangunan. Bapak buru-buru beranjak kesana untuk melihatnya. Dan saat itulah semuanya berubah. Bapak dan Arum sama-sama berubah.

Arum ditemukan dalam keadaan lusuh dengan pakaian sekolahnya yang compang-camping. Ia bukan tertidur melainkan tidak sadarkan diri karena dibius oleh seseorang. Hidungnya berdarah, rok putihnya pun juga terdapat bercak darah. Ketika dibawa ke rumah sakit, Arum mengalami serangkaian penyerangan yang masih dicari siapa pelakunya. Dalam keadaan terluka dan penuh dengan lebam Arum tertidur di rumah sakit. Bapak menunggunya dari luar seraya menangis tidak karuan. Arum telah diperkosa oleh seseorang.

Hati Bapak hancur berkeping-keping. Dokter mengatakan selaput dara Arum robek secara paksa. Seseorang pasti memaksakan kelaminnya masuk di lubang yang masih kecil dan belum matang. Kala itu usia Arum baru mau menginjak lima belas tahun, dua bulan lagi ia akan berulang tahun. Namun, hadiah yang pahit dan seluruh hidupnya luluh lantak bagai diterjang badai hebat. Klitorisnya rusak dan luka karena gesekkan kasar yang dilakukan oleh orang dewasa. Dokter menyarankan untuk membawanya ke psikolog anak untuk membantu memulihkan kembali keadaan psikisnya. Namun, ia mengatakan hal ini akan memakan waktu yang sangat lama bahkan seumur hidup. Tidak mudah bagi seseorang yang mengalami pelecehan seksual untuk pulih kembali. Pengalaman itu akan terus membekas pada korbannya sampai kapanpun.

Malam itu di depan cermin Arum berkata pada dirinya sendiri, "Aku sungguh manusia tidak berguna. Sejak dulu aku merasa tidak berguna. Aku tidak sama dengan teman-temanku yang lainnya. Mengapa mereka dapat begitu mudah berteman satu sama lain sedangkan aku tidak? Orang-orang dapat dengan mudahnya saling melempar canda tawa dan aku hanya diam saja. Kau memang sahabatku yang paling kusayang, jangan pernah tinggalkan aku," kata Arum pada bayangannya di cermin.

"Arum, makan malam telah siap, sebaiknya makan selagi masih hangat," papar Bapak.

Arum segera keluar kamar tanpa mengiyakan atau bereaksi apapun. Ia tidak bergairah untuk makan malam. Sudah lebih dari sepuluh tahun ini ia tidak merasakan apapun pada lidahnya selain rasa pahit. Ia tidak suka makanan yang terlalu ada rasanya. Bapak hanya memberikan nasi putih, tahu putih dan air putih saja untuknya. Tidak ada yang lain. Arum akan marah jika Bapak memberinya makanan dengan berbagai macam rempah-rempah yang tidak ia sukai lagi. Hanya sesekali Bapak merebuskan buncis agar pencernaannya tetap lancar. Selebihnya ia hanya makan sesuatu yang berasa tawar. Semenjak kejadian sepuluh tahun lalu itu jiwanya telah lama pergi.

Bapak tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapinya. Ia bahkan hampir menyerah pada dirinya sendiri yang ia anggap tidak layak sebagai Bapak. Malam itu keduanya makan seperti biasanya. Tanpa ada percakapan satu sama lain. Mereka makan dengan tenang dan saling diam satu sama lain. Bapak mengambilkan nasi untuknya. Namun tidak sengaja Bapak memberikan sayur oseng ke piring Arum. Seketika ia langsung menghamburkan piring ke lantai seraya menatap Bapak tajam. Bapak tersentak dengan pecahan piring di lantai.

"Apa kau harus seperti ini?" tanya Bapak marah.

Arum hanya menatapnya dengan sorot mata tajam menusuk. Bapak yang tadinya marah menjadi merasa tidak enak dan menyesal. Tidak seharusnya ia salah memasukkan sayur oseng ke piring Arum. Ia tidak makan makanan yang memiliki cita rasa.

"Aku sudah bilang jangan beri aku makan makanan seperti itu," jawab Arum dingin.

"Bapak tidak sengaja!" Apa kau harus sampai memecahkan piring?!"

Arum berdiri dari tempat duduknya dan masuk ke kamar dengan membanting pintu. Ia duduk di samping ranjang seraya menguliti jari-jarinya sampai berdarah. Setiap ada kejadian yang membuatnya bergejolak Arum akan selalu melukai dirinya sendiri. Bekas luka di tangannya semakin hari semakin banyak. Ia kerap melakukan itu untuk meredakan amarahnya sendiri. Nafasnya tidak beraturan. Peluh keringat dingin tampak membasahi dahinya. Ia seperti hendak meledak.

Bapak yang masih di meja makan berusaha untuk membersihkan pecahan piring. Ia tahu ia salah namun mau sampai kapan hal ini terjadi. Ia membersihkan dengan mengambil ceceran nasi dan lauk pauk di lantai yang ia ambil dengan meneteskan air mata. Tidak seharusnya ini terjadi pada anak perempuannya. Usianya sudah menginjak dewasa. Mau sampai kapan ia akan seperti in. Terkurung dalam tubuhnya yang dewasa dengan pengalaman ketika ia dilecehkan di usia lima belas tahun akan sangat sulit untuk dihilangkan.

"Aku memang tidak layak menjadi seorang Bapak," papar Bapak seraya mengusap matanya, "Harusnya aku dapat melindunginya dengan baik. Lihat jadi seperti apa dirinya sekarang." Bapak semakin merasa bersalah atas kesalahannya tidak dapat melindung Arum kala itu. Tidak hanya Arum yang merasakan trauma menahun, namun hal itu pun dirasakan oleh Bapak sebagai orang tua perempuan yang mengetahui seperti apa pelecehan seksual pada tiap korbannya.

"Arum, Bapak sudah buatkan makan malam baru untukmu, makanlah nak, Bapak tidak ingin kau sakit," papar Bapak di depan pintu kamar.

Namun, tidak ada jawaban apapun dari dalam. Arum memilih membiarkan Bapak bicara sendiri di depan kamarnya. Ia tetap di kamar mengurung diri dengan masih menyilet pergelangan tangannya secara perlahan. Darah segar mengucur deras dari tangga Arum. Ia mengamati tetesan darah tersebut dengan seksama, tetes demi tetes. Semakin ia melukai dirinya semakin ia merasa tenang. Hanya di kamarnya sendirilah ia merasa tenang dan damai. Baginya tempat selain kamar adalah neraka yang penuh dengan manusia jahat yang hendak menyakitinya seperti dulu.

Empat Babak Cerita Puan

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel