Bab 22 . Masih Pentingkah Siapa Diriku?
"Benar! Beliau sangat perfeksionis dan itu membuatnya tidak pernah menemukan pasangan hidup yang tepat. Nona Agatha tidak menikah! Jadi pastikan dirimu memanggilnya dengan sebutan Nona dan setiap beliau memberi perintah, maka lakukan secepat mungkin agar terhindar dari masalah!" jelas Mary.
Lalu, mereka berdua berjalan ke arah lift dan naik ke lantai 10.
Lantai 10 adalah lantai di mana Ethan bekerja, Ellena penasaran dan mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan.
Interior lantai divisi Fashion Illustrator layaknya kantor formal biasanya. Ruang kerja yang luas dengan meja kerja yang tersusun rapi dengan sekat kaca untuk membatasi setiap meja kerja. Para karyawan sibuk berkutat dengan perangkat komputer masing-masing.
Ellena dapat melihat Ethan yang tenggelam dalam pekerjaannya di hadapan layar komputer. Dirinya tersenyum, pria itu terlihat berbeda saat sedang serius seperti itu.
Ellena mengikuti Mary ke ruangan yang ada di ujung. Terlihat itu adalah ruangan Pimpinan.
"Kita akan pergi ke ruangan Manager Divisi Fashion Illustrator," jelas Mary.
Tok tok tok!
Mary mengetuk pintu kaca perlahan. Pria bertubuh gempal berusia sekitar 40-an menatap ke arah mereka dan mengangguk mempersilahkan mereka masuk.
Mary mendorong pintu kaca itu dan masuk ke dalam ruangan, diikuti oleh Ellena.
"Tuan, Nona Agatha mengirimkan dokumen ini," ujar Mary penuh hormat.
"Letakkan di atas meja. Ingat menutup pintu saat kalian keluar!"
Ujar pria itu tanpa melihat Mary. Sungguh sangat tidak memiliki sopan santun. Ellena berang dengan perlakuan pria itu yang begitu sombong. Namun, tidak ada yang dapat dilakukannya selain mengikuti Mary keluar dari ruangan itu dan menutup pintu kaca itu kembali.
Mary berjalan perlahan dan pandangannya menatap ke arah para karyawan yang sibuk berkutat di perangkat komputer masing-masing.
Ellena mengikuti arah pandang Mary yang tertuju pada seorang pria muda yang terlihat sangat rapi. Pria berperawakan tinggi dan kurus, kacamata berbingkai tipis bertengger di wajah pria itu yang cukup tampan. Ellena tersenyum, wajar bagi seorang gadis memiliki pria idaman mereka.
Mengingat pria idaman, hal itu membuat Ellena memikirkan Marco Kang. Hal itu membuat hati Ellena kembali merasa sedih. Namun, rasa sedih itu digantikan dengan rasa terkejut saat sekelompok karyawan itu menyoraki kehadiran mereka.
"Hei! Thomas, itu kekasihmu! Sapalah dia, lihat bagaimana dirinya menatap dirimu!"
"Benar! Ajak kencan!!!"
"Ayo! Hampiri gadis itu!"
Sorak para karyawan bergantian. Ellena menghitung, ada sekitar 15 orang yang menyoraki Mary, kecuali Ethan tentunya yang saat ini bertatapan dengan Ellena. Ada 12 orang pria dan 3 orang wanita yang terus bersorak mengejek Mary.
Sedangkan Thomas, pria yang ditaksir Mary terlihat marah dan wajahnya memerah. Ellena berpaling untuk melihat Mary yang sudah tertunduk malu karena sorakan mereka.
BRAK!!!
Thomas memukul meja keras dan itu membuat sorakan itu terhenti. Thomas berdiri dan dengan wajah mengerikan berjalan menghampiri mereka.
Tepat berdiri di hadapan Mary, Thomas berkata dengan dingin, "Jangan pernah menatap diriku lagi! Ingat itu!"
Mary hanya menunduk, Ellena melihat bagaimana tangan Mary yang meremas ujung kemejanya dengan cemas.
"Benar! Thomas adalah karyawan penuh prestasi dan berasal dari keluarga terpandang! Jadi tidak mungkin dirinya akan tertarik dengan gadis seperti dirimu! Seperti kalian tepatnya! HELPER!!" ujar salah seorang karyawan wanita yang juga mendekati mereka.
Awalnya Ellena tidak ingin ikut campur, tetapi wanita itu juga melibatkan dirinya dengan menggunakan kata 'kalian'.
Ellena yang berdiri di samping Mary, langsung melangkah satu langkah dan berdiri tepat di membelakangi Mary.
Ellena menengadah menatap Thomas dan berkata dengan dingin, "Pria dari keluarga terpandang, seharusnya juga mendapatkan pendidikan yang layak! Atau sekolah untuk keluarga terpandang tidak mengajarkan apa yang namanya tata krama? Jika seorang gadis menyukai dirimu, kamu seharusnya merasa bangga! Jika, dirimu tidak dapat menerima perasaannya, maka jangan. Namun, jangan menyakiti perasaan seseorang yang tulus terhadapmu!"
"Hei! Kamu Helper baru sudah begitu sombong?" ujar wanita itu dan berdiri di membelakangi Thomas dan berhadapan langsung dengan Ellena.
"Memang kenapa jika Helper? Apakah gaji Helper dibayar olehmu?" tanya Ellena menatap wanita itu galak.
Thomas maju ke samping dan berdiri di tengah-tengah mereka dan berkata, "Aku minta maaf! Mohon jangan ribut karena masalah ini."
Mendengar pria itu mengucapkan kata maaf, itu sudah cukup dan Ellena mundur. Lalu, Ellena menggandeng tangan Mary dan mereka berjalan cepat meninggalkan ruangan itu.
Ethan tersenyum simpul melihat bagaimana Ellena mencakar kembali, pihak yang hendak mencakar dirinya. Itu bagus, tidak baik menjadi wanita yang lemah.
Di dalam lift.
"Terima kasih," ujar Mary pelan masih menundukkan kepalanya.
Ellena tidak menanggapi ucapan terima kasih Mary, dirinya langsung memeluk gadis itu. Hanya pelukan yang dapat menghibur Mary, batin Ellena.
Mereka kembali ke lantai 8 dan mulailah mereka berdua sibuk bukan kepalang. Semua karyawan senang memberi perintah, bahkan benda yang berada tepat di hadapan mereka, juga harus meminta dirinya atau Mary mengambilkan.
Helper tidak memiliki harga di mata mereka. Dari sekian banyak karyawan di sana, hanya Joya yang tidak seperti itu. Joya lebih banyak berdiam di ruangannya dan Ellena melihat Joya sendirian tidak memiliki asisten, itu membuat harapan tumbuh di hati Ellena.
Joya menatap keluar ruangan dan tatapan mereka bertemu. Joya tersenyum dan melambaikan tangan meminta Ellena datang ke ruangannya.
Ellena mengangguk dan berlari ke arah ruangan Joya.
Tok tok tok!
Ellena tetap mengetuk, itu adalah dasar dari sopan santun yang diketahuinya.
"Masuklah!" pinta Joya.
Semua ruangan di sini disekat menggunakan kaca, jadi semua dapat saling melihat jelas.
Ellena masuk dan menyapa Joya.
"Selamat siang, Nona Joya!"
"Hei! Cukup panggil aku Joya," ujar Joya santai.
"Baik."
"Duduklah," perintah Joya kepada Ellena.
Ellena duduk di hadapan meja kerja di mana Joya duduk dibaliknya.
"Kamu Ellena Lee?" tanya Joya.
Ellena mengangguk, memang itu namanya.
"Benar, namaku Ellena Lee."
"Aku tahu itu namamu! Maksud pertanyaanku adalah apakah benar kamu Ellena Lee, putri tunggal almarhum Tuan Lee?" tanya Joya.
Mendengar Joya menyebutkan ayahnya, membuat Ellena merasa sedih dan matanya mulai panas.
"Tidak usah dijawab! Dari reaksimu aku yakin dirimu benar putri tunggal almarhum Tuan Lee."
Joya bersandar di kursi kerjanya dan menatap Ellena lekat.
"Kau tahu, aku adalah anak pasangan karyawan perusahaan ini! Orang tuaku meninggal saat aku berusia 15 tahun, karena kecelakaan dan aku yatim piatu! Namun, berkat ayahmu aku berakhir menjadi seperti sekarang ini! Beliau menyekolahkan aku di sekolah dan universitas ternama, tanpa aku harus merisaukan masalah keuangan!"
"Jadi, setelah aku lulus kuliah dan menjadi Designer ternama, aku memutuskan untuk mengabdi di perusahaan ayahmu! Namun, semua hal berubah begitu cepat dalam beberapa tahun belakangan ini!"
"Awalnya, bulan ini aku berencana mengundurkan diri dan kembali ke negara di mana namaku dikenal. Namun, setelah bertemu denganmu, aku ingin membalas sedikit kebaikan Tuan Lee."
Air mata Ellena mengalir membasahi wajahnya, dirinya jarang menangis, tetapi ini sudah kedua kalinya dalam satu pekan.
"A-apakah ..., apakah masih penting siapa diriku? Jika itu penting, mengapa aku berakhir seperti ini?" tanya Ellena datar.