Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

5. Michaelangelo (2)

Gue gak bisa memungkiri kalau gue orang egois. Gue tahu. Tapi gue tahu apa yang gue pilih adalah kebenaran. Gue gak suka jadi munafik trus pura-pura nrima anak itu sementara suatu saat gue nusuk dia dari belakang.

No. Gue gak sepicik itu.

Gue selalu memisahkan mana hubungan keluarga, dan permusuhan. Dan dia hanya bisa menjadi yang kedua.

Termasuk persoalan gue ama Agni.

Gue mencintai dia dengan cara gue. Gue gak suka cara Daddy buat ngerjain dia. No. cinta dan benci gak bisa digabungin dalam hidup gue. Satu aja. Benci ya benci. Cinta ya cinta.

Untuk kasus Agni. Gue terlanjur cinta. Jadi ketika Daddy membuat rencana untuk Agni, gue dengan tegas menolak. Cinta bukan hal yang bisa dieksploitasi. Biarkan saja sederhana. Just like this...

***

"Sorry."

Gue menoleh ke asal suara. Dia berada di sana, menjulang di bawah bingkai pintu. Sialan benar si bangsat itu! Berani-beraninya nongol ke kamar gue. Songong banget emang dia! Mau nantang?!

Hayuklah sekalian.

"Go, away!" Gue mendesis, mata gue mengunci pergerakannya. Saat dia lengah dan juga melampaui batasan, gue sudah siap buat ngehajar bocah ingusan itu.

"Gak sebelum kamu ngomong." Dia bersedekap, memasuki kamar selangkah dan bersandar di kusen pintu.

"Gak ada yang perlu di bicarain. Just leave." Gue ngasih dia kesempatan buat pergi sebelum gue kalap.

Tapi dia justru dengan

santainya masuk lalu duduk di samping gue. Sialan! Ni anak minta dibejek-bejek sampai mampus apa gimana?!

Sumpah, kayaknya dia beneran anak Daddy. Soalnya gampang banget kelakuannya bikin naik darah. Suka semaunya, suka seenaknya. Nggak pernah mikirin gimana orang lain. Sialan!

Gue baru sadar kalau dia lebih Trahvensky ketimbang gue.

"Why you?" Habis sudah segala kesabaran gue liat kelakuannya. Sialan! Tuh anak kagak kapok-kapok ya gue karjain!

Alisnya naek sebelah, bikin gue emosi aja nih bocah!

"Kenapa mesti lo, Ngin? I don't understanding it. Why everyone loves you? Karena lo anak Daddy yang dicari-cari sampe dia kayak orang gila? Sampe nelantarin Gue ama Andreea, nelantarin Mommy juga. Dan ketika lo ada, tiba-tiba gue ngrasa numpang di rumah gue. What a wonderful life!"

Angin diam, menyeringai pelan, "Saya mengerti perasaan kamu. Kebencian. Hanya itu yang saya harapkan."

"Lo nggak ngerti perasaan gue! Jadi gak usah sok tahu apa dan maunya gue. Ngerti?!" Tangan gue lebih cepat, dengan gerakan terlatih gue mencengkeram kerah kaos polo-nya. Peduli setan gue bakal digebukin sama Daddy!

Ini wilayah gue. Bukan gue yang ngundang dajjal ini buat masuk.

Dia mendongak, matanya hitam. Ya, gue ngerti kalo dia lagi pake kontak lens. "What kind of loves you've remember?!" suara rendahnya mirip banget ama suara Daddy. Membuat gue tersentak, suara serak ini pernah gue dengar ketika Andreea pergi. Suara putus asa.

Dia mengangkat kaosnya dan meletakkan di sofa dekat dengan tempat yang dia duduki. Bertelanjang dada. Dan gue cuma penasaran, apa yang sedang ia pamerkan.

Dia tersenyum, lalu berbalik punggung.

Oke, ada beberapa hal yang menyita perhatian gue. Pertama, ada sebuah bekas luka memanjang di bawah leher sampai ke pertengahan punggung.

Lalu bekas luka-luka lain yang melintang. Membentuk diagonal-diagonal tak simetris. Bisa gue bilang, untuk ukuran anak kesayangan Daddy, dia terlihat sangat mengenaskan. Gue gak yakin dengan apa yang terjadi di masa lalunya hingga dia punya bekas luka seperti itu.

"Untuk luka yang paling panjang itu, saya dapat karena kecelakaan. Kelas tiga SD," dia terkekeh bangga. Dasar psyco!

Dia klop ama Daddy. Kenapa orang kayak dia bisa bertahan hidup. Kenapa gak mati aja sekalian!

"Eyang kakung pernah bertanya, kenapa saya tidak mati saja?!" dia menatap lampu kristal di langit-langit. Sumpah, gue tahu lok dia lagi ngelamun.

Eyang kakung?

Siapa?!

"Beliau kakek saya. Satu-satunya orang yang paling saya kangenin sekarang. Yang menghadiahkan cambukan-cambukan karena saya berani tidak patuh, gara-gara saya punya mata seperti orang yang kamu panggil Daddy. Seluruh hal yang saya benci dan saya sayang ada pada Beliau."

Gue manatap matanya yang berubah sendu.

"Saat semua orang manggil saya anak haram, cuma Eyang yang manggil saya Angin. Mataangin, sebuah kompas untuknya. Dia bertahan hidup dengan membenci saya. Kamu tidak tahu, kalau dia membenci saya, seperti kamu benci saya. Dia kehilangan anak gadisnya karena kehadiran saya. Sama seperti kamu yang membenci saya karena sudah bikin hidup kamu berantakan." Dia melanjutkan,

"Tapi saya tidak punya siapapun yang saya ingat untuk jadi alasan buat hidup. Jadi saya bertahan hidup dengan menikmati semua kebencian yang dialamatkan kepada saya. Karena saya tahu, iblis yang udah bunuh ibunya sendiri seperti saya, tidak pantas untuk dicintai."

Gue mendengus. Ni anak songong bikin gue merinding. Cobaan hidup gue gak sedasyat apa yang mungkin dialaminya.

"Jangan sekali-kali kamu memberikan tatapan kasihan, karena saya tidak selemah itu. banyak orang yang sudah coba membunuh saya. Bahkan, saya pernah hampir mati ditenggelamkan di sungai sama teman baik saya karena ceweknya naksir saya, hahaha.."

Dia masih bisa terkekeh karena mau dihabisin? Kampret! Ni anak songong beneran minta mampus.

"Saat kamu terlahir, kamu tidak bisa milih siapa yang akan melahirkan kamu. Tidak bisa memilih siapa yang akan menjadi masa lalu dan bagaimana itu bisa terjadi. Kita, tidak memilih sejarah kita sendiri. Tapi kamu bisa jadi siapapun untuk sekarang." kali ini nada bicaranya berubah. Mirip ama suara Dad, yang dingin dan datar.

"Gak usah sok nguliahin gue!"

"Whatever!" dia nyengir. "Kamu gak berhak bilang kalau Mom kejam karena ninggalin kamu. Karena pada dasarnya kamu sendiri yang menjauh dari dia. Saya hanya memanfaatkan keadaan kiddo."

"Berhenti ngomong seolah olah lo kakak gue!"

Dia ketawa, "Hahaha, terima kenyataan kalau saya abang kamu!"

"KAGAK SUDI!"

Dia nyengir, "For another sake. Harusnya kita nggak musuhan. Saya cuma pengen segera keluar dari sini. Dan hanya kamu yang bisa mewujudkan itu."

"GUE OGAH BANTU LO!"

"Kamu bantu saya lari dari Daddy, maka saya bantu kamu untuk naik tahta."

Gue mengernyit, aneh. Ni anak minta mampus.

"Lari dari seorang Theo Trahvensky (kependekan Theodhore Aldrich Travensky) cuma mati. Karena dia gak akan biarin mangsanya lolos."

"Good, just kill me!" tangannya terbentang, seolah mempersilahkan gue buat menghabisi Dia.

EDAN! Teori gila itu hanya dia yang bilang. Gue gak mau jadi incaran Dad. Hell no!

"No!" gue yakin mengatakannya.

"Yah, sayang---" tampang hopelessnya bener-bener ngagetin gue.

Si songong geleng-geleng kepala. "Jadi perkiraan kamu, siapa lagi yang mau membunuh saya tanpa takut sama Dad?!"

"Kalo lo buat musuh Dad marah ya terserah."

"Siapa musuh Dad?"

"Adibrata."

"Well, kayaknya nggak sulit buat keributan."

"Tidurin aja anaknya. Beres kan, lagi pula tuh cewek seharian ini udah nempel ama lo kan."

Mata milik saudara tiriku itu melebar, "Agni?"

Gue ketawa, "Hahaha, otak lo encer juga."

Wajahnya berubah gusar.

Gue menyeringai pahit, "Lo gak tahu lok Agni Adibrata itu sebelahan ama lo?! How lucky you, bastrad!"

Ia justru menyeringai. "Lets play."

"Don't involving me!" gue memperingatkan.

"Kayaknya Romi dan Juli gak buruk juga ya." Dia menyamankan dirinya sendiri di atas sofa.

"Cih. Picisan."

"Kalau Dad ngamuk kayaknya asyik." Dia nyengir.

Gue menyeringai. Betapa miripnya Angin dan Daddy. Satunya sibuk melarikan diri. Satunya sibuk mencari-cari. Intinya cuma satu. Keduanya udah gila. "Lo gak takut mampus ya?!"

Dia menggeleng. "Jika satu-satunya jalan buat gue kabur dari Travensky cuma kematian. Why not?!"

"Teori yang menarik. Tapi kalopun elo berhasil dapetin Agni. Justru lo bisa jadi anak kesayangan Daddy."

"What?!"

"Soalnya, sebelumnya gue disuruh bikin bunting si Agni buat balas dendam. Any how, sayangnya gue gak mau."

"SHIT!"

"Ada jalan lain lok lo pengen mampus. Ke Russia aja buat bertukar tempat ama Andreea."

"Hmm?"

"Uncle Edgar bakal seneng ngegorok leher lo. For Mom's sake. Soalnya bagi dia, cuma Mom yang berharga. Saat ini Andrea jadi jaminan nemuin si anak hilang."

"Gue bingung."

"Kenapa lo nggak pura-pura jadi adiknya Orion?"

Angin menatap mat ague dalam-dalam.

"N-O-T." Gue mengejanya tanpa sadar, "Nikolay Orion Travensky. The lost son of the hell, dia lagi cari cara buat kembali ke Menara Trahvensky, dengan syarat, dia bisa nemuin adik sedarahnya yang ilang." Nama keramat udah gue sebutkan. Gue tinggal nunggu waktunya kena kutuk.

*****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel