Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4 Michaelangelo (1)

"Ini mobil untukmu.."

Oke, dari segala hal ketimpangan ini, cuma satu yang gak bisa gue terima. Kenapa semua orang lebih memperhatikan dia. Kenapa?

Semenjak dia datang, segala hal berpusat padanya.

Jadi siapa yang orang luar dan siapa yang keluarga menjadi nggak penting sekarang. Gue belum pernah melihat Dad makan malam jika itu bukan perayaan besar. Dan gue gak pernah melihat Mom sebegitu sayangnya natap bocah.

Oke, bilangkah gue cemburu. Dad gak pernah ngurusin apa yang akan dan sedang gue lakuin. Bahkan jika gue habisin semua duitnya buat foya-foya. Tapi kenapa dia musti sakit hati gara-gara kunyuk itu nolak nama pemberiannya?

Hanya hal sepele, dan anak itu sukses mengawali debutnya dengan cinta yang meluap-luap kayak kali Ciliwung kebanjiran.

Kenapa orang asing itu harus jadi bagian dalam hidup gue?

I'm totally doesn't understand.

Yes, kiddo, you totally jerk!

Gue meremas kuat-kuat kunci motor. Why? Why him, so special for us?

Gue makin dongkol melihat Mommy bersikap baik padanya. Apa-apan dengan mobil itu ha? Harusnya itu mobil Andreea, trus ngapain dikasih ke kunyuk itu? Shit! Bikin emosi aja pagi-pagi.

"Oh, Mike." Mommy tersenyum, "Kamu-"

"Aku sibuk." Gue gak maksud buat menyakiti Mom, tapi you know that jerk make me so angry!

Aku langsung memakai helmku, menstarter motor sportku dan langsung meleggang meninggalkan mereka di belakang.

Jauh.

Sampai aku gak mau memikirkan mereka lagi.

***EscapeTheories***

Hari pertama ke sekolah dia udah jadi perhatian. Untung aja kunyuk itu gak sekelas ama gue. Fyi, kami masih tinggal di Indonesia, tepatnya di Bali.

Dan Olimpia itu sebutan untuk sekolah internasional yang terkrnal. Sebutan ya, bukan nama yang sebenernya.

Sebetulnya gue gak tahu apa yang bisa terjadi kalo sampe dia ada di kelas ini. Mungkin gue bakalan kalap dan bikin dia nggak bisa bangun untuk sekedar liat matahari. Soalnya bogem gue bawaannya ringan banget buat nonjok muka songongnya.

Tapi berita buruknya. Dia sekelas Ayudya sama Agni. Just how lucky he is!

Gue nggak tahu bagaimana bisa dia ikutan kelas olimpiade. Oke, otak gue cukup encer, tapi masuk ke sana itu gak gampang. Setidaknya nilai rata-rata harus sembilan. Gue tersenyum kecut. Oh, mungkin Dad juga memalsukan raportnya. Memikirkannya aja udah bikin naik darah.

Betapa beruntungnya si anak haram itu. bahkan gebetan gue juga udah duduk sebangku ama dia. Betapa lucunya dunia. Di saat Agni nolak gue mentah-mentah. Dia hanya perlu datang dan duduk aja, maka semua perhatiannya teralihkan. Double Shit!

Jadi apa yang bisa gue lakukan sekarang?

Memberi setidaknya sodara tiri gue ini ucapan selamat datang, di neraka...

****

Tentu saja ada saat dia tanpa perlindungan. Sebuah tempat yang membuat gue leluasa memberi dia sedikit tata cara bergaul antara pria. Di kamar mandi cowok, dia sendirian, dan tanpa pengawasan. Well, mungkin membayar cecunguk buat ngasih sedikit pelajaran juga nggak buruk. Terus terang, gue gak suka mengotori tangan gue sendiri. Lagian uang gue banyak, jadi buatlah itu berguna.

Wtf.

Pukulan-pukulan para kroni gue sudah bersarang di badannya. Bahkan wajahnya sudah bonyok. Ada robekan di bibir dan juga di pelipis. Sayang sekali dia tidak mengaduh ataupun meminta ampun. Gue akui, egonya memang sebesar nyalinya. Dan terpaksa gue memuji dia dalam hati.

Sudah sering melihat orang sakit jiwa. Tapi melihat sendiri keturunan daddy yang ternyata miring benar-benar membuat gue ngeri sendiri. Jujur saja menyaksikan keadaan live ketika ia akhirnya tumbang dan terkapar di lantai. Harusnya gue berhenti di sana bujan malah justru melihat ia berusaha berdiri sambil dia tersenyum. Bahkan nggak melawan sedikitpun.

Dia berusaha tegak, dan meludah di depan gue. Seolah penyiksaan ini nggak ada artinya bagi dia.

"Too easy." dia terkekeh senang. Lalu dengan langkah sempoyongan ke luar dari toilet.

***

Nyatanya, banyak hal yang meleset dari perkiraan setelah hadirnya dia. Akibat sikap emosional gue, Agni jadi makin perhatian. Bahkan, dia udah nyalin bukunya untuk bajingan ini biar gak ketinggalan pelajaran. Udah gitu masih juga nungguin Angin setelah usai sekolah.

Ha? Betapa kejamnya dunia!

Bukannya gue puas, yang ada gue semakin dongkol. Bener-bener bajingan emang si anak haram itu. Dajjal kecil itu mungkin butuh banyak pelajaran, yang tadi kayaknya belum cukup dan masih diitung sebagai pembukaan.

Tapi, alih-alih gue bisa mengembalikan mood gue di rumah. Yang ada malahan gue dapat bom lagi dari cecunguk itu. Berengsek memang!

Saat gue sampai di rumah pun, gue justru dibuat mendidih gegara si angin bohorok itu. Harusnya gue liat dia diabaikan bukannya malah dikasiha degan sinetron kayak gini. Gue dapat melihat dengan jelas bagaimana mata Mom yang nahan tangis akibat liat that jerk terluka. Wanita yang melahirkan gue itu justru bersikeras merawat Angin sendirian.

Gue ketawa kering tanpa suara. Sialan, ini sih lebih sakit dari tonjokan balasan. Bangke... bangke! Tu anak lebih sadis juga balesnya ya.

Selama gue jadi anaknya, no ketika gue jatuh dari motor pun. Mom gak merawat gue. Dia cuma nungguin gue di rumah sakit ato nelfon dokter terbaik buat ngurus gue.

Jadi, kenapa dia harus dispesialkan?

Hati gue meradang.

Cukup.

"Mom, kayaknya lebih sayang Angin daripada aku ya," gue nggak bisa menahan perasaan cemburu. Nada gue terdengar begitu menuduh. Terang aja, kan gue korbannya. Korban dari sikap Dad yang seenaknya sendiri dan juga suka main perempuan.

Mata hazelnya melebar, "Aduh, Mike. Kamu ngomong apa sih nak..." dia mendekatiku. Tapi gue menghindar. Gue hanya melihat kepalsuan. Terlalu banyak kepura-puraan dalam hidup gue dan itu bikin gue makin muak.

"You don't tread me like he is." gue memandang Angin yang tertidur di kamarnya. Dengan menahan gemerutuk. Gue mengatupkan rahang kuat-kuat supaya kata-kata gue nggak menyakiti Mom.

Mom mengulurkan tangan, tapi gue mengelak. "Why everyone loves him?" mataku panas, hatiku sakit.

Mom menutup mulutnya, dengan tangan kanannya. Menahan isakan yang mungkin lolos tapi sama sekali nggak bikin gue peduli. "Sean just have accident. You know it so well." Suaranya bergetar.

"Dia punya nama!" gue gak bisa nahan suaraku yang meninggi. "Mom gak berhak ngasih nama kesayangan buat dia. Who he is? He is no one!"

"Mike..." suara Mom lirih, memohon pengertianku. Namun itu makin buat gue panas!

"Angin. Biarkan dia jadi Angin Mom. Aku gak suka Mom ngasih panggilan sayang ke dia. Dia bukan saudaraku. Now, or later." Gue beranjak pergi. Meninggalkan Mom yang tampak terisak.

Jadi, kenapa Mom harus menangisi anak haram suaminya?

***ET***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel