Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 8

HAPPY READING

****

Lovi dan Edward tiba di restoran, Lovi memesan yakiniku ju seperti makanan jepang pada umumnya ada nasi dan daging sapi yakiniku. Salmon cheese roll, dan milik caramel frappe, rasanya enak seperti wafer tango vanilla. Dan sedangkan Edward memesan chiken katsu curry, tuna salad crispy dan minumnya matcha tiramisu. Lovi memakan makanannya dengan tenang, sedangkan Edward menatap Lovi. Ia penasaran apa hasil pertemuan Lovi dan pria bernama Christian tadi siang.

“Bagaimana hasil meeting dengan Christian tadi?” Tanya Edward pada akhirnya, entah kenapa ia tidak suka ada seorang pria yang berusaha dekat dengan Lovi. Baginya Lovi masih miiliknya.

Lovi menggigit bibir bawah ia menatap Edward, “Dia ingin menjadi nasabah private banking.”

“I see.”

Dulu sebenernya Edward sering melayani nasabah prioritas. Nasabah prioritas itu memiliki katagori tertentu, umumnya yang dipersyaratkan mulai dengan 1 miliar dan akan dikatagorikan level nasabah prioritas, biasa nasabah ini banyak maunya alias orang kaya baru. Setiap nasabah prioritas memiliki privilege yang berbeda. Level tertinggi yaitu nasabah private banking dengan akumulasi di atas 20 miliar, biasa nasabah ini cukup jarang datang sendiri ke bank, biasa mereka di wakilkan oleh staff atau orang kepercayaan mereka. Salah satunya Christian.

Lovi jadi ingat dengan tawaran Christ, ia memikirkan apa ia menerima tawarannya atau tidak. Ia masih galau sebenernya. 75 juta bukanlah uang yang sedikit, itu sangat banyak menurutnya. Wanita mana yang tidak suka diberi uang secara cuma-cuma.

Lovi menyungging senyum, “Oiya, tadi aku ngobrol sama pak Christ, orangnya humble kok. Jadi nggak gimana-gimana sih, setelah lunch saya juga balik ke kantor, soalnya banyak kerjaan.”

“Syukurlah kalau gitu.”

“Kamu nggak suka saya dekat dengan nasabah pria.”

“Lumayan.”

Edward kembali menatap Lovi, sambil memakan makanannya, “Iren masih nge—DJ?” Tanya Edward.

“Masih.”

“Di Fable?”

“Iya.”

Edward tahu kalau teman-teman Lovi seperti Bianca, Iren, Angel, dan Clara. Mereka berteman sudah cukup lama bahkan sejak SMA, pertemanan mereka memang tidak dapat dipisahkan, ia memaklumi itu.

“Kita liburan yuk.”

Alis Lovi terangkat, “Owh ya? Mau ke mana?” Tanya Lovi.”

“Ke Bali mungkin.”

“Cuti saya sudah habis Ed, kemarin ke Bali lihat mama.”

“Bagaimana keadaan mama kamu di Bali?” Tanya Edward penasaran.

Lovi menarik napas, ia melihat iris mata pria itu. Jika ia menceritakan kalau sang mama sakit dan ia kekurangan uang, tentu Edward akan membantunya dan ia akan hutang budi kepada pria itu dan mengakibatkann ia tidak bisa lepas darinya. Ia bukan tidak mau merepotkan Edward, namun mereka bukanlah orang yang sama lagi. Ia tidak mau membuatnya terikat lebih dalam kepada Edward. Lebih baik ia menerima tawaran Christ dari pada melibatkan Edward dalam masalahnya.

“Baik.”

“Salam ya buat mama kamu. Kalau kamu libur, kita bisa kunjungi orang tua kamu di Bali.”

Lovi tersenyum dan mengangguk, “iya,” wanita mana yang tidak akan jatuh hati dengan wanita.

Setelah makan malam, mereka memutuskan untuk pulang. Edward mengantarnya hingga ke lobby apartemennya.

“Terima kasih ya, sudah di antar pulang,” ucap Lovi kepada Edward ketika ia sudah berada di lobby.

“Iya, Lov. Terima kasih juga kamu sudah mau makan malam sama saya,” ucap Edward dia menyentuh tangan Lovi, Lovi menerima uluran tangan itu.

“Kenapa?” Tanya Lovi, ia merajakan jemari Edward yang hangat.”

“Kamu langsung kunci pintu, balkon, mandi dan istirahat.”

Lovit tersenyum, “Iya. Kamu tuh nggak pernah berubah ya selalu perhatian.”

Edward tertawa, “Hanya sama kamu.”

“I know. Kamu hati-hati di jalan,” ucap Lovi.

“Iya, Lov.”

Lovi keluar dari mobil dan melangkah menuju lemari. Ia menoleh ke belakang menatap mobil Edward yang sudah pergi meninggalkan lobby. Lovi menarik napas panjang, ia butuh air hangat untuk menenangkan pikirannya. Ia memasukan tangan ke saku jasnya, ia merasakan sebuah kertas di dalamnya, ia melihat kartu nama Christian di sana. Apa ia menerima tawaran ini?

***

Sementara di sisi lain,

Mala mini Christt menghadiri acara ulang tahun pernikahan emas pak Austin dan istrinya. Di kalangan bisnis, siapa yang tidak kenal pak Austin salah satu konglomerat di negri ini, dia memiiliki beberapa perusahaan tambang batu bara terbesar di tanah air, dan beberapa anak perusahaanya menjalankan bisnis di bidang pertambangan, perdagangan, kontraktor, logistic, pembangkit listrik dan insfrastruktur. Pada bulan Agustus kemarin saham pak Austin naik sebesar 0,79%, termasuk perusahaan lainnya yang melonjak sekitar 6,31%.

Jujur ia dulu bukanlah orang yang kaya, tapi saat sekolah dan kuliah dulu di tempatnya banyak anak orang kaya termasuk mantan istrinya. Ia selalu berpikir bahwa ia ditakdirkan untuk menjadi kaya, dan ia berteman dengan mereka.

Pengalamannya berteman orang yang kaya, kekayaanya di luar batas kemampuannya. Mereka rata-rata lebih terbuka dalam kasih kepercayaan ke orang. Kalau kepercayaan mereka bisa dijaga, maka uang akan terus mengalir dari sumbernya. Oleh sebab itu, ia tidak pernah absen jika diundang hal-hal seperti ini, karena ia tahu betapa susahnya masuk ke circle ini.

Christ memarkir mobilnya di plataran rumah pak Austin, di sana mobil-mobil terparkir sempurna. Christ menarik napas, ia melihat bangunan bertingkat di hadapannya. Halaman begitu luas hingga dapat menampung mobil-mobil tamu.

Kali ini ia memang tidak membawa Indra bersamanya, karena Indra sudah beberapa hari ini selalu lembur. Christ di sambut oleh beberapa staff yang berjaga di depan pintu. Ia tahu kalau yang hadir di sini sebagian keluarga besar pak Austin dan beberapa teman bisnisnya. Rumah pak Austin terlihat megah dengan kaca berukuran bersar di dominasi warna putih. Lantai marmer berwarna putih bersih, lampu Kristal berukuran bersar membuat rumah ini semakin luxury.

Christ memperhatikan dinding, ia melihat foto keluarga pak Austin. Katanya pak Austin memiliki dua anak perempuan bernama Jocelin Austin dan Alba Austin. Ia tidak pernah bertemu dengan kedua anak pak Austin katanya mereka tinggal di luar negri tidak di Indonesia.

Christ masuk ke dalam menuju halaman belakang, karena acaranya berada di taman belakang. Ia mendengar lagu jazz terdengar dari arah sana. Ia menginjakan kakinya di sana, ia menatap pak Austin dan istrinya sedang berdiri menjamu tamunya. Beberapa detik kemudian pandangan mereka bertemu. Pak Austin tersenyum ke arahnya lalu menghampirinya.

“Selamat atas hari pernikahaanya pak Asutin,” ucap Christ memeluk tubuh beliau.

“Terima kasih sudah datang Christ.”

“Sama-sama pak.”

Christ meliat istri pak Austin, ia tersenyum kepada beliau, “Ini untuk ibu.”

“Terima kasih Christ. Kamu selalu repot-repot.”

Asutin hanya tersenyum, ia melihat ke arah halaman mengobservasi area taman. Area taman di sulap menjadi tempat senyaman mungkin oleh tamu undangan. Dekorasi bunga mawar putih menghiasi seluruh taman. Ada meja dan kursi di buat memanjang yang di atasnya terdapat bunga mawar dan wine. Ada waitress datang mengisi gelas bertangkai tinggi di setiap meja. Suasana di rumah ini tampak meriah. Di samping sebelah kiri ada panggung kecil di sana ada penyanyi bernama Bunga mengisi hiburan di acara ini. Ah ya, siapa yang tidak kenal Bunga penyanyi professional di negri ini.

“Ah ya, Christ belum kenalan dengan kedua anak saya kan? Mereka kebetulan baru pulang dari Eropa.”

“Iya, belum pak.”

“Saya mau memperkenalkan kepada kamu.”

Pak Austin menatap ke depan, ia melihat Alba sedang berdiri tidak jauh darinya.

“Alba!” Panggil pak Austin.

Christ menatap ke depan ketika pak Austin memanggil wanita bernama Alba, ia memandang wanita mengenakan dress berwarna putih dengan rambut diikat ke belakang, dia terlihat sangat berkelas. Kulitnya putih, hidungnya mancung kecil dan alisnya sempurna. Ia tidak percaya kalau wanita cantik itu adalah anaknya pak Austin.

“Iya, pi,” ucap Alba mendekati sang ayah yang memanggilnya, pandangannya jatuh pada pria yang mengenakan jas hitam di sana tepat di samping orang tuanya. Mereka saling berpandangan satu sama lain.

“Papi mau kenalin kamu sama Christian. Ini yang papi ceritain sama kalian, teman papi dia yang punya Wilmar,” ucap pak Austin.

Alba memperhatikan pria itu, dia memiliki rahang yang tegas dan alis yang tebal. Untuk seorang pria dia terlihat sangat berkharisma. Pria itu mengulurkan tangan kepadanya,

“Saya Christian,” ucap Christ.

Alba membalas uluran tangan itu, “Saya Alba.”

“Senang berkenalan dengan anda.”

“Saya juga.”

Alba melepaskan tangannya, ia memandang sang ayah tersenyum kepadanya, “Rumah Christ tidak jauh dari sini. Christ kamu ke sini pakai apa?” Tanya pak Austin.

“Pakai mobil.”

“Kamu ibu, rumah deket masa pakai mobil.”

Christ tertawa, “Kalau jalan kaki juga lumayan jauh pak, bingung juga jalan kalau sendirian.”

“Alba kamu temanin Christ ya.”

Alba mengerutkan dahi, sang ayah menepuk bahunya, dan lalu pergi meninggalkannya begitu saja. Christ dan Alba menatap pak Austin menjauhi mereka. Alba tidak tahu harus bagaimana, karena ia memang tidak kenal dengan Christ sebelumnya.

“Silahkan duduk,” ucap Alba, karena itulah yang harus ia lakukan.

Christ duduk di salah satu kursi kosong dan di hadapannya Alba. Ada seoarang waitress datang menuangkan wine di gelas Christ, Christ tidak lupa mengucapkan terima kasih.

“Kamu anak pak Austin yang ke berapa?” Tanya Christ penasaran.

“Kedua.”

“Tinggal di Eropa?”

“Iya, tepatnya di Belanda, dan Elin saudara saya tinggal di Jerman.”

“Kenapa tidak tinggal di Jakarta?”

Alba terdia beberapa detik memikirkan jawaban yang tepat, “Hemmm, karena sejak saya senior high school saya dipaksa mandiri karena keadaan.”

“Kamu sendiri bagaimana?”

“Yah, kerja aja, nothing special,” ucap Christ meraih gelas bertangkai tinggi itu dan menyesapnya secara perlahan, ia kembali menatap Alba.

“Umur kamu berapa?” Tanya Christ penasaran, karena Alba terlihat sangat muda dibanding dengan dirinya.

“Umur saya dua puluh empat tahun.”

“Wow.”

“Emangnya kamu berapa?”

“Tiga Sembilan, Desember nanti empat puluh tahun.”

“Saya seharusnya manggil kamu om Christ.”

Christ tertawa, “Ya jangan, cukup Christ saja.”

“Sudah menikah?”

“Sudah dulu.”

Alis Alba terangkat, “Mana istrinya, kok nggak di bawa.”

Christ kembali tertawa, “Iya, sudah. Tapi itu dulu Al. Kalau saya ada istri, mungkin saya sudah bawa ke sini Al.”

Alba menepuk jidatnya dengan tangan, “Oh, sorry, sorry. Saya mengerti maksud kamu. Kamu duda? Sudah cerai?”

Christ mengangguk, “Iya, sudah.”

“Punya anak?”

“Punya.”

“Cewek apa cowok.”

“Cewek. sekarang elementary school.”

“Mana lihat fotonya? Pasti wajahnya cantik.”

Christ tersenyum, ia lalu merogoh saku celananya. Ia mulai melihat ke gallery memperlihatkan foto dirinya dan Kayla.

“Ini foto anak saya. Dia tidak tinggal dengan saya, melainkan dengan ibunya.”

“Kenapa?”

“Karena memang sejak kecil bersama ibunya. Jika berumur tujuh belas tahun, Kayla bisa bebas memilih tinggal dengan saya atau ibunya.”

Alba melihat foto seorang wanita mengenakan celana pendek dan tang top berwarna putih dengan rambut yang dikucir seperti ekor kuda. Wajahnya cantik mirip sekali dengan Christian.

“Sudah lama cerainya?” Tanya Alba mengembalikan ponsel itu kepada Christ.

“Seumuran dengan anak saya.”

“Kalau sudah lama sendiri, kenapa nggak nikah saja.”

Christ tertawa, “Menikah nggak semudah itu Alba.”

“I know. Anak kamu lucu. Sering di bawa nggak ke rumah?”

“Lumayan kalau weekend, Kayla ada di rumah saya. Kamu suka anak-anak?”

“Suka banget, dulu sempat ngajar jadi guru anak-anak TK di Belanda. Tapi nggak lama, hanya beberapa bulan.”

“Jarang loh yang suka anak-anak.”

“Iya, kecuali saya,” Alba tertawa.

Christ ikut tertawa, ia memandang tawa Alba dia yang sangat menawan, giginya rapi dan senyumnya sangat menggemaskan.

“Next time saya bawa Kayla. Kamu harus ke rumah saya.”

“Siap, pak Christ,” Alba tertawa geli.

Christ menyungging senyum dan ia menyesapnya lagi, “Kamu lama di sini?”

“Kalau di Jakarta asyik, itu artinya saya akan menetap di Jakarta.

Christ tersenyum penuh arti, ia mencondongkan wajahnya, “Saya yang akan membuat kamu betah di sini,” bisik Christ sambil mengedipkan matanya menggoda Alba.

“Buktikan kalau kamu bisa.”

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel