Bab 5 Pelampiasan
Bab 5 Pelampiasan
Sejam sudah ia berbaring di kasur kamarnya, namun matanya sedikit pun tidak mau memejam. Ia mengantuk, tapi pikirannya tidak tahu sedang dimana. Rasanya tidak tenang, pikirannya seolah tidak mengizinkan ia untuk beristirahat. Pikirannya kini melayang jauh membayangkan kembali kenangan demi kenangan indah walau sesaat dengan sang istri.
Akhirnya kantuk pun datang, kini ia sudah terlelap. Keenan sudah berada di alam bawah sadarnya. Tubuhnya begitu nyaman ia rasa. Matanya memang terpejam, namun ternyata pikirannya masih melayang jauh ke masa lalu.
Pikirannya membawa ia sampai dimana ia melihat sosok wanita cantik yang sangat ia kenal, Darina. Keenan yang menyadari itu istrinya memanggil wanita itu dengan cepat. “Darina, itu kamu?” Wanita itu menoleh ke arahnya kemudian tersenyum manis.
Keenan sontak langsung terbangun dari tidurnya. Senang bercampur sedih, rasa rindunya kini mencuat kembali ke permukaan. Ia rindu istrinya. Ia rindu sosok Darina di sisinya. Ia kini sedang mengalami masa-masa sulit, ia ingin istrinya ada di sini menemaninya untuk bangkit kembali. Tapi ia teringat istrinya sudah pergi.
…
Mata yang awalnya mengantuk kini kembali tidak dapat terpejam. Satu jam sudah Keenan hanya berbaring melamun tanpa melakukan aktivitas apapun di kamarnya. Ia mencoba untuk memejamkan matanya sebentar. Ketika ia membuka mata ada yang berbeda di depan pandangannya. Mengapa ia melihat Darina lagi? Apakah ia sedang bermimpi lagi? Keenan yang tidak percaya dan jelas mengingat istrinya sudah tiada kembali menutup mata seraya menggelengkan kepala agar pandangannya berubah.
Benar saja, sosok Darina kini tidak ada di depannya. Hanya kursi dan meja rias kosong tanpa penghuni, namun masih lengkap dengan barang-barang pemilik terdahulu. Keenan memang masih enggan membuang barang-barang Darina, ia berpikir nanti saja.
Keenan bangkit dari kasurnya, berjalan menuju dapur untuk mengambil minum agar ia kembali sadar. Bukan minum yang ia dapatkan, namun ketika ia berjalan menuju dapur ia melihat sosok Darina lagi sedang sibuk memasak di dapur. Entah ini bayangan atau apa, tapi ini sangat jelas di mata Keenan. Keenan memberanikan diri mendekati sosok itu, mulai dengan perlahan menyentuhnya. Ketika ia menyentuhnya, namun dengan cepat sosok itu hilang entah kemana.
Ada apa dengan dirinya kini? Mengapa ia saat ini jadi halusinasi? Mengapa sosok Darina ia lihat dimana-mana? Keenan bingung, frustasi, dan ia berpikir pasti saat ini dirinya sudah gila. Level tertinggi dari rasa depresi akan kesedihan yang berlarut-larut menjadikannya gila seperti saat ini.
Keenan merasa harus segara mengakhiri halusinasinya. Ia berpikir kemana ia harus pergi untuk menghilangkan halusinasinya. Ia berpikir tidak ada gunanya ia di rumah. Ia harus keluar mencari udara segar agar halusinasinya menghilang.
Berpikiran sesaat kini Keenan kembali ke dunia malam. Keenan yang semakin frustasi pun menuju bar andalannya untuk mabuk. Mabuk adalah hal yang ia pikirkan saat ini agar ia merasa tenang. Keenan sudah tidak punya pekerjaan yang mengikatnya, ia semakin menjadi-jadi.
…
Keenan yang dulu dikenal sangat aktif berorganisasi dengan banyak kegiatan sosial kini berganti hobi menjadi pelanggan tetap bar malam. Pemabuk dan juga perokok handal. Hobi membaca dan berolahraga yang ia geluti kini berganti dengan hobi mabuk dan berteman dengan rokok.
Keenan sudah semakin gelap mata. Ia tidak sadar bahwa jalan yang ia pilih saat ini hanya akan memperkeruh keadaan dan juga masa depannya. Berstatus duda bukan jadi akhir dari segalanya apalagi Keenan masih tergolong muda. Tidak mempunyai pekerjaan bisa dicari lagi. Tapi, bagi Keenan ini adalah akhir dari segala hidupnya.
Mencari solusi tanpa solusi, hal ini sesuai untuk keadaan Keenan saat ini. Mabuk dan hobinya pergi ke bar tidak mengatasi masalah. Bayangan Darina masih terus ada. Bayangannya sangat nyata, menghantui Keenan setiap malam sampai detik ini. Bayangan Darina selalu menghampirinya berhari-hari, berminggu-minggu lamanya.
Kini Keenan menjadi semakin tidak normal. Kadang ia tertawa sendiri dan dengan cepat berganti menangis. Hidup seorang diri di daerah perantauan memang berat. Hidup memang berat dan hanya dapat dilalui oleh manusia-manusia hebat. Entah kapan Keenan akan kembali normal, semoga ada keajaiban untuknya.
Rumah Keenan kini berpindah. Bukan lagi rumah biasa yang ia tinggali, tapi bar andalannya kini menjadi rumahnya. Dimas yang awalnya menjadi pengantar Keenan ke dunia malam ini juga dibuat heran olehnya. Bagaimana bisa Keenan berubah sekali dari dirinya yang dulu. Rumahnya kini hanya berfungsi sebagai tempat penyimpanan barang miliknya. Malam-malam selama satu bulan ini ia habiskan di bar dan di tempat hiburan malam.
“Dim, kamu ada rekomen tempat asik lagi ga?” Merasa bosan dengan bar andalannya Keenan meminta rekomendasi tempat lain.
“Mau yang seperti bagaimana kamunya?” Jawab Dimas.
“Ya yang asik lah begitu, saya bosan sama tempat ini.” Sahut Keenan.
“Ada, mungkin kamu butuh penghibur kali ini Nan. Sebatas kamu mabuk dan merokok sepertinya menurut saya tidak akan asik.” Dimas menambah hasutan sesatnya yang kesekian kalinya pada Keenan.
“Maksud kamu? Wanita penghibur? Tidaklah, setiap saya lihat wanita, semua mukanya itu Darina, yang benar aja Dim!” tolak Keenan.
“Oke oke kalau begitu, ayo ikut saya ke tempat lain. Siapa tahu cocok.” ajak Dimas
…
Mereka pergi ke tempat yang direkomendasikan Dimas. Tempatnya lebih besar, lebih banyak fasilitas yang bisa pelanggan dapatkan di bar itu. Jenis minuman dari ringan sampai yang paling keras yang berakibat mabuk kepayang pun tersedia.
“Bagaimana Nan?” tanya Dimas.
“Bagus, lengkap fasilitasnya lengkap juga minumannya. Thanks.” ungkap Keenan.
“Ya sudah sekarang selamat menikmati. Oh iya, tempat ini punya Om saya jadi santai saja,” jelas Dimas kepada Keenan yang saat ini sudah fokus mencoba berbagai varian minuman wine yang memabukkan.
…
Kini malam semakin larut. Dua pria ini masih sibuk dengan kegiatannya di bar tanpa ada rencana mengakhiri aktivitasnya yang memabukkan itu. Dimas yang sudah terbiasa dengan minuman keras tidak terlalu merasa mabuk dan masih mampu menguasai kesadaran dirinya.
Pria yang sudah tergeletak mabuk di atas sofa dengan posisi sembarang sudah dikalahkan oleh minuman yang ia minum beberapa jam lalu. Keenan yang masih pemula memang belum dapat menguasai kemabukannya. Kesadaran Keenan akan menghilang ketika ia meneguk minumannya gelas demi gelas.
“Nan kembali ke rumah sana, sudah mau subuh! Kalau kamu kembali pagi, repot jalanan macet, kamu mabuk bisa-bisa celaka,” ujar Dimas menyuruh Keenan yang saat ini mencoba sadar dari mabuknya.
“Subuh? Oke saya kembali ya Dim?” jawab Keenan yang masih berusaha sadar.
…
Walau Dimas tidak memberikan solusi baik kepada Keenan untuk menyelesaikan masalahnya. Namun, ia masih peduli dengan teman yang sudah ia kenal setahun ini. Pekerjaan Dimas saat ini adalah bantuan Keenan saat dulu masih mempunyai banyak relasi. Jadi, setidaknya ia juga harus memastikan Keenan tidak celaka.
Dimas yang percaya Keenan sudah dengan selamat sampai tujuan tidak mengetahui temannya kini menuju tempat lain. Keenan tidak keluar dan mengambil mobil. Ia malah berjalan sempoyongan keluar dari bar menuju trotoar jalan raya.
Keenan yang walau dalam kondisi mabuk, lagi-lagi melihat sosok istrinya Darina. Sosok itu berjalan pelan melewati jalan setapak khusus pejalan kaki yang umum ada di jalan raya besar. Keenan dengan setengah kesadaran mengikuti langkah dari sosok itu, berjalan perlahan hingga akhirnya ia sadar ia sampai di sebuah jembatan.
Akhirnya kesadarannya kembali. Ia mencari sosok istrinya di sekelilingnya, namun ia tidak menemukannya. Keenan terkejut ternyata ia berjalan cukup jauh hingga sampai di jembatan sungai Ciliwung ini. Keenan merasa pasti dirinya sudah gila, buat apa ia di sini?
Bergelut dengan pemikirannya dan keheranannya, ia melihat air di sungai itu. Serupa dengan gelapnya malam ini. Air dari sungai itu juga sangat hitam. Malam tanpa terangnya bulan dan bintang, berpadu dengan gelap pekatnya air sungai yang mengalir di Ibukota ini.