Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 She Is My Everything

Bab 4 She Is My Everything

Keenan yang sudah bangun dari tidurnya diam-diam telah memperhatikan ibunya yang kini sedang menangis sendirian di dapur. Dapur yang dulu selalu menghasilkan makanan enak yang dibuat oleh istrinya tercinta. Ia tidak menyadari sejak kapan ibunya datang.

“Buu….” Panggilnya pelan.

Ibunya yang sedang fokus tersadar akan hadirnya di dapur, dan berusaha bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. “Kamu sudah bangun Nak? Bersihkan badanmu, ganti baju dan ayo kita makan. Sebentar lagi masakan ibu sudah siap.”

“Ya sudah, aku ke kamar dulu ya Bu.” jawab Keenan.

Makanan sudah tersaji rapih di atas meja makan. Makanan yang selalu Keenan rindukan kelezatannya ketika ia sudah lama tidak pulang ke rumah ibunya di kampung halaman.

Tidak ada percakapan antara dirinya dan ibunya kini. Yang ada hanya suara baja beradu dari sendok yang bersentuhan dengan piring secara alami. Suasana meja makan sangat hening. Ia dan ibunya tahu akan masalah yang kini mereka harus hadapi. Namun, keduanya memilih untuk diam dan memberikan waktu pada masing-masing untuk mengembalikan energi.

Wanita yang telah melahirkan Keenan pun membuka pembicaraan. “Bagaimana pekerjaanmu, Nak?”

“Biasa saja Bu, tidak ada hal yang spesial.” ungkap Keenan.

“Kalau kondisimu… Bagaimana Nak?” tanya ibundanya pelan.

“Kondisiku jauh lebih baik Bu.” sahut Keenan.

Keenan berpikir sepertinya ibunya sudah tahu seperti apa jelasnya kondisinya saat ini. Keadaan ini sudah jelas pikirnya, bagaimana tidak kondisi rumah sudah menampilkan bagaimana kondisinya saat ini. Ia tidak tahu bahwa ibunya akan melihat ia dalam kondisi buruk seperti ini. Hal ini pasti membuat ibunya sedih, ia melihatnya ketika ibunya menagis di dapur.

Keenan akan menjelaskan semuanya hari ini pada ibunya. Sudah cukup selama ini ia berpura-pura baik-baik saja ketika ibunya bertanya. Ia butuh pendengar. Ia butuh pemberi nasihat yang baik. Dan yang terpenting ia butuh ibunya pada saat-saat paling rendah dalam hidupnya.

“Ibu… Maafkan aku telah mengecewakan ibu.” ucapnya lirih.

“Kamu tidak pernah mengecewakan ibu, Nak.” jawab ibunda.

“Aku tahu ibu tahu semua tentang kondisiku. Aku salah Bu. Aku salah, dengan melampiaskan sedihku dengan hal buruk dengan jalan yang salah seperti ini....” jelas Keenan seraya menyesal.

“Ya, Ibu memang tahu Nak. Tapi ibu tidak bisa menyalahkan kamu. Tapi Ibu mohon sudahi ini Nak. Ini sudah jadi takdir yang di atas yang tidak bisa kita ganggu gugat. Ibu ingin kamu ikhlas Nak. Ikhlaskan istrimu, ikhlaskan Darina yang sudah tenang, yang sudah sembuh dari sakitnya ketika di dunia ini….” tutur sang ibunda.

“Darina segalanya bagiku Bu. Berat untukku melupakan dia. Aku sangat mencintainya.” sambung Keenan.

“Ibu tahu dan sangat tahu Nak. Tapi hidup terus berjalan Nak. Darina sudah tenang di sana, ibu percaya dia juga tidak ingin melihatmu begini, sayang.” Tutur sang ibu.

Keenan tahu ibunya memang benar. Benar, Darina pasti tidak ingin melihat kondisi Keenan begini. Namun, bagaimana ia harus ikhlas jika Darina masih menguasai pikiran dan hati hatinya? Hidup memang terus berjalan. Tapi, Keenan tidak ingin dengan waktu yang berjalan ini ia jadi melupakan kenangannya bersama Darina. Dan ia percaya, suatu saat pasti akan ada hal yang membuatnya bangkit dan kembali semangat menjalani hidup tanpa harus melupakan semua kenangannya bersama wanita tercintanya.

Beberapa hari bersama ibunya sedikit memberikan warna di hari-hari Keenan yang sepi. Namun, siapa yang dapat menduga ibunya yang semula berniat menemaninya lama kini sudah harus pulang kembali ke kampung. Ada urusan mendadak yang tidak bisa ibunya abaikan di kampung halaman. Ibunya berjanji akan kembali ke rumahnya ketika masalahnya selesai.

Keenan kembali merasa sepi sendiri di rumah. Rumah kembali sunyi yang hanya ditinggali seorang diri olehnya. Keenan kembali menjadi dirinya yang kemarin tidak bersemangat untuk melanjutkan hidup.

Senin adalah hari yang paling di benci oleh para pekerja. Bagaimana tidak selepas hari libur minggu yang hanya sehari itu, esok harinya mereka harus bergelut lagi dengan pekerjaan mereka di tempat mereka bekerja masing-masing, termasuk juga Keenan.

Keenan mencoba bangun pagi dan tidak terlambat datang ke kantor lagi, namun tetap saja ia masih saja tidak bersemangat dan terlalu acuh akan keadaan yang sudah kacau menunggunya di kantor.

Akhir-akhir ini perilakunya sudah tidak dapat ditolelir lagi. Banyak karyawan yang mengeluh akan ketidakprofesionalan Keenan pada pekerjaan. Projek besar perusahaan banyak yang tidak tercapai dan gagal. Hal ini ternyata sudah sampai di telinga Direktur Utama perusahaannya.

Kantornya tidak terlalu jauh dari rumahnya, hanya sekitar 30 menit saja waktu yang dibutuhkan untuk sampai sana, dengan catatan kondisi jalan lancar. Hidup di Ibukota menuntut kita sabar, sabar akan kemacetan yang tidak pernah usai dan tidak terpecahkan dengan berbagai solusi.

Keenan memarkirkan mobilnya di parkiran kantor seperti biasa. Lalu, berjalan santai menaiki beberapa lantai dengan lift, sampailah ia di ruangannya kini.

Keenan mendudukan dirinya pada kursi yang sudah menemaninya di kantor beberapa tahun ini. Menemaninya lembur, santai, dan sibuk dengan puluhan berkas-berkas yang harus ia selesaikan seperti biasa.

Tenggelam dalam lamunannya, Keenan tidak sadar bahwa ada yang memanggilnya. Satu ketukan keras pada pintu membuat ia akhirnya sadar kembali ke dunia nyata.

“Pak Keenan, dipanggil Pak Direktur ke ruangannya.” ucap Raka.

“Oh iya, saya segera ke sana.” sahut Keenan dengan rasa bingungnya.

Selama berjalan menuju ruangan Pak Direktur Keenan berpikir sepertinya Bosnya itu sudah mendengar kekacauan pada pekerjaannya yang ia buat akhir-akhir ini. Sampai ia sekarang di depan pintu ruangan yang akan sekali lagi melemparnya jauh ke titik lebih rendah hidupnya.

“Maaf Pak, anda memanggil saya?” tanya Keenan kepada Bosnya saat ini.

“Ya, duduk Keenan.” jawab Pak Bos.

Wajah yang awalnya selalu ramah ketika berbicara dengan Keenan kini berubah. Tatapan tegas dan dingin, wajah kekecewaan yang tidak bisa Bosnya tutupi terlihat jelas oleh Keenan.

“Saya mendengar bahwa istri anda meninggal, saya turut berduka Keenan.”

“Terima kasih Pak.” jawab Keenan.

“Saya juga mendengar banyak sekali keluhan dari karyawan akhir-akhir ini tentang kamu.” sambung Pak Bos yang kini kalimatnya sudah semakin Keenan paham arahnya.

“Maaf Pak, saya tidak dapat profesional dengan pekerjaan saya dan saya sudah mengecewakan Bapak….” ucap Keenan pelan.

“Saya sudah lama mendengar keluhan ini dari karyawan lain, tapi karena saya percaya kamu akan kembali seperti sedia kala saya berikan kamu kesempatan. Tapi saya malah mendengar keluhan lagi bukan perkembangan baik dari kamu.” jelas Pak Bos.

“Saya salah Pak, mohon beri saya kesempatan lagi. Saya janji akan membereskan kekacauan yang sudah saya buat akhir-akhir ini.” sesal Keenan.

“Bukan tentang kekacauan pada perusahaan Keenan, tapi saya sudah kecewa dengan kamu. Saya tidak bisa memberikan kesempatan lagi. Selama lima bulan terakhir saya mentolelir kelakuan kamu di sini. Sekarang tidak lagi!”

“Tidak ada kesempatan bagi saya la−gi, Pak?” jawab Keenan tidak percaya.

“Maaf saya harus bilang ya. Saya memang sudah terlewat baik pada kamu selama ini. Saya tidak ingin karyawan lain merasa dibedakan karena kamu. Jadi saya harus mengambil keputusan ini untuk kebaikan kita semua di perusahaan ini. Saya harap kamu juga dapat menerimanya.” sambung Pak Bos.

“Baik Pak, saya terima keputusan Bapak. Saya juga mohon maaf bila selama ini belum dapat memberikan yang terbaik untuk perusahaan.” jawab Keenan.

“Ya Keenan, silahkan kamu sudah boleh pergi. Secepatnya surat-surat dan uang pesangon kamu akan diurus.” jelas Pak Bos.

Bak sudah jatuh tertimpa tangga. Kehilangan istri belum cukup sepertinya penderitaan yang Keenan harus alami. Kini, ia menjadi pengangguran kehilangan pekerjaan yang sedari awal ia perjuangkan ketika merantau ke Ibukota.

Sudah kalut tambahlah kusut. Keenan bingung harus bagaimana lagi. Sedihnya kini bertambah. Ia juga sebenarnya menyesali kenapa ia terlalu terbawa kesedihan yang saat ini berdampak pada karirnya. Namun, apalah daya cinta tidak mengenal logika.

Tujuannya kini hanya rumah. Walau rumah bukan seperti rumah kini, paling tidak ia dapat sedikit menepi dari kekalutan yang terjadi hari ini. Sesampainya di rumah ia langsung ingin beristirahat tanpa peduli dengan mandi sebelum tidur. Ia sudah lelah, berikan waktu sedikit untuknya ia ingin beristrahat.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel