Bab 4
Rebecca kembali ke tanah air seperti yang diharapkan oleh sang mama. Anak kedua dari pasangan suami istri yang telah lama menikah tersebut tiba di kediaman orangtuanya.
Ada getir yang erat memeluk batinnya, hati Rebecca begitu sakit jika mengingat semua kenangan di rumah ini. Dan hari ini, merupakan malam peringatan kematian sang kakak. Saudara lelaki satu-satunya yang dimiliki oleh Rebecca meninggal karena kecelakaan tragis yang menimpanya. Tak berselang lama, sang papa yang menderita jantung, menyusul anak sulungnya ke surga setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit.
Oleh karena itulah, Rebecca mati-matian mengambil program Pascasarjana doktoral sebagai dokter spesialis bedah toraks dan kardiovaskula. Tak ingin hal buruk yang menimpa sang papa terulang kembali, Rebecca berusaha keras untuk membahagiakan mamanya.
"Ayo, Nak! kakakmu menunggu kita," ajak mama Rebecca masuk ke dalam rumah.
Di dalam rumah megah berlantai dua tersebut, seluruh sanak famili Rebecca hadir dalam perayaan dari peringatan kematian sang kakak.
Menjadi pribadi yang hangat serta peduli terhadap orang lain, membuat semua orang begitu kehilangan pria yang kini fotonya dipajang di dinding ruang tamu.
Rasa sedih bercampur duka tak mampu dibendung lagi oleh keluarga besar Rebecca, terutama Rebecca sendiri. Karena pada hari kematian yang kakak, Becca tak bisa hadir. Menyesal ... tentu saja ia sangat menyesal.
"Besok, aku akan ke makam kakak, Ma!"
"Iya, tapi mama anter bibimu dulu. Apa kamu mau duluan?"
"Iya, Ma. Becca akan nunggu mama di rumah kakak."
**
Sebelum mentari semakin tegak tinggi, Rebecca menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah peristirahatan sang kakak.
Nisan kakak lelakinya bersebelahan dengan sang papa. Sehingga Rebecca bisa sekalian mengunjunginya sang papa yang telah menyusul terlebih dahulu.
"Kak, Pa ... aku datang, maafkan Becca baru bisa menguning kalian berdua."
Sesak di dada, tetapi Rebecca masih bisa menahan agar air matanya tak mengalir. Karena Becca tak ingin terlihat lemah di depan papa dan kakaknya.
Hampir setengah jam, Rebecca mengadu pada kakaknya. Selama itu pula, mamanya tak menunjukkan kehadirannya. Sehingga Rebecca berniat meninggalkan mama karena memiliki jadwal lain. Termasuk mengembalikan jaket yang dipinjamkan oleh orang di maskapai kemarin.
Langkah wanita itu kemudian terhenti karena sebuah umpatan yang datang dari belakang tubuh Rebecca.
"Kau keluarga penjahat itu?" sindir seseorang dari belakang tubuh Rebecca.
Terdengar menyakitkan, dan tak berperasaan membuat Rebecca menoleh setidaknya dokter muda itu ingin menampar mulut orang yang dengan mudah mengatainya.
"Apa maksudnya?" Tubuh Rebecca berbalik setelah menoleh untuk mencoba mengintip siapa gerangan.
Jika di dengar dari suaranya, Rebecca merasa tak asing dengan lelaki berperawakan tinggi dengan body yang terawat sempurna tersebut.
"Apa kau ingin merintih dan bersimpuh di kakiku?" Pria tadi memaki Rebecca seenaknya saja. Padahal Rebecca sendiri tidak mengenal siapa orang itu.
"Maaf, Anda salah orang!" Tak berminat berseteru di tempat peristirahatan sang kakak dan papa, membuat Rebecca berniat meninggalkan orang gila itu.
(Kesalahan takan pilih-pilih
Siapa pun orangnya pasti dihampiri
Tak ada yang kebal
Tak ada yang dapat menghindar
Bahkan tukang tambal ban pernah salah membakar ban
Bahkan pak polisi pernah salah pilih undang-undang
Bahkan wakil rakyat pernah salah membela kepentingan
Itulah kesalahan
Semua akan mengalami
Dengan bangga dan sombongnya
atau dengan rasa bersalah dan rasa sadarnya
Ya aku pun sering melakukan kesalahan
Salah jalan ketika banyak bisikan
Salah pilihan ketika banyak masukan
Akhirnya menjadi teguran dan pelajaran
Bahwa hidup bukan untuk memuaskan kemauan
Sulit mewujudkan semua harapan yang terpanjatkan
Sulit mewakili segala yang dititipkan)
"Kau dan lelaki yang nisannya di samping tadi sama saja, hanya pengecut yang pergi tanpa alasan," ucapnya dengan lantang pada Rebecca.
Kembali Rebecca berbalik. Namun, kini ia tak hanya melihat sosok pria serampangan tadi. Seorang ibu-ibu mendekati pria itu dan memintanya untuk berhenti mengacau.
"Sudah, James! Raisa telah tiada."
"Tapi Raisa mati karena keluarga wanita ini, jadi jangan salahkan aku jika membenci wanita ini."
"Sudah ... sudah semua sudah terjadi!"
"Maaf, tapi saya benar-benar tidak paham dengan maksud Anda," ucap Rebecca juga tak terima ketika pria yang disebut bernama James tadi memakinya.
"Kau tahu? Saudaramu telah membawa kabur istriku dan mereka meninggalkan bersama."
Sontak Rebecca tak percaya dengan penuturan pria tadi. Karena selama ini mamanya tidak sama sekali membicarakan alasan sang kakak kecelakaan. Yang Becca tahu selama ini kakaknya meninggal karena kecelakaan tragis. Itu saja.
"Saya sebagai pihak yang bersalah, mohon maaf yang sebesar-besarnya."
Hal yang dilakukan oleh Rebecca membuat wanita tua mendekatinya dan memeluknya dengan erat. "Jangan salahkan dirimu, Nak! ini sudah terjadi,"
"Baguslah! jika kau paham, kau dan dia sama saja." James masih mengingat Rebecca adalah dokter yang bersikukuh ingin melakukan operasi di penerbangannya.
Namun, Rebecca yang tak melihat seperti apa rupa kapten/pilot yang sempat melarangnya kemarin.
"Kau jangan keterlaluan, James!" Wanita yang diketahui ibu dari James itu mengajak Rebecca meninggalkan pemakaman agar tak terjadi perselisihan kembali lagi.
"Maafkan anakku ya, Sayang ... Oya siapa namamu?" tanya Ibu James kemudian.
"Nama saya Rebecca, Tante!"
"Tante punya dua anak lelaki single, jika kau berkenan bisa memilih salah satu di antara. Tante yakin pasti kau tak kecewa."
"Tidak, Tante! terimakasih," Rebecca bisa menolak karena menelisik sifat kasar James, sangat wajar jika saudaranya juga akan bersifat yang sama.
Dari langkah ini aku hanya belajar
Bahwa hidup itu memang berputar
Bahwa waktu akan mengajarkan arti menghargai
Bahwa waktu akan mengajarkan arti hati-hati
Bahwa waktu mengingatkan kita akan kembali menyendiri
(Sajak kesalahan ini aku senandungkan
Di saat kesalahan kulakukan
Tersudutkan pasti terjadi
Bertahan atau lari akan menjadi pilihan
Tapi pilihanku selalu bertahan
Biar diri ini terbiasa dengan sakit hati
Biar diri ini tahu diri
Biar diri ini bisa menghargai diri
Biar diri ini tak pernah tuli
Biar diri ini masih memiliki empati
Beda pilihan itu pasti
Kesalahan itu akan pergi sendiri
Ke arah subjektif atau objektif
Jika langkah dan emosi menjadi satu
Perbedaan akan dihakimi menjadi sebuah kesalahan
Perbedaan akan menimbulkan gesekan
Perbedaan harus kembali dibalut dengan humanisasi
Bahwa manusia pernah salah dan tetap menjadi manusia)
***