Bab 3
Lima belas menit seperti yang dikatakan oleh James pesawat berhasil landing di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Dan Rebecca dengan dibantu awak kabin mengeksekusi pasien dengan diagnosa aritmia jantung. Tak ada keraguan sama di benak Rebecca, kedua tangannya telah terampil mengatasi hal seperti ini.
Tak sedikit penumpang yang tadinya meragukan kehebatan Rebecca kini mulai berdecak kagum pada wanita muda tersebut. Bahkan Yudi pun mengapresiasi kinerja dokter bedah toraks dan kardiovaskula tersebut.
Begitu roda pesawat benar-benar berhenti, pintu belakang dibuka dan segerombolan petugas medis berlarian masuk guna membantu Rebecca.
Mereka mengangkat tubuh pasien ke atas brankar dorong serta dipasangi Infus. Lalu Rebecca sendiri? Apakah wanita itu akan menyerahkan pasiennya begitu saja? Tentu tidak.
Rebecca masih berkonsentrasi membuat sebuah sayatan di dinding jantung pria tersebut dengan ikut naik ke brankar pasien.
"Barang-barang dokter tadi bagaimana?" tanya salah satu pramugara yang sejak tadi membantu Becca.
"Kita simpan saja, nanti pasti dokter itu akan menghubungi kru darat," jawab salah seorang di antara pramugari yang juga ikut andil bagian dalam aksi penyelamatan tersebut.
"Flight kita hari ini benar-benar dramatis, Capt!" Yudi sampai menyeka dahinya yang dipenuhi keringat.
"Ah biasa saja," jawab James sekenanya lalu keluar dari kokpit menuju office Nusantara Air di Bandara ini.
James sedikitpun tidak memedulikan apa saja di sekitarnya. Meski ada peristiwa aneh sekalipun, James tak ingin ambil pusing jika tidak mengenai dunai penerbangan ataupun tentang buah hatinya Alicia.
Seusai menjahit dada pasien, Rebecca bisa bernapas lega dan mengikhlaskan pria itu dibawa menggunakan ambulans ke rumah sakit terdekat untuk menjalani perawatan lanjutan. Dan untuk masalah operasi dadakannya tadi, Rebecca telah menandatangi perjanjian dan bertanggung jawab jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Rebecca berjalan gontai masuk ke dalam counter Nusantara Air guna menanyakan bagasi serta barang bawaannya karena Becca telah melewatkan kurang lebih satu jam lamanya dari waktu landing.
"Di mana aku bisa mendapatkan barangku?" tanya Rebecca dengan wajah kelelahan seusai melakukan operasi dadakan.
Pakaian dokter wanita itu kini tak karuan, noda darah mengotori baju atasnya. Hingga tanpa ragu lagi, Rebecca melepas outer yang ia kenakan dan menyisakan dalaman berupa tank top tanpa lengan.
Kru darat maskapai tersebut telah menerima pemberitahuan sebelumnya sehingga dengan mudah mampu melayani apa yang dikehendaki oleh Rebecca dengan segera. Selain itu, Rebecca juga mendapatkan apresiasi dari pihak maskapai tersebut.
Sebelum Rebecca pergi dengan barangnya, seorang wanita bertubuh semampai menghampiri dokter cantik tersebut. "Maaf, Anda bisa menggunakan jaket ini!"
Rebecca menatap wanita muda itu dengan tatapan menyelidiki, sorot matanya jatuh pada benda berwarna hitam yang diulurkan oleh wanita cantik itu.
"Apa ini?" tanya Rebecca dengan suara nyaris tak tertahan.
"Capt menitipkan ini untuk Anda," balas pegawai itu dengan sedikit berbisik.
"Tapi, aku tak bisa menerima ini."
"Aku akan mendapat masalah jika Anda tidak menerimanya."
Rebecca terpaksa menerima dan langsung mengenakannya sesuai apa yang diminta oleh petugas maskapai tersebut.
Begitu Rebecca keluar dari counter maskapai, dokter wanita itu menjadi bulan-bulanan gosip yang menyebutkan jika Rebecca merupakan wanita spesial Capt mereka.
Becca melirik arloji yang melingkar indah di tangannya, "Ah sudah terlambat sekali! pasti mama telah meninggalkan aku,"
Rupanya tidak, begitu Rebecca keluar dari pintu arrival, seorang wanita paruh baya melambangkan tangan ke arahnya.
Tepat ketika berada di depan sang mama, Rebecca sedikit bergidik ngeri membayangkan apa yang akan dilakukan oleh wanita tua itu padanya.
"Ya Tuhan, Becca! apa yang terjadi?" Mamanya menjerit mendapati tank top sang putri telah tembus oleh darah pasien. Rebecca lupa mengancingkan jaket pinjaman dari pegawai maskapai.
"Ah, Mama! ini hanya hal kecil. Tadi Becca membantu orang yang terluka."
Namun, penjelasan Rebecca tak melegakan kekhawatiran sang mama. Hingga membuat mamanya lebih protektif terhadap sang putri. Mama Becca membawanya pulang dengan ribuan kata-kata cerewetnya.
**
"Alicia ... papa pulang!" seru seorang pria gagah masuk ke dalam kamar sang putri semata wayangnya.
Kepergian sang mama untuk selamanya membuat James menjadi seorang ayah tunggal. Selain Alicia dan pesawat, tak ada lagi yang penting dalam hidup James Mochtar.
"Hore ... Papa bawain Cia boneka Barbie!" Gadis berumur lima tahun itu langsung berhamburan di pelukan sang papa dengan girangnya.
"Kamu suka, Sayang?"
"Sure, Papa. Ini seri terbaru dan beberapa temanku belum memilikinya."
Di luar kamar, seorang wanita tua tersenyum melihat kebersamaan antara ayah dan putrinya tersebut. "Sudah lima tahun ini, mereka selalu tampak manis!" ucapnya guna menyenangkan kata hatinya.
"Oma, ayo ke sini! Temani Cia maen boneka, Oma!" Sang cucu kesayangan mengajaknya ikut bergabung dengan kebersamaan tersebut.
"Oke, Deh!" Ibu James datang ke kamar sang cucu dengan wajah penuh haru.
Hal kecil seperti ini, mampu membahagiakan James. Tak perlu kemewahan atau harta benda. Karena harta paling berharga di mata James adalah tawa sang putri yakni Alicia.
****