Bab 9 In The Past
Bab 9 In The Past
Perlahan wanita itu membimbing Mia untuk bangkit, ditatapnya lekat-lekat wajah adik semata wayangnya itu dan amarahnya yang sudah disimpan jauh sebelum tiba di Jakarta akhirnya pecah.
Mia kembali jatuh tersungkur akibat tamparan keras di pipi. Sekali lagi wanita bernama lengkap Anggia Puspa itu berjongkok. “Kamu! Kamu pikir bisa lari dan mencoreng-moreng nama keluarga lebih buruk dari ini!” geramnya.
“Ka-Kakak,”
“Bangun!” Sekali lagi Mia bangkit, tetapi kali ini Anggia tidak mau membantu adiknya.
Beberapa kali Anggia membungkuk pada kerumunan yang sedari tadi menonton mereka lalu bergegas menarik tangan adiknya menuju kamar.
Setibanya di sana, Anggia menyelot pintu lalu berkacak pinggang. “Jelaskan! Kemarin Mbak dapat telepon dari kampus! Katanya kamu hendak memeras dosen!” tuduhnya.
“Aku tidak segila itu, Mbak!” sergah Mia sembari menyusut air matanya.
Anggia menarik napas panjang lalu duduk di samping Mia. “Ya, Mbak tahu kamu tidak mungkin bisa berbuat sekotor itu, tapi apa yang terjadi?”
Mia menunduk lebih dalam, memilin-milin jemarinya lalu berkata, “Aku hamil, Mbak,”
Seketika Anggia bangkit lalu mencengkeram erat bahu Mia. “Ap-apa? Kamu, kamu apa?” tanyanya sembari mengguncangkan bahu Mia.
Mia mengangguk. “Iya, Mbak. Aku, aku hamil, Mbak,” raungnya.
Kali ini, lemas sudah kaki Anggia hingga jatuh terduduk di hadapan Mia tanpa tahu harus mengucapkan apa dan reaksinya membuat Mia makin merasa bersalah. Seketika ia duduk di samping Anggia, meraih tangannya.
“Mia minta maaf sama, Mbak. Maafin, Mia, Mbak!” raungnya.
Jatuh air mata Anggia. Mencengkeram erat bahu Mia sembari mengigit bibir, berharap tangisnya tidak terdengar oleh siapa pun.
“Mbak, ibu dan, dan bapak selalu berdoa semoga kamu bisa jaga diri dan percaya, walau kamu jauh dari mata kami ... Mia, kamu bisa ....”
“Maaf, Mbak. Mia sudah buat semuanya kecewa. Awalnya, Mia, Mia pikir bisa dapat nilai dan tidak perlu—“
“Ya, Tuhan, Mia! Peduli setan dengan nilai kuliah kamu! Apa yang ada di otak kamu, Mia!!” murkanya.
“Iya, Mbak. Mia salah, Mia, Mia dapat hukuman yang setimpal dari Tuhan. Mbak, Mia sudah berusaha menegakkan keadilan!” raungnya lagi.
“Siapa lelaki itu?” Melihat keterdiaman Mia, Anggia malah semakin kencang mencengkeram bahu Mia. “SIAPA MIA?” jeritnya.
“Dia, dia salah satu dosen di kampus, Mbak,” cicit Mia.
“Ya, Tuhan, Mia,” Melepaskan tangan dari bahu Mia lalu menyugar kepalanya sendiri. “Lalu, apa yang sudah kamu lakukan? Jangan bilang kamu melabrak dosen itu di hadapan semua orang?” tuduh Anggia.
Mia menatap Anggia lalu kepalanya mengangguk pelan ke atas dan bawah dan satu isak kembali terlepas dari bibirnya.
Anggia bangkit, menggigit ujung jemari lalu berjalan mondar-mandir. Sesekali ia tampak memukul dadanya sendiri. Tindakan Mia sangatlah gegabah. Seharusnya adiknya itu bisa mendiskusikan ini dengannya terlebih dahulu. Semakin banyak orang yang mengetahui skandal ini, maka kesempatan untuk adiknya dapat keadilan lebih kecil.
“Katakan, apa, apa kamu menemui dekan lalu meminta keadilan dan semacam itu?” tanya Anggia lagi. Mau tidak mau Mia menjawab dengan satu anggukan kepala kecil. “Astaga, Mia. Tentu saja pihak kampus akan mencari cara supaya kamu tetap diam termasuk menimpakan kesalahan padamu! Apa yang dosen itu katakana?”
“Mia pikir bila petinggi kampus tahu, dosen itu mau bertanggung jawab, Mbak. Mia panik dan dosen itu malah tidak mengenal Mia, Mbak!” raungnya.
“Siapa? Siapa dia?”
“Bran-Brandon, Mbak,”
Seakan mendapat satu lagi tamparan keras, Anggia terdiam beberapa detik untuk mencerna jawaban dari Mia. Nama itu terdengar begitu familiar. Rasanya sering diucapkan oleh seseorang, tetapi siapa?
“Brandon? Apa … kamu punya potretnya?” tanya Anggia yang sebenarnya merasa cemas akan dugaannya sendiri.
Mia membuka laci nakas lalu mengeluarkan ponselnya. Cukup lama mencari potret Brandon di galeri lalu menyerahkan ponsel itu ke Anggia.
Ekspresi kakaknya yang menjatuhkan ponsel tepat setelah menatap layar membuat Mia cemas serta ketakutan bahkan Anggia tidak punya lagi kekuatan untuk menopang tubuhnya.
Air mata Anggia sudah memenuhi permukaan matanya, tetapi sialan, air mata itu hanya diam, menggenang serta membakar pelupuk matanya. “Mia, kamu … ya, Tuhan. Kenapa kamu harus berurusan dengan lelaki ini, Mia?” raungnya.
Mia segera menangkup kedua tangan Anggia. Setelah cukup lama terdiam sembari saling menatap, akhirnya Mia merengkuh tubuh Anggia, menangis tersedu-sedu tanpa peduli tangisannya didengar oleh penghuni lainnya.
Tepukan pelan di punggung membuat tangis Mia semakin menjadi hingga akhirnya Anggia pun tidak bisa menahan perasaannya. Kenangan yang cukup lama disimpan bertahun lalu seakan segar kembali.
Brandon Tung, ya, Anggia mengenalnya dengan sangat baik. Bahkan, ia menyesal pernah bertemu dengan lelaki tak bermoral seperti Brandon. Lelaki yang bermodal paras rupawan, otak cemerlang, uang melimpah serta tutur kata manis. Semua kesempurnaannya itu … menurut Anggia tidak ada nilainya setelah Brandon hanya bisa mengobral janji dengan para gadis.
Merebut satu mahkota serta meninggalkan mereka dalam kondisi ternistakan. Bukan hanya satu, mungkin belasan bahkan puluhan gadis yang dikenal Anggia semasa kuliah pernah ‘dicicipi’ Brandon.
Awalnya, Anggia tidak pernah mau ikut campur, tetapi semuanya berubah ketika sahabat Anggia—Rosa menjadi pacar ke-sekian Brandon. Semua pesona yang dimiliki Brandon tentu membuat Rosa mabuk kepayang hingga akhirnya, Rosa ditinggalkan dalam keadaan ternista serta membuatnya memilih untuk mengakhiri hidup.
Sekali lagi Anggia menatap Mia. Tentu ia tidak ingin adiknya menjadi Rosa yang ke-dua dan tidak mau juga atau berharap Brandon akan benar-benar masuk ke dalam hidup adiknya.
“Mia, apa kamu tidak bohong sama, Mbak?”
Mia mengusap air matanya lalu menggeleng. “Mia, Mia hanya melakukan itu dengan dia, Mbak. Anak ini milik Brandon! Pihak kampus meminta Mia melakukan tes DNA, tapi, Mia, Mia tidak mungkin meminta uang sama Bapak untuk tes itu. Mia bingung, Mbak.” Jawabnya sembari terisak.
Anggia terdiam beberapa saat. Berdasarkan pengakuan Mia, berarti ia punya bukti yang cukup untuk menghancurkan lelaki itu dalam satu tepukan dan soal uang, semuanya bisa dipikirkan nanti.
“Mia, sekarang, kamu nurut sama, Mbak. Diam saja karena Mbak yang akan maju, kamu janji sama Mbak, buang jauh-jauh pikiran kamu! Apa pun yang terjadi, kalau memang kamu harus keluar dari kampus, Mbak akan terima. Kita tidak boleh menyerah, Mia!” ucapnya sembari mencengkeram bahu Mia.
Mia kembali menyusut air matanya lalu memeluk Anggia. “Maafkan Mia, Mbak. Mia benar-benar tidak tahu harus bagaimana lagi, Mbak,” cicitnya.
‘Dulu, kamu memang bisa pergi serta menghancurkan Rosa. Sekarang, demi Tuhan. Brandon, kamu akan hancur. Benar-benar hancur hingga tidak ada lagi orang yang akan menerimamu! Aku bersumpah,’ batin Anggia.