Bab 8 Penyangkalan
Bab 8 Penyangkalan
Beberapa kali Rejana mengerjapkan mata sebelum rasa kantuknya sirna kala mencium aroma nikmat yang menguar dari sela pintu kamar. Walau sempat ragu, akhirnya ia turun dari ranjang dan coba mendekati sumber aroma tersebut.
Dari jauh dilihatnya Prasetyo yang sedang memasak, sedangkan kepala dan bahunya tampak mengapit ponsel. Seingatnya, semalam ia dan Prasetyo tidak benar-benar menyelesaikan masalah. Keduanya hanya terdiam di depan televisi yang menonton mereka sampai akhirnya tertidur di sofa.
“Maaf merepotkanmu dan aku malah mendadak minta ubah jadwal,” tutur Prasetyo pada lawan bicaranya di ponsel. Rejana hanya bisa diam, mendengarkan tanpa mau mendekat. “Ya, aku tidak masalah kalau piket jaga malam untuk minggu ini serta minggu depan diberikan lagi padaku. Tentu saja, tidak, istriku tidak mempermasalahkan hal itu,” lanjutnya lagi yang kemudian disertai tawa hambar.
Rejana meremas tangannya sendiri, bukankah Prasetyo mengatakan minggu ini jadwal jaga malamnya sudah diundur? Sekarang … bahkan suaminya itu mengatakan tidak tega melihat Rejana tidur sendirian, tetapi itu semua dikatakan sebelum kejadian itu.
“Baiklah, ya, terima kasih. Maaf sudah merepotkan,” Prasetyo sempat diam beberapa detik sembari menatap layar ponselnya kemudian menaruhnya di saku celana. Hampir saja ia menjatuhkan piring yang dibawa ketika melihat Rejana sudah berdiri di hadapannya.
“Kamu masak, Mas?” tanya Rejana berbasa-basi.
Prasetyo hanya mengangguk lalu meletakkan piringnya di meja. Sempat kecewa karena suaminya tidak memasakkan sesuatu untuk Rejana, akhirnya ia meraih kotak sereal di atas lemari lalu memanaskan susu dari lemari pendingin.
Tepat saat Rejana meletakkan mangkuknya di meja, Prasetyo menyelesaikan sarapannya dengan tergesa, menenggak susu lalu menaruhnya di wastafel. “Aku akan mencucinya besok,” ujarnya sebelum meraih mantel yang tersampir di ujung sofa juga tas kerjanya.
Rejana yang berniat tidak mau terlibat masalah dengan Prasetyo, tidak tahan lagi untuk menarik tangan suaminya. “Bukankah masalah kita sudah selesai, Mas?” tanyanya.
Hanya dengan lirikan mata pada tangannya yang digenggam Rejana, istrinya itu melepaskan pegangan itu tanpa diminta. “Masalah kita? Maksudmu, masalahmu dengan mantan kekasihmu itu?”
Tanpa sadar, Rejana menggigit bibir. “Aku, aku tidak ingin mengingat dia terus, Mas!” sergahnya.
“Tetapi kamu selalu memasukkan dia ke dalam pikiran juga hatimu! Dengar, Re, urusan kita akan selesai bila kamu telah menyelesaikan terlebih dahulu urusan yang sempat tertinggal! Aku tidak ingin dia datang dan mengusik keluargaku! Aku tidak akan pernah memaafkan kamu bisa lelaki itu membuat kekacauan di kemudian hari!” ancamnya kemudian bergegas pergi tanpa mau mendengar komentar Rejana.
Hilang sudah semua tenaga dari tubuh Rejana. Ia jatuh tekulai tanpa bisa mengangkat kepala. Air mata yang dikira telah kering, akhirnya tumpah ruah membasahi lantai.
***
Brandon mondar-mandir di depan kamarnya. Sesekali ia berhenti hanya untuk menggaruk ujung dagu atau alis. Sekali lagi coba mengingat kejadian beberapa bulan yang lalu serta mencocokkannya dengan pengakuan dari si Mahasiswi Aneh Mia.
Bila memang ia telah tidur dengan wanita itu, tetap saja seharusnya Mia tidak bisa hamil. Brandon selalu memastikan setiap kenikmatan itu aman dan minim risiko, tetapi apa mungkin karena terlalu mabuk, Brandon melepaskan semuanya tanpa satu pengaman?
Frustasi, Brandon segera meraih ponselnya. Jelas ia butuh hiburan untuk sejenak melepaskan penat, tetapi ia bukan lelaki bodoh yang tidak bisa menjaga situasi. Mungkin saja, mahasiswi sinting yang nekat itu bisa membuntutinya ke kos-kosan putri atau ke bar lalu menyebarkan potret atau video ia berpesta untuk memperkuat kegilaannya.
Malas lama-lama berpikir, Brandon meraih kunci mobilnya lalu pergi tanpa tahu ke mana harus melangkah.
Sudah hampir dua jam, mobilnya berputar-putar di kawasan Kemang, terkadang ia singgah beberapa menit untuk memesan minuman lalu kembali ke mobil, hingga akhirnya ia terdampar di pinggiran kota dekat danau di daerah Jagakarsa.
Brandon keluar dari mobil, melepaskan kacamata lalu mengedarkan pandangan pada air danau yang jauh dari kata indah, tetapi suasananya yang tenang sungguh membuat kepalanya bisa berpikir lebih jernih.
“Kalau ternyata anak itu milikku, bisa hancur semua yang telah aku bangun. Aku harus melakukan sesuatu. Mia harus mengugurkan kandungannya dan pergi seolah tidak pernah mengenalku!” cicit Brandon.
Sementara itu, di salah satu kos-kosan putri. Mia yang sejak kemarin belum bisa tidur akhirnya keluar dari kamar, berjalan terus menaiki anak tangga, diam beberapa saat mengamati setiap pakaian yang dijemur para penghuni kos-kosan.
Berkali-kali ia menarik napas, tetapi rasa sesak itu tak jua mau menghilang. Bahkan rasa sakit itu kini semakin nyata menggulung hatinya.
Semua tidak berpihak padanya. Seakan ucapan Mia dianggap satu kebohongan serta tipu muslihat untuk memuluskan jalan mendapatkan nilai yang sempurna pada mata kuliah yang diajar Brandon dan ya awalnya memang Mia berniat seperti itu.
Namun, sumpah demi apa pun, Mia tidak pernah mengarang cerita tentang Brandon serta kehamilannya.
Tangannya menggenggam erat pagar pembatas beton. Entah kegilaan apa yang menguasainya. Kini Mia sudah berdiri di atas pagar, menatap jalanan depan kos-kosan dari lantai empat.
Semua masalahnya, semua akan selesai bila ia bisa pergi meninggalkan dunia ini. Pergi dengan satu urusan yang akan dibawanya hingga ke liang lahat.
Air matanya jatuh membanjiri wajah. Meskipun berkabut, tetapi Mia masih bisa menatap orang yang berlalu-lalang di bawah sana.
Bila memang tidak ada lagi yang perlu diperjuangkan, Mia akan menagihnya di alam baka sana. Meskipun harus masuk neraka, ia akan menarik kaki Brandon untuk tetap bersama dekat dengannya.
Salah seorang mahasiswi yang baru saja turun dari ojek online tanpa sengaja mendongak. Seketika jeritannya memancing orang-orang sekitar untuk menatap apa yang membuatnya begitu histeris.
Beberapa orang ada yang langsung berlari masuk ke kos-kosan, ada juga yang sibuk mencari sesuatu agar seseorang yang sedang berdiri di atas pagar itu tidak mendapatkan luka yabg berarti bila nekat terjun dari lantai empat.
“Jangan mendekat!!” jerit Mia disela tangis ketika ia tahu ada beberapa orang yang coba mendekatinya.
Salah seorang teman yang tinggal di sebelah kamar Mia coba membujuk, “Mia, kita selesaikan baik-baik! Aku yakin, kamu pasti dapat jalan terbaik, Mi!”
Mia menyeka air matanya dengan kasar.
“Jalan terbaik? Menyelesaikan masalah dengan cara baik? Sedari awal pun aku ingin menyelesaikan semuanya dengan baik, tapi, tapi mereka terus saja tidak percaya aku!!” jeritnya.
“Tapi Mbak percaya sama kamu!”
Punggung Mia menegak. Ia mengenali dengan baik, siapa pemilik dari suara itu, tetapi ia enggan dan malu untuk menoleh.
“Mia, ini tidak akan menyelesaikan masalah kamu. Turun, Mia. Kalau memang tidak ada yang mau mendengar kamu, Mbak akan selalu dukung kamu,” bujuknya lagi.
Mia terdiam, hanya sedu sedan yang terdengar dari sela bibirnya. Wanita itu coba mendekat dan dengan satu gerakan menarik Mia ke dalam dekapannya.
Keduanya duduk terkulai, lutut mereka goyah, Mia langsung menenggelamkan diri dalam rengkuhan wanita itu, menangis layaknya seorang anak kecil kehilangan mainannya.