Bab 7 Hasrat Di Masa Lalu
Bab 7 Hasrat Di Masa Lalu
Seketika Rejana membuka mata kala suaminya melepaskan keintiman yang sudah sampai puncak. Kemesraan yang seharusnya bisa mencapai kata manis akhirnya terhenti dengan begitu menyedihkan.
Keduanya sempat saling bertatap, spontan dengan tangan gemetar Rejana menutup bibir rapat-rapat.
Prasetyo memalingkan wajah dan tanpa banyak bicara pergi ke kamar mandi, meninggalkan Rejana yang tercenung.
Entah kegilaan apa yang menguasainya, tetapi Rejana akhirnya menyadari kesalahan besar, penyebab Prasetyo pergi begitu saja. Tanpa mau membuang waktu, Rejana cepat-cepat mengenakan kaus Prasetyo lalu mengejar suaminya.
“Mas ....” Rejana menelan kembali kalimatnya. Dalam posisi ini, memang, ia patut disalahkan dan akhirnya memutuskan kembali duduk di tepian tempat tidur lantas menunggu suaminya.
Tak lama, Prasetyo keluar dari kamar mandi dengan wajah lebih segar, ia tidak memberikan kesempatan untuk Rejana membuka mulut, tetapi istrinya tentu tidak mau Prasetyo pergi begitu saja.
Ditariknya tangan Prasetyo saat lelaki itu hendak membuka lemari. “Kita perlu bicara, Mas!” Prasetyo menepis tangan Rejana, kembali membuka lemari lalu mengeluarkan beberapa pakaian. “Mas!” Sekali lagi Rejana menarik pakaian yang digenggam Prasetyo.
“Lepas,” titah Prasetyo tanpa mau memberikan kalimat lain. Ia tidak peduli dengan tangan istrinya yang gemetar, bahkan tidak mau tahu alasan di balik mata Rejana yang mulai berkabut.
Tidak perlu ada perintah yang kedua. Rejana melepaskan tangan suaminya. Belum pernah Prasetyo memberikan sorot mata dengan penuh kekecewaan pada Rejana.
Prasetyo kembali masuk ke kamar mandi. Cukup lama Rejana mengamati pintu kamar mandi sampai akhirnya Prasetyo keluar dengan kaus polo abu-abu dan celana panjang.
Prasetyo tampak melirik jam dinding lalu meraih bantal di dekat Rejana.
Sempat tercenung beberapa saat, Rejana kembali tersadar dengan suara debum pintu kamar. Prasetyo pergi darinya.
Air mata yang ditahannya sedari tadi, kini tumpah ruah membasahi pelupuk mata.
Tergesa-gesa ia berlari mengejar Prasetyo yang ternyata memilih tidur di ruang tengah.
“Mas!” Walau tidak ingin menoleh, tetapi kepala Prasetyo bergerak sendiri kala gendang telinganya menangkap panggilan dari Rejana. “Aku tahu, aku salah,” tambah Rejana.
Entah mengapa pengakuan itu memang mengukuhkan hal yang tadi didengarnya sebagai satu kebenaran nyata. Matanya kembali menatap jauh kabut yang mulai menutupi manik indah istrinya.
“Dengar, lebih baik kita saling diam terlebih dahulu,” ujar Prasetyo yang akhirnya mau bersuara.
“Tapi, aku tidak mau kita saling diam seperti ini, Mas!” sergah Rejana.
Prasetyo melepaskan kacamatanya lalu bangkit untuk balas menatap Rejana. “Bukan pada tempatnya kamu bersikap seperti ini,” balas Prasetyo yang masih berusaha meredam suaranya, mengusahakan tidak meninggikan nada bicara.
“Aku tahu kalau kesalahan ini—“
“Cukup! Sudah aku katakan untuk diam, Rejana!” Kemarahan Prasetyo yang baru saja dilihat Rejana memotong keberaniannya. Prasetyo menyugar rambutnya dengan frustasi. “Jangan ganggu aku!”
“Dia, dia bukan siapa-siapa,” tutur Rejana.
“Aku sudah katakan untuk diam, Rejana!” bentak Prasetyo lebih kencang.
Rejana mundur selangkah. Bibirnya ikut gemetar dengan air mata yang telah menganak sungai. Pendidikan yang baik di keluarga Prasetyo tentu saja mengajarkannya untuk menghormati seorang wanita, terlebih orang yang disayangi, tetapi ia bukan manusia munafik yang mampu berwajah manis saat sedang terluka.
Prasetyo bergeser ketika Rejana duduk di sebelahnya dan mendapati perlakuan seperti itu, istrinya kemudian bangkit lalu menyeka air matanya.
“Aku tahu, seharusnya sebelum menikah … aku sudah menjelaskan semuanya padamu, tapi, tapi aku juga tidak bisa terima kalau kamu marah tanpa memberikan aku kesempatan untuk memberikan penjelasan,” tutur Rejana sembari terisak. Prasetyo terdiam, tetapi matanya jelas menyiratkan rasa penasaran. “Lelaki itu, dia—“
“Apa ini alasanmu untuk tidak membicarakan masa lalu di antara kita? Apa lelaki itu … apa dia begitu hebat hingga kamu terus saja menginginkan kehangatannya?” potong Prasetyo.
Deg, rasanya ada palu besar yang menghantam ulu hati Rejana. Ya, ia mengakui kesalahannya, tetapi bukan berarti Prasetyo berhak untuk menginjaknya. “Mas, aku memang ingin membuka masa depan bersama kamu dan—“
“Tapi bukan berarti kamu terus menyembunyikan hal yang memang harus diceritakan padaku!” potongnya lagi.
Rejana kembali mengigit bibir. Jujur, ia tidak mau lama-lama bersitegang dengan Prasetyo, terlebih memikirkan akan kehilangan suami terbaik. Tidak, ia tidak ingin hal itu terjadi.
Prasetyo tersentak kala Rejana jatuh bersujud di kakinya. “Mas, aku tidak tahu harus meyakinkan kamu seperti apa lagi, aku memang tidak pantas untuk kamu. Aku juga salah karena tidak menceritakan kondisi aku yang memang sudah tidak suci lagi saat kita menikah dulu!” raungnya.
Bak disengat ribuan voltase arus listrik, Prasetyo yang memang tidak pernah tahu urusan wanita tercenung beberapa detik hingga akhirnya meremas pundak Rejana. “Bangun, Re,” pintanya.
Rejana mulai bangkit lalu duduk di samping Prasetyo, diangkatnya ujung dagu Rejana. “Aku takut, aku tahu, kamu berhak mendapatkan yang lebih baik dari aku, tapi aku benar-benar ingin membuka semuanya bersama kamu, Mas,”
“Kamu telah menipuku,”
“Mas,” desah Rejana.
“Aku perlu waktu untuk berpikir, untuk merenung sejauh mana hubunganmu dengan lelaki itu,” lanjutnya.
Rejana dengan cepat meraih tangan Prasetyo. “Tidak, Mas. Semuanya sudah berakhir, aku dan Brandon, kami—“
“Demi Tuhan, jangan sebut namanya lagi di hadapanku!” mohon Prasetyo. Kali ini Rejana kembali menunduk dan Prasetyo enggan untuk menatap wajah istrinya lebih jelas. “Pernikahan bukan hanya tentang kita saja, Re,” tutur Prasetyo yang kemudian menarik napas dalam-dalam. “Sekelam apa pun masa lalu kamu, seharusnya kamu menceritakan hal ini padaku. Aku masih bisa meyakinkan keluargaku untuk menerimamu dengan semua risiko yang akan kutanggung, tapi ini … mereka pasti lebih sakit dari yang aku rasakan,” tambahnya.
Wajah pucat Rejana semakin kesi kala Prasetyo menutup wajahnya sendiri dengan kedua tangan dan ia dapat dengan jelas mendengar suara isak tertahan dari suaminya. “Mas,”
“Tidak seharusnya kamu menyembunyikan hal ini, Re,” sesal Prasetyo.
“Aku tahu, aku salah, Mas,” aku Rejana.
“Dan tidak ada gunanya lagi kamu menyesali hal itu!” sentaknya. Rejana terdiam, sementara Prasetyo kembali menarik napas dalam-dalam lalu membuang pandangannya ke arah lain. “Ya, Tuhan, seharusnya kamu mengatakan ini, dan aku pun tidak akan mempermasalahkan ini, Re,” lanjutnya.
Rejana ingin mendekap Prasetyo, tetapi kali ini, ia merasa sungguh jijik terhadap tubuhnya sendiri, seakan Rejana ingin membuang setiap bagian tubuh yang disentuh oleh si Berengsek Brandon.
Prasetyo kembali menatap Rejana lalu mencengkeram lengannya erat-erat. “Aku tidak tahu, apa yang harus aku lakukan? Apa kamu bisa katakan, Re? Apa yang harus aku lakukan? Istriku menyebut nama lelaki lain saat kami sedang bercinta dan sumpah demi apa pun, itu sangat melukai harga diriku sebagai seorang suami! Seakan kotoran itu dilemparkan tepat di wajahku!” cecarnya.
Rejana membisu. Bagaimana mungkin ia begitu berani tetap mencengkeram tangan Prasetyo saat lelaki itu juga butuh pegangan untuk tetap berdiri?