Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 Bayangan Masa Lalu

Bab 6 Bayangan Masa Lalu

Rejana meremas dadanya. Ucapan Brandon sungguh melukai harga diri juga menciptakan rasa bersalah yang teramat dalam pada suaminya.

Kebaikan Prasetyo, rasa percaya dan pedulinya seakan dilempar kotoran oleh Brandon.

Bagaimana tidak, Rejana hampir tidak pernah mau membicarakan masa lalu percintaannya sebelum menikah dengan Prasetyo.

Terlebih Prasetyo sendiri memang tidak pernah mau mengulik masa lalu Rejana. Baginya saat ini Rejana adalah istrinya yang sah.

Yang diceritakan Rejana adalah mantan kekasihnya itu tukang selingkuh dan ia mencari lelaki serius. Bukan hanya untuk pacaran saja.

Rejana melepaskan seat belt, membanting pintu mobil lalu berlari ke dalam rumah. Tangis Rejana pecah ketika ia melemparkan tubuhnya di pembaringan.

Ya, memang. Kesuciannya. Malam pertama itu bukan milik suaminya. Rejana mengakui kalau perbuatannya dengan Brandon tidak memiliki batasan lagi. Lelaki itu sudah tahu luar dalam hingga memiliki tubuh Rejana seutuhnya.

Tidak bermaksud untuk menipu, sebelum menikah dengan Prasetyo, sempat terbersit dalam benaknya untuk bercerita bahwa Rejana bukanlah seorang wanita yang masih memiliki 'mahkota' kebanggaan.

Namun, hal itu urung dilakukan karena Rejana takut Prasetyo akan membatalkan semuanya. Rejana takut kehilangan Prasetyo, walau ia tahu suaminya itu berhak mendapatkan wanita yang lebih baik darinya.

Walaupun baru saling mengenal dan semua terkesan lebih cepat dari perkiraan semua orang, Rejana mantap menerima pinangan Prasetyo.

Pilihannya jatuh pada lelaki berkulit sawo matang dengan senyum hangat dan kacamata yang selalu lekat di depan matanya.

Wajahnya tidak setampan Brandon, tutur katanya juga tidak semanis mantan kekasihnya, tetapi Rejana tahu dan yakin kalau dibandingkan Brandon, Prasetyo ada di atas segala-galanya.

Sudah berkali-kali Rejana menyusut air matanya, tetapi sial, sekarang malah tangisan itu menenggelamkan wajahnya.

Ucapan Brandon ... ya, dia tidak salah. Rejana mengakui bahwa terkadang ia merindukan setiap sentuhan intim Brandon, tetapi bukan berarti Rejana menginginkan itu secara nyata.

“Kamu kenapa?”

Prasetyo yang tiba-tiba muncul, membuat Rejana kalang kabut. Ia berusaha menyeka air mata lalu bangkit dan tersenyum menatap suaminya.

“Kamu kenapa?” ulang Prasetyo dengan tangannya yang menangkup pipi Rejana. “Kamu marah karena aku tidak balas pesan kamu ya?” tebaknya.

Rejana menggeleng. “Tidak, tidak, Mas. Aku, aku hanya kangen sama orang tuaku,” ujarnya bohong.

Prasetyo menatap jauh ke dalam mata istrinya yang masih berkabut. Tentu saja, itu bukan jawaban yang sebenarnya, tetapi Prasetyo enggan mendesak Rejana.

Diusapnya lembut pucuk kepala Rejana. “Maaf karena kita belum bisa berlibur dan pergi sesuai dengan rencana. Aku juga tahu kamu pasti kesepian di rumah. Akhir-akhir ini juga aku memang sedang sibuk,” aku Prasetyo.

Rejana kembali menggeleng, kini rasa bersalahnya semakin menenggelamkannya. Ia mendekap erat suaminya tanpa peduli dengan bau desinfektan yang tercium kuat dari kemejanya. “Bukan itu, Mas. Sungguh, kamu tidak bersalah dan aku mengerti, sangat mengerti,” jawab Rejana.

Awalnya Prasetyo hanya berniat mengecup dahi Rejana, tetapi entah mengapa ia malah mendaratkan kecupan lembut yang berakhir lumayan kasar di bibir istrinya.

Dengan lembut Rejana mendorong bahu Prasetyo yang kontan melepaskan pagutan bibir mereka. “Kamu bau, Mas. Aku tidak suka bau rumah sakit,” protesnya.

Prasetyo tertawa kemudian menjawil ujung hidung Rejana hingga istrinya mengaduh. “Baiklah Nyonya Prasetyo, aku mandi dulu, setelah itu kamu tidak bisa menghindar lagi dariku,” timpalnya.

Rejana tersenyum. “Kamu sudah makan siang? Aku masak sebentar ya?” tanyanya yang kembali mengalungkan tangan ke leher suaminya.

Prasetyo tersenyum kemudian menggigit gemas ujung hidung Rejana dan tetap berakhir dengan lumayan semakin kasar di bibirnya.

“Ah, Mas. Nanti saja. Aku lapar, ayo, mandi dan makan dulu,” elak Rejana lagi.

Prasetyo melepaskan dekapannya dari panggul Rejana lalu tanpa banyak protes pergi meninggalkan istrinya.

Rejana tersenyum kemudian memindahkan tas kerja Prasetyo dari tempat tidur ke meja. Sejenak ia menatap tas hitam itu. Berkali-kali Rejana bergumam, “Betapa aku beruntung mendapatkan kamu, Mas.”

***

Telur balado, tumis kangkung serta goreng tempe sudah tersaji di meja makan. Prasetyo tidak pernah protes dengan masakan sederhana buatan Rejana.

Prasetyo turun dengan mengenakan kaus putih juga celana pendek santai sedengkul kemudian duduk di sebelah istrinya.

Sesekali mereka saling menyuapi atau melemparkan canda mesra khas pengantin baru.

Tidak mau munafik. Bila dibandingkan dengan Brandon, perlakuan mesra Prasetyo pada Rejana memang masih kalah jauh, tetapi Rejana berulang kali berucap bahwa suaminya ribuan kali lebih baik dari si Brengsek itu.

Selepas makan siang lalu membereskan peralatan makan yang kotor, keduanya tampak bergelung sembari menonton televisi di ruang tengah.

“Malam nanti, kamu jaga lagi, Mas?” tanya Rejana.

Prasetyo mengetatkan dekapannya. “Tidak, jadwal jagaku ditukar jadi minggu depan,” jawabnya, “memang kenapa?” tanyanya penasaran.

Rejana menyusupkan kepalanya di antara lengan Prasetyo. “Aku tidur ditemani guling terus,” protesnya.

Prasetyo menyelipkan tangannya ke balik kaus Rejana, diusapnya lembut punggung mulus istrinya. “Maaf. Seharusnya aku lebih perhatian sama kamu,”

Rejana menggeleng lalu memindahkan tangan Prasetyo ke perutnya. “Mungkin, junior kita bisa menemani aku,” godanya sembari menyusuri tulang indah yang membentuk wajah Prasetyo.

Prasetyo tersenyum kemudian mulai menyusuri wajah istrinya dengan kecupan lembut hingga ke leher. Tanpa sadar dan entah siapa yang memulai.

Keduanya mulai saling meloloskan pakaian hingga tidak ada lagi sehelai benang pun yang menutupi mereka.

Rejana menahan geleyar yang memenuhi dirinya ketika Prasetyo mulai memasuki bagian paling istimewa dalam dirinya.

Sesaat mata mereka bertemu. Wajah Rejana bersemu, tidak biasanya ia mau saling menatap ketika sedang bercinta, tetapi kali ini, dengan penuh kelembutan ia kembali menuntun kepala Prasetyo untuk terus membelainya.

Setiap gerakan yang dipimpin Rejana semakin membuat wanita itu tak terkendali. Cucuran peluh yang membasahi keduanya menjadi kenikmatan tersendiri yang sulit untuk diuraikan dengan kata.

Rejana menarik-narik tubuh Prasetyo hingga memaksa lelaki itu untuk sejenak berhenti lalu melepaskan diri dari Rejana hingga membuat istrinya itu sedikit kecewa.

“Nanti bisa jatuh,” bisik Prasetyo.

Rejana coba bangkit dengan wajah yang terlebih dahulu merah, menyadari bahwa permainan mereka memang tidak berada di kamarnya.

Prasetyo tersenyum kemudian merengkuh kaki jenjang Rejana. Membopongnya ke kamar tidur dengan lumatan tak kunjung putus hingga ia merebahkan istrinya ke pembaringan.

Kali ini Prasetyo membiarkan Rejana memimpin permainan. Ia menarik lengan istrinya hingga berada di atas tubuh telanjangnya.

“Kamu, milikku,” bisik Prasetyo.

Rejana memejamkan mata. Harmoni yang diciptakan keduanya mulai semakin intens dan cepat. Desahan pelan itu semakin menggila. Rejana mencengkeram lengan Prasetyo.

“Iya, sedikit lagi, Sayang, ayo, Brandon, ayo!”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel