Bab 5 Tamparan
Bab 5 Tamparan
Adam kembali mencondongkan tubuhnya ke arah Brandon. “Jadi, bagaimana?” tanyanya penasaran.
Brandon mengeluarkan sebatang rokok kemudian memantik ujungnya. Kepulan asap tipis menyembul di sela bibir Brandon.
“Dia sudah gila dan putus asa,” jawab Brandon diplomatis.
Adam kembali merengkuh dirinya dari pandangan Brandon lalu menyesap jus jeruk yang telah dipesannya. “Ya, wajar juga kalau kamu yang dipilih Mia. Lihat kamu, hampir memiliki nilai sempurna di mata wanita,” puji Adam.
Kepulan asap dari sela bibir Brandon kian menebal. Senyumannya yang mampu menaklukkan ratusan gadis terukir sempurna. “Susah ya, jadi sempurna itu,” selorohnya.
Adam memukul pelan lengan Brandon. “Lalu, apa yang akan kamu lakukan bila anak yang dikandung Mia adalah milik kamu?” tanyanya lagi.
Kali ini tawa renyah Brandon terlepas. Ia yakin tidak akan melibatkan dirinya dalam dugaan gila Mia. Wanita sinting itu pasti memiliki masalah dengan lelaki lain dan Brandon tidak sudi untuk menjadikan dirinya sebagai keset.
“Aku saja tidak ingat dia siapa? Bahkan, aku tidak tahu kalau ternyata dia adalah salah satu mahasiswiku yang punya nilai buruk,” timpal Brandon.
“Dia tidak akan senekat itu kalau memang dugaannya kuat, 'kan? Lagi pula, anak-anak zaman sekarang kadang menghalalkan segala cara dan tidak mau pusing kalau nilainya jelek,” tambah Adam.
Brandon terdiam. Memang tak jarang mahasiswinya rela menukarkan kehormatan demi satu nilai sempurna. Hal itu kembali membayangi Brandon. Apakah memang benar ia telah tidur dengan Mia?
“Aku belum pernah mendengar kasus seperti ini sebelumnya. Kita harus benar-benar memikirkan kompensasi saling menguntungkan untuk dua belah pihak. Mia dan universitas,” lanjut Adam.
“Kamu bicara seperti itu, menandakan akan ada tersangka dalam kasus ini,” protes Brandon.
Adam menyenggol lengan Brandon. “Tentu saja, harus ada korban dan tersangka. Setelah itu baru penyelesaian masalah,” lanjutnya
Brandon kembali diam. Tentu saja tidak akan ada yang bisa membelanya bila tuduhan Mia terbukti. Karier serta reputasinya bisa hancur. Terlebih bila ada mahasiswi lain yang ikut terprovokasi melaporkan kegiatannya selama ini. Padahal semua kenikmatan itu terjadi tanpa pernah ada paksaan sedikit pun.
Mata Brandon mengamati mobil merah yang baru saja masuk ke pelataran parkir. Senyumnya mengembang sempurna. Kali ini ia akan sedikit bisa bersenang-senang.
Rejana melepaskan seat belt kemudian keluar dari mobil. Jadwal padat suaminya juga dirinya sendiri yang belum memiliki kegiatan untuk mengisi rutinitas terkadang membuatnya mudah merasa bosan.
Setelah memesan soft drink, Rejana kembali membuka ponsel; memeriksa pesan, tetapi dari sekian chat yang masuk tidak ada balasan dari Prasetyo.
Kembali melepaskan napas kasar, Rejana menatap ke sembarang arah. Akhir-akhir ini wajah Brandon sering datang ke mimpinya.
Mungkin, ini karena si Mantan itu menghubunginya lalu mengatakan hal kurang ajar.
“Berengsek,” cicit Rejana.
Rejana tidak mau munafik. Ia memang mencintai Brandon, bahkan menyerahkan segalanya untuk lelaki itu juga sempat merangkai mimpi melabuhkan hidup di pundaknya.
Namun, Rejana tidak tahan dengan sikapnya yang selalu menganggap enteng hubungan mereka, terlebih dengan wanita-wanita muda ... mahasiswinya yang selalu ada di sekitar Brandon.
Brandon Tung. Lelaki yang nyaris sempurna itu terlalu angkuh, bahkan cenderung menatap rendah wanita yang ada di sampingnya.
Pramusaji yang meletakkan pesanan Rejana sempat mundur selangkah karena mendengar umpatan yang keluar dari bibir mungil pelanggannya.
“Terima kasih, Mbak,” ucap Rejana yang kemudian membasahi kerongkongannya dengan sirup jeruk bercampur soda.
Sekali lagi ia meraih ponselnya lalu mengirim ulang beberapa pesan untuk Prasetyo. Sempat kecewa karena walaupun status ponsel suaminya itu online, tetapi Rejana tidak kunjung mendapatkan balasan dari Prasetyo.
“Lama tidak berjumpa.”
Punggung Rejana menegak. Ia tahu betul siapa pemilik suara itu. Ya, Tuhan, mengapa dari sekian banyak kafe, ia harus bertemu dengannya di sini.
Tidak mendapatkan balasan, Brandon bergerak ke arah depan Rejana kemudian menarik kursi; duduk di depannya.
“Apa kabar?” tanya Brandon.
Rejana memutar bola matanya. Sungguh tidak menanggapi Brandon, tetapi ia tahu kalau lelaki itu tidak akan pergi tanpa kata pengusiran yang jelas.
“Pergilah! Jangan ganggu aku!” marahnya.
Brandon hanya tersenyum dan sialnya, senyuman itu masih menggelitik hati Rejana. “Baru delapan bulan kita berpisah, tapi kamu semakin cantik saja,” pujinya.
Siapa wanita yang tidak suka dipuji? Pipi Rejana bersemu merah dan Brandon agak terkejut melihat ekspresi mantan kekasihnya itu.
“Jadi, apa suamimu itu lebih baik dari aku?” tanyanya lebih pelan.
Mau tidak mau, kali ini Rejana menatap Brandon. “Apa maksud kamu?”
“Aku tidak bermaksud apa-apa. Hanya saja, apa dia tahu kalau istrinya ini, bukanlah seseorang yang mempertahankan semuanya untuk calon suaminya kelak,” sindirnya.
Rejana menepis tangan Brandon yang kurang ajar membelai pipinya. “Jangan sentuh aku!” marahnya.
Ujung alis Brandon bertemu. “Bukankah, kamu selalu menyukai jemariku? Atau, mungkin merindukan bagian yang lain? Apa kamu masih ingat malam pertama kita? Kamu tidak berhenti meneriakkan namaku,” bisik Brandon.
Rejana bangkit, tanpa aba-aba menyiram soft drink miliknya ke wajah Brandon hingga lelaki itu pun ikut bangkit.
“Kurang ajar! Aku menyesal! Aku menyesal pernah mengenal kamu!” makinya sembari menyeka air mata kemudian pergi tanpa menoleh Brandon lagi.
Adam yang sedari tadi memperhatikan mereka dari jauh akhirnya mendekat lalu memberikan sapu tangan miliknya ke Brandon.
“Kamu tidak apa-apa? Rejana, bisa-bisanya dia melakukan ini sama kamu,” tutur Adam.
Brandon menyeka wajahnya kemudian tersenyum. “Dia masih mencintai aku, masih,” gumamnya.