Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Keadilan yang Dipertanyakan

Bab 4 Keadilan yang Dipertanyakan

Mia cukup terkejut karena mendapatkan panggilan resmi untuk sekali lagi bermusyawarah dengan pihak kampus.

Langkahnya sempat terhenti ketika Adam keluar dari ruang Dekan. Sekilas mereka bertatapan. Mia agak sungkan ketika dosen bahasa Inggris itu semakin dekat dengannya.

“Kamu Mia Hanafiah?” tanyanya dengan nada datar.

“Iya, Pak,” jawab Mia sekadarnya.

Adam membetulkan letak kacamatanya lalu menatap lekat-lekat Mia, seakan pandangan itu menelanjangi dirinya.

“Di mana orang tua kamu? Bukankah kami memanggil serta orang tua kamu?” tanyanya lagi.

Mia menggigit bibirnya kemudian memberanikan diri menatap Adam sekali lagi.

“Orang tua saya ada di Semarang, Pak. Saya di sini tinggal di kos putri,” jawabnya.

“Oh, tapi mengingat masalah ini bukan hal sepele, seharusnya mereka tetap datang ke kampus. Kamu sadar dengan tuduhan kamu, 'kan?” sindirnya.

Mia kepayahan menelan ludah lalu menyeka peluh yang bercucuran di dahi.

“Iya, Pak dan saya akan perjuangkan hal ini,” jawab Mia dengan tegas.

“Termasuk drop out dari kampus?” tanyanya lagi.

Mia tertegun. Melihat reaksi Mia yang diam, Adam semakin mencurigai mahasiswi itu.

"Kenapa? Belum berpikiran sejauh itu? Dengar, lupakan ini. Kalau kamu ada masalah dengan mahasiswa lain, mungkin kami bisa bantu untuk mediasi masalah di antara kalian,” tuturnya lagi.

“Kalau itu terjadi ... saya pergi dari kampus ini dengan kepala terangkat karena si Pengecut itu juga akan ikut bersama saya!” tantangnya.

Adam menggaruk dagunya yang ditumbuhi janggut tipis. Jujur saja, ia menyukai nyali gadis ini atau sebenarnya sikap nekatnya akan disesali kemudian hari.

“Memangnya kamu yakin?” tanya Adam lagi.

“Kalau saya tidak yakin, untuk apa saya ada di sini, Pak. Bisa saja saya kembali berbuat dosa dengan mengugurkan kandungan saya!”

Adam menarik napas dalam-dalam. “Ya sudah, kamu masuk saja dahulu. Sepertinya Bapak Brandon masih ada kelas, saya permisi dulu,” pamitnya.

Mia mengetatkan pegangannya di tali ransel. Ia sudah memikirkan ini sedari awal akan meminta pertanggungjawaban dosen itu.

Kesalahannya tidak boleh terulang. Apa pun yang terjadi, janin ini akan ia pertahankan dan bila memang harus pergi serta memupuskan mimpinya, maka dosen itu pun harus merasakan hal yang sama.

Ketika memutar palka pintu, Mia berusaha menghapus kegetirannya. Sekarang di ruangan itu bukan hanya ada Dedi selaku Dekan, tetapi juga ada Hesti Wiranata selaku asisten Rektor serta Anggara sebagai perwakilan dari kemahasiswaan.

Dedi memberikan isyarat pada Mia untuk duduk di salah satu kursi kosong kemudian ia meraih berkas yang ditinggalkan Adam lalu membagikannya pada setiap orang yang hadir, kecuali Mia.

Menatap semua mata yang terfokus pada lembaran kertas juga sesekali beralih pandang pada Mia, membuat mahasiswi itu agak ketakutan.

“Mia Hanafiah, mahasiswi jurusan ekonomi semester lima. Asal dari Semarang. Apa orang tuamu akan datang hari ini?” tanya Dedi.

“Mereka tidak datang, Pak. Saya ingin meluruskan masalah ini terlebih dahulu, baru setelah itu, saya dan Pak Brandon akan ke Semarang,” jawabnya percaya diri.

Hesti yang terkenal dengan sikap arogansinya terlebih dengan rumor bahwa dia memiliki satu perasaan pada Brandon tampak sudah siap dengan berondongan pertanyaan.

“Justru karena masalah ini begitu serius, seharusnya kamu membawa orang tuamu ke hadapan kami! Terlebih bila berita ini sampai terendus pihak luar! Saya tahu Bapak Brandon itu adalah dosen yang paling dekat dengan mahasiswi dan mahasiswanya, tetapi bukan berarti kamu bisa menuduh dia dengan begitu kejam!” murkanya.

“Sabar dulu, Ibu Hes, kita di sini ingin memusyawarahkan jalan terbaik dengan keadilan yang sama, baik dari pihak Bapak Brandon ataupun Mia sendiri,” bujuk Anggara.

“Kasus ini tidak masuk akal! Bagaimana mungkin seorang dosen memiliki affair dengan mahasiswinya!” lanjut Hesti.

Dedi memijat pelipisnya. Sebenarnya ia tidak ingin melibatkan banyak pihak, tetapi ternyata gosip ini terlalu cepat berembus kencang di kampus.

“Saya tidak mengada-ada! Saya bukan orang gila yang mau menjatuhkan nama orang lain hanya karena urusan pribadi!” tantang Mia.

Bagaikan tersulut dan memang merasa ditantang, Hesti menggebrak meja. “Kurang ajar! Kamu menantang saya? Terlebih kamu menuduh Bapak Brandon tanpa bukti!” murkanya.

“Sudah, kita tidak akan membicarakan masalah ini dengan emosi! Mia, Ibu Hesti benar, mengingat masalah ini sangat besar. Mau tidak mau kamu harus membawa orang tuamu ke kampus,” desak Dedi.

Mia mengigit bibirnya lebih erat. Tentu saja ia ingin membicarakan masalah ini nanti. Sebenarnya Mia tidak akan menuntut apa pun dari Brandon selain pertanggungjawaban sebagai seorang ayah dari bayi yang dikandungnya.

“Mia, setelah Bapak Brandon datang, kamu bisa menjelaskan tentang bagaimana kejadian itu bisa terjadi,” lanjut Anggara.

“Kejadian itu? Sudah jelas-jelas kalau dia ini berbohong! Dia hanya ingin memeras serta melimpahkan tanggung jawab pada Bapak Brandon yang memang sangat peduli terhadap mahasiswa, mahasiswinya!” sergah Hesti berapi-api.

Dedi melepaskan punggungnya dari bantalan kursi. “Tenang dulu, Kita harus mendengarkan dari semua sisi. Sebentar lagi Bapak Brandon datang. Kita harus menyelesaikan masalah ini dengan kepala dingin,” lanjutnya.

Suara derit pintu yang terbuka memutus percakapan mereka. Brandon merapikan ujung kemejanya lalu duduk dengan wajah penuh percaya diri.

Mia yang sedari tadi sudah merasa posisinya tersudut, semakin hilang percaya diri. Namun, bukan berarti Brandon bisa menundanya tanpa perlawanan.

“Saya kira akan ada orang lain,” ujar Brandon dengan ujung matanya melirik Mia.

Dedi berdeham kemudian mencondongkan tubuhnya ke arah Mia. “Syukurlah, Bapak Brandon memiliki pemikiran yang sama. Mia, kami akan menjadwalkan ulang pertemuan ini, tapi orang tuamu harus datang. Kami tidak ingin masalah ini berlarut-larut,” ujarnya.

“Sudah cukup, ini jelas sekali. Bapak Brandon hanya sedang coba dijatuhkan dengan rumor tidak bermoral seperti ini. Pembicaraan ini seharusnya sudah menemukan titik sepakat! Toh, dia sendiri tidak bisa menunjukkan bukti selain bungkus kosong kondom itu!” hardik Hesti sembari menunjuk-nunjuk Mia.

Kali ini Brandon sudah merasa di atas awan. Hesti pasti akan membantunya dan sepertinya Brandon akan mempertimbangkan untuk mencicipi sedikit permainan perawan tua itu.

“Sedari awal, kita duduk di sini untuk mendengarkan argumen dari kedua belah pihak. Kita tidak bisa menyimpulkan dari sisi bukti Mia yang kurang kuat,” ujar Anggara.

Brandon mengalihkan pandangannya pada pria berusia empat puluh dua tahun itu. Ya, tugasnya adalah penengah antara mahasiswa dan universitas juga mengurus kemahasiswaan. Wajar bila Anggara akan sedikit berpihak pada Mia.

“Bapak Brandon telah setuju untuk mengirimkan sample untuk pengujian DNA dari janin yang dikandung Mia,” tutur Dedi.

“Halah, saya masih tidak percaya. Coba kamu ceritakan, bagaimana bisa kalian bertemu selain di kampus?” tanya Hesti.

Kali ini Mia menegakkan kepala. Ia ingat dengan jelas bagaimana bisa berakhir di kamar hotel bersama dengan Brandon dan ini adalah kesalahan terbodoh dalam hidupnya.

“Waktu itu, beberapa bulan yang lalu, saya kirim pesan ke dia kalau minta tugas tambahan karena nilai ujian akhir saya masih kurang atau minta untuk remidial,” terang Mia.

“Oh, jadi motifnya nilai?” potong Hesti.

“Sabar dahulu, Bu. Mia, coba lanjutnya,” titah Dedi.

“Ya, saya diminta Pak Brandon untuk datang ke salah satu bar di kawasan Kemang, Pak,” aku Mia.

“Berarti pesan itu ada?” tanya Anggara.

Mia cepat-cepat mengeluarkan ponselnya kemudian memperlihatkan pesan yang memang dikirim oleh Brandon.

Dedi meraih ponsel itu. “Mia tidak berbohong, ini memang nomor Pak Brandon,” tuturnya.

Sial, batin Brandon.

“Pak, Bapak bisa jelaskan ini, 'kan? Dia pasti bohong, 'kan?” desak Hesti.

Brandon sama sekali tidak mengingat pesan itu. Ia juga tidak ingat mengapa saat itu dirinya berada di bar.

“Ya, itu nomor saya. Malam itu saya memang merayakan pertemuan dengan teman lama saya yang berkunjung ke Indonesia,” tutur Brandon berbohong.

Mia diam, seingatnya saat ia sampai ke bar, Brandon memang tengah mengobrol dengan beberapa orang, hanya saja ia sendiri tidak yakin dengan itu.

“Bahkan saya tidak pernah bertemu dengan mahasiswi ini di bar tersebut. Setelah bercakap-cakap, saya langsung pulang karena jadwal mengajar saya padat di pagi hari,” tukas Brandon.

“Nah, 'kan, saya kenal betul dengan Bapak Brandon, dia tidak.mungkin melakukan hal sebejat itu,” bela Hesti.

Anggara dan Dedi diam, sementara Brandon melebarkan senyumnya.

“Coba, kamu ingat-ingat lagi, lelaki mana yang sudah menghamili kamu. Jangan kamu libatkan saya dalam akal bulusmu ini,” tambah Brandon.

Mia bangkit lalu menyusut air matanya. “Dia bohong! Saya berani bersumpah kalau anak ini adalah miliknya dan saya akan buktikan itu!” jeritnya kemudian keluar dari ruangan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel