Bab 3 Mantan
Bab 3 Mantan
Rejana membuka mata karena tidak merasakan tubuh suaminya ada di sebelah Rejana. Walaupun masih membiasakan diri untuk membagi tempat tidur. Rejana selalu merasa takut bila bangun tanpa merasakan kehadiran suaminya di sisi.
Menikah seminggu yang lalu. Seharusnya saat ini Rejana bersama Prasetyo sedang berada di Lombok untuk berbulan madu. Akan tetapi, jadwal padat Prasetyo sebagai dokter muda di salah satu rumah sakit bergengsi Jakarta memaksa mereka untuk menunda semuanya.
Rejana mengusap wajahnya beberapa kali lalu berjalan menuju kamar mandi.
“Mas Pras, kamu ada di kamar mandi?” tanya Rejana sembari mengetuk pintu.
Tidak ada respon dari dalam. Rejana memutuskan membuka pintu dan dugaannya benar. Prasetyo tidak ada di sana.
Sekali lagi ia memeriksa sekitar tempat tidur. Tidak mungkin Prasetyo pergi tanpa meninggalkan pesan.
Suaminya itu lebih suka meninggalkan pesan dengan kertas, menurutnya itu lebih berkesan ketimbang mengirim pesan lewat ponsel.
Jadi, di mana kertas itu?
Secarik kertas di nakas menarik perhatian Rejana. Wanita itu tersenyum kala membaca isi dari kertas itu.
‘Aku dapat telepon dari rumah sakit. Ada dokter yang tidak bisa datang untuk jaga. Aku tidak tega bangunkan kamu. Maaf, ya? Telepon aku kalau kamu sudah bangun. Love you,'
“Love you too,” bisik Rejana lalu melipat kertas itu menjadi dua dan memasukkannya ke laci.
Inilah yang ia suka dari suaminya. Walaupun sibuk dan sulit menghabiskan waktu bersama, tetapi Prasetyo masih menyempatkan diri untuk memberikan kabar.
Terkadang ia memang khawatir karena menerima pinangan Prasetyo secara cepat. Padahal lelaki itu baru saja dikenalnya.
Malah terkadang Rejana juga khawatir ia menera Prasetyo karena ingin melarikan diri dari kisahnya bersama Brandon.
Rejana kembali duduk di tepian ranjang. Bila ingat hubungannya dengan Brandon. Mood Rejana seketika hancur.
Ia memang mencintai Brandon, tetapi sifatnya yang tidak pernah mau mencoba untuk setiap tidak sanggup Rejana tolerir lagi.
Terlebih, Rejana memang tidak melihat adanya keseriusan yang ditunjukkan Brandon untuk masa depan hubungan mereka.
“Ah, sudahlah! Memikirkan Brandon hanya membuatku sebal!” gumamnya yang kemudian masuk ke kamar mandi.
***
Untung saja pagi ini Brandon tidak memiliki jadwal mengajar. Jujur saja, ia masih kesal karena ulah Mia kemarin.
Walaupun tidak terdengar dengan jelas, Brandon yakin, dirinya sudah menjadi bahan gosip di kalangan dosen juga mahasiswa.
Sial, kalau seperti ini akan sulit baginya untuk mencari bunga yang baru.
Baru saja Brandon hendak mutar Palka pintu ruangannya, panggilan dari Adam menghentikan langkahnya.
Lelaki itu tampak terengah-engah mendekati Brandon. “Aku baru dengar cerita lengkapnya dari Pak Dedi. Apa benar?” selidik Adam.
Ujung alis Brandon bertemu. “Pak Dedi cerita sama kamu? Seharusnya beliau tidak cerita masalah ini ke siapa pun!” ujarnya menahan emosi.
“Bukannya begitu, tadi Pak Dedi minta berkas tentang mahasiswi bernama Mia Hanafiah, begitu,” bela Adam.
“Ya, bukan berarti dia harus cerita soal ini. Kepalaku sakit! Bisa-bisanya wanita itu mengaku-ngaku!” marah Brandon.
Adam menepuk pundak Brandon dua kali. “Tenang saja, kalau memang tidak bersalah, kamu bisa membersihkan nama kamu secepatnya dan gosip ini juga hanya akan bertahan paling lama seminggu, sabar saja,” hiburnya kemudian pergi meninggalkan Brandon.
Brandon tahu kalau tujuan Adam adalah baik. Akan tetapi, kalimat itu malah membuat Brandon jadi tidak percaya diri.
Bagaimana bila memang terbukti kalau itu adalah anaknya? Ah, Brandon belum siap untuk mengikat diri dengan aturan pernikahan membosankan.
“Semua ini gara-gara Rejana!” desisnya.
Ya, wanita itu yang membuat Brandon pergi ke bar dan mungkin berakhir di tempat tidur dengan wanita yang mirip dengan Mia.
Setelah putus dari Brandon dengan alasan tidak tahan karena terus diselingkuhi, nyatanya tak lama Rejana malah menikah dengan lelaki lain.
Pasti, pasti itu hanya akal-akalan Rejana saja. Wanita itu juga berselingkuh darinya.
“Sial!”
Brandon merogoh ponsel dari saku. Walaupun ia telah menghapus nomor Rejana dari ponsel, tetapi Brandon hafal benar nomor-nomor sialan itu.
Cukup terkejut karena ternyata nomornya tidak diblokir oleh si Mantan, Brandon kembali terkejut karena akhirnya Rejana mau menerima panggilan telepon darinya.
“Mau ngapain kamu telepon aku lagi?” tanya Rejana dengan nada tinggi di ujung sambungan.
Brandon tertawa pelan. “Aku kadang merindukan kamu,” akunya.
Rejana sempat terdiam beberapa detik sampai suara tingginya kembali terdengar. “Kamu tidak perlu menggombal! Aku sudah punya suami! Jangan ganggu aku lagi!”
“Oh, ya, aku lupa. Kamu tidak perlu marah seperti itu. Aku hanya ingin mengucapkan selamat sama kamu dan maaf karena kemarin tidak sempat datang ke pernikahan kalian,” ucap Brandon lagi.
“Aku tidak mengharapkan kehadiran kamu juga dan malah seingatku, aku tidak mengundang kamu. Jangan ganggu aku lagi!”
“Kadang aku rindu suara kamu. Oh, ya, aku dengar kamu menikah dengan dokter. Biasanya dokter selalu sibuk. Apa kita bisa sering-sering bertemu?”
“Apa maksud kamu?”
Brandon menggaruk-garuk ujung hidungnya. “Ya, bagaimana kalau aku ikut menabung benih di rahim kamu? Setelah kamu menikah, tentu kita bisa jadi leluasa bukan?” solorohnya.
Darah Rejana mendidih hingga ke ubun-ubun. “Kamu keterlaluan! Aku tidak mau kamu mengganggu rumah tangga aku! Aku menyesal pernah menjalin satu hubungan sama kamu! Pergilah ke neraka! Jangan pernah hubungi aku lagi! Bajingan!” jerit Rejana.
Belum sempat Brandon membalas, Rejana telah terlebih dahulu memutuskan panggilan dan ketika Brandon coba menghubunginya kembali, kali ini wanita itu sudah memblokir nomor ponselnya.
“Sialan. Sok suci!” desis Brandon yang kemudian kembali memasukkan ponsel ke dalam saku.
Pagi ini kejutan untuk Brandon belum juga selesai. Napasnya hampir putus kala ia melihat Mia Hanafiah sudah duduk manis di kursi kerjanya.
“Lancang! Beraninya kamu duduk di situ!” marah Brandon.
Mia bangkit lalu tersenyum, tanpa ragu mendekati Brandon. “Aku cuma duduk di kursi kebanggaan kamu dan sebentar lagi kamu akan kehilangan kursi itu!” balas Mia.
“Kamu keterlaluan! Sudah memfitnah saya, sekarang kamu berani masuk ke ruangan ini tanpa izin!” murka Brandon.
Mia kembali tersenyum. “Kamu jangan terlalu percaya diri. Aku juga menyesal, sangat menyesal karena mau terlibat sesuatu dengan lelaki bajingan seperti kamu! Jadi, aku yang ke berapa?” sinisnya.
“Kamu tidak berhak ikut campur dalam hubungan pribadi saya! Saya yakin kamu hanya ingin menghancurkan karier saya dengan berita yang tidak masuk akal! Berhentilah sebelum kamu sendiri menyesal!”
“Menyesal? Justru aku akan sangat menyesal bila kamu tidak ikut bertanggung jawab akan bayi ini! Aku tidak akan menyerah!”
Brandon mengambil dompet dari dalam saku celana lalu mengeluarkan semua uang ratusan ribu yang ada di dompetnya.
Mia sempat tertegun ketika Brandon melemparkan uang itu ke wajahnya hingga jatuh berhamburan.
“Itu yang kamu mau, 'kan? Berapa bayaranmu? Apa malam itu kamu merasa uang yang aku berikan kurang? Berapa yang kamu inginkan?” bentaknya.
Mia tercenung, matanya turun menatap uang yang berceceran di kakinya. Meskipun ia sendiri bersalah, tetapi Mia bukanlah wanita penjaja kenikmatan sesaat.
Brandon tersenyum ketika Mia tiba-tiba berjongkok lalu memunguti uang-uang itu.
“Seharusnya dari kemarin kamu tidak berbelit-belit! Katakan saja nominalnya dan berapa nomor rekeningmu? Aku akan berikan uang yang kamu inginkan!”
Mia berdiri, matanya merah menahan amarah dan dengan pasti air matanya mulai jatuh bercucuran.
“Ini, penghinaan ini! Aku akan memastikan suatu saat nanti kamu akan merasa hina dan tidak berharap untuk hidup lagi!” ancam Mia yang kemudian balas melempar uang-uang itu ke wajah Brandon.
“Sial!” jerit Brandon dengan cepat menangkap tangan Mia yang sudah melayang di udara, tentunya target dari wanita itu adalah pipinya.
“Lepaskan aku!” jerit Mia.
“Kamu tidak akan semudah itu pergi dari masalah ini! Aku akan memastikan kamu akan dikeluarkan dari kampus! Namamu akan menjadi salah satu hal yang menjijikkan untuk disebut!” ancam Brandon.
Brandon melepaskan tangan Mia ketika wanita itu meludah tepat mengenai wajah Brandon. “Aku tidak akan pernah takut! Aku bersumpah tidak akan melepaskan kamu!” balasnya.