Bab 13 Jalan Buntu
Bab 13 Jalan Buntu
Anggia dan Mia ke rumah sakit dengan mengendarai motor kesayangannya. Jalanan cukup lengang, tidak terlalu ramai seperti di pagi hari saat orang- orang sibuk pergi ke sekolah atau berangkat kerja. Dengan kecepatan standar dia melajukan motornya, menyusuri jalanan kota, mengarah pada rumah sakit umum yang akan mereka tuju, tempat di mana Prasetyo bekerja.
Rumah sakit umum ini bukanlah rumah sakit umum biasa melainkan rumah sakit umum yang sangat bergengsi di Jakarta. Bukan hanya dari fasilitasnya saja tetapi dari segi pelayanannya juga bagus kepada pasien. Tak heran bila rumah sakit ini menjadi salah satu rumah sakit yang banyak diminati orang. Beruntung sekali Prasetyo bisa bekerja di sana.
Setibanya di pelataran parkir, Anggia dan Mia turun dari motor. Setelah memarkirkan motor itu, kami berdua masuk ke dalam rumah sakit. Pada resepsionis di rumah sakit ini Anggia bertanya di mana ruangannya dokter Prasetyo. Resepsionis itu menunjukkan arahnya dan mereka berdua pun pergi ke sana.
Keduanya menyusuri koridor di rumah sakit ini hingga tiba pada ruangan Prasetyo, tempat di mana dia menerima pasien. Segera Anggita mendaftar pada perawat yang bertugas di sana. Setelah menerima nomor antrean, Anggia dan Mia menunggu di kursi panjang di samping ruangan itu. Untungnya pasien Prasetyo hari itu tidak terlalu banyak sehingga mereka tidak terlalu lama menunggu. Tak berselang lama nomor antrean pun di panggil. Anggia memutar palka pintu, masuk ke ruangan Prasetyo dengan diiringi Mia. Tampak Prasetyo tersenyum melihat kedatangan keduanya.
“ Silakan duduk Anggia!” perintah Prasetyo padaku.
Anggia dan Mia pun duduk. Lantas, Prasetyo menanyakan ada masalah apa sehingga aku datang berkonsultasi padanya. Dan mulailah cerita perihal Mia pada Prasetyo, menanyakan bisa tidaknya janin yang dikandungnya itu dilakukan tes DNA. Prasetyo menanggapi bahwa tes DNA hanya bisa dilakukan pada bayi yang sudah lahir saja. Untuk janin sepertinya tidak bisa kecuali janin itu berusia tujuh atau delapan bulan karena pada usia begitu janin sudah berbentuk bayi. Atau bisa juga dengan mengambil sample darah dari kedua orang tua sang jabang bayi.
“Maaf Anggia untuk kasus adikmu ini, aku tidak bisa membantu karena janinnya baru berusia tiga Minggu. Itu sangat kecil sekali dan janin itu belum berbentuk bayi. Sangat sulit untuk mengambil sampel darahnya, kecuali kalau janin itu sudah terbentuk atau kalau kamu bisa membawa calon ayahnya untuk tes darah itu lebih baik,” tegas Prasetyo padaku.
"Tapi, bagaimana caranya aku bisa membawa laki-laki itu untuk melakukan tes darah?"
“Hanya itu satu-satunya cara jika ingin mengetahui hasinya secepat mungkin tanpa harus menunggu si bayi lahir,” tanya Prasetyo.
“Aku butuh hasil tes itu Prasetyo, aku ingin membuktikan bahwa anak yang dikandung adikku ini benar anaknya Brandon si brengsek itu,” sungut Anggia dengan tegas.
“Siapa, Brandon? “ tanya Prasetyo, rasanya nama itu tidak asing baginya. Bukankah Rejana istrinya menyebut nama itu juga saat mereka bercinta.
"Siapa sebenarnya Brandon ini pikir Prasetyo, mengapa seakan- akan dia banyak menggauli banyak wanita," ujar batin Prasetyo. Rasa penasarannya mulai menghinggapi dirinya.
“Sebenarnya siapa Brandon itu Mia, apakah dia itu pacarmu?” tanya Prasetyo pada Mia.
“Dia bukan siapa-siapa, dia dosen di kampus tempat aku kuliah,” tegas Mia pada Prasetyo.
“Oh...., hanya seorang dosen, saya kira itu pacarmu tadi. Kok bisa kalian melakukan itu, bagaimana ceritanya?” tanya Prasetyo.
“Panjang ceritanya Pras,” ujar Anggia, dan mulailah Anggia menceritakan bagaimana hal itu bisa terjadi. Prasetyo mendengarkan cerita itu. Dari raut mukanya dia tampak geram.
“Jadi begitu ceritanya, sayang sekali aku tidak bisa membantu banyak,” ujar Prasetyo.
Usaha untuk melakukan tes DNA ternyata menemui jalan buntu. Harapan untuk mendapatkan bukti pupus sudah. Jika tes DNA tidak dapat dilakukan maka dia harus mencari bukti kuat yang lainnya. "Aku harus bisa mencari bukti itu," ujar Anggia menyemangati dirinya sendiri.
Setelah selesai berkonsultasi dengan Prasetyo, keduanya meninggalkan rumah sakit itu. Di dalam pikirannya Anggia berkecamuk pertanyaan-pertanyaan bagaimana caranya mendapatkan bukti yang kuat untuk membuktikan kalau itu anaknya Brandon. Rasanya sulit sekali, namun dia harus mendapatkannya, entah bagaimana pun caranya.
***
Setelah bertengkar dengan suaminya beberapa hari kemarin, Rejana merasa rumah tangganya tidak lagi harmonis seperti sebelumnya. Sikap dingin yang ditunjukkan Prasetyo membuatnya kesal. Bagaimana tidak, Prasetyo kini mengabaikannya begitu saja. Berbicara pun seperlunya dan terkadang nada bicaranya kaku. Tidak ada lagi kehangatan yang ia dapatkan bahkan untuk mencium keningnya saja suaminya tak mau lagi. Padahal hal ini sering dilakukan suaminya saat akan berangkat kerja.
"Huh..., Mas Prasetyo sungguh terlalu, membiarkanku dalam masalah ini sendirian," sungut Rejana kesal.
Rejana diliputi rasa bersalah yang teramat dalam. Ia menyesal telah menyebut nama Brandon saat bercinta dengan suaminya. "Andaikan aku tidak menyebut nama itu, mungkin keadaannya tidak seperti sekarang ini," batinnya.
"Sial... kenapa si brengsek itu terus saja menghantuinya. Mengapa aku terkadang suka mengingat Brandon, mungkinkah aku merindukannya?"
"Tidak, aku sudah bersuami sekarang, tak pantas rasanya bila aku terus memikirkannya," gumam Renjana lelah.
Seperti biasanya, memasak menjadi rutinitas kerjanya di rumah. Meski tak begitu pandai memasak namun Rejana selalu belajar untuk memanjakan lidah suaminya. Bukankah kata orang- orang dahulu untuk menarik perhatian dan cinta suami berawal dari masakan. Selain dari masakan, bisa juga dengan memanjakannya di atas tempat tidur.
Sore ini Renjana akan memasak oseng jagung muda touge dan sambal udang pete kesukaan Prasetyo. "Semoga mas Prasetyo suka dengan masakanku ini." Semoga ini menjadi jalan pembuka bagi dirinya untuk berdamai dengan suaminya.
Jam menunjukkan pukul enam sore namun suaminya belum juga pulang. "Ke mana mas Prasetyo jam segini belum pulang," pikir Rejana. Sebentar lagi waktunya magrib tapi Prasetyo belum tiba di rumah. Tak biasanya Prasetyo terlambat pulang ke rumah, biasanya jam lima sore dia sudah ada di rumah. Rejana tampak cemas kalau-kalau terjadi sesuatu di jalan, namun kecemasan itu hilang saat dia mendengar salam dari suaminya. Bergegas ia membukakan pintu, tampak di depannya sosok suaminya berdiri di depan pintu.
“Baru pulang Mas?”
“Iya,” jawabnya dingin.
“Sebentar lagi magrib Mas, lekas mandi lalu kita sholat magrib berjamaah!” perintahku padanya.
“Iya aku tahu, sebaiknya kamu tunggu aku di mushola di ruang tengah. Sebentar lagi aku juga selesai mandi,” ujar Mas Prasetyo padaku.
Renjana menurut saja apa yang di perintahkan suaminya, berjalan ke mushola di ruang tengah. Tak berapa lama Mas Prasetyo muncul dari dalam kamar, tampak dia memakai sarung dan peci putih. Sungguh dia adalah imam yang baik, perasaan berdosa pun menyergap batinnya karena telah membohongi Prasetyo selama ini, menyembunyikan masa lalunya bersama Brandon.