Bab 12 Rencana Anggia
Bab12 Rencana Anggia
“Untung saja,” pikir Anggia. Kalau Mbak di sampingnya tadi sampai tersinggung bisa runyam urusannya. Bisa-bisa dia dilaporkan ke pengawas supermarket. Apalagi orang-orang sekarang mudah sekali tersinggung, masalah kecil saja bisa jadi besar. Mungkin hidup di kota metropolitan yang keras yang membuat orang cepat tersinggung.
Dengan cepat Anggia berlalu dari rak susu ke rak mie instan dan makanan kaleng. Ia ingin membeli beberapa mie goreng , kwetiau dan sarden. Gajinya sebagai guru honor di sekolah dasar tidaklah terlalu besar, meskipun begitu Anggia tetap bersyukur ia bisa sedikit menabung dari hasil mengajarnya. Setidaknya dia bisa sedikit membantu adiknya membiayai kuliah walaupun kenyataannya Mia masih meminta uang pada orang tua mereka di Semarang.
Anggia melihat arlojinya, sudah pukul lima. “Aku harus segera pulang, kasihan kalau Mia ditinggal sendirian di kosan,” pikirnya menerawang.
Anggia berjalan cepat sambil sedikit berlari. Karena terburu- buru, Anggia menabrak laki-laki di depannya. Serta merta keranjang dan isinya jatuh berhamburan di lantai. Dengan sigap Anggia dan laki-laki itu memunguti barang belanjaan itu. Sembari berkata, “Maaf Mas, saya tidak sengaja tadi, saya terburu-buru!” ujar Anggia pada laki-laki itu.
“Oh, tidak apa-apa, Mbak. Mungkin saya juga yang salah tidak melihat, Mbak,” kata laki- laki itu seraya memasukkan barang belanjaan yang berhamburan itu ke dalam keranjang Anggia.
Anggia mengangkat kepalanya dan menatap laki- laki itu. Suara itu rasanya tidak asing terdengar di telinganya. Rasanya suara itu sangat familiar sekali. Anggia menatap lekat laki- laki itu, tahi lalat di ujung bibir dan kacamata itu tidak asing baginya. Dia mencoba mengingat, tidak salah lagi pikirnya, ini pasti Prasetyo temannya semasa SMA di Semarang dulu. Mereka berpisah saat menginjak bangku kuliah. Prasetyo memilih kuliah kedokteran di Jakarta dan Anggia kuliah di Semarang.
“Prasetyo... kamu Prasetyo? Ini aku, Anggia. Masih ingat kan?”
“Anggia... ya ampun Anggia ... tidak menyangka kita bisa ketemu di sini. Kamu apa kabar?” tanya Prasetyo.
“Baik, seperti yang kamu lihat.”
“Sudah lama sekali kita tidak bertemu, semenjak aku memutuskan untuk kuliah di Jakarta. Kamu beda ya sekarang Anggia, agak berisi dan cantik, tidak seperti waktu SMA yang kurus dan sedikit hitam,” katanya sembari tertawa.
“Jangan membahas soal itu. Itu sudah berlalu,” kata Anggia menimpali.
“Oiya, kamu kerja di mana sekarang, sudah jadi dokter kan ya?”
“Alhamdulillah sudah, sekarang aku bertugas di rumah sakit umum,” katanya dengan tersenyum.
“Oh, syukurlah kalau begitu. Kalau boleh tahu kamu jadi dokter apa sekarang?” tanya Anggia pada Prasetyo.
“Spesialis kandungan, kalau butuh konsultasi atau ada apa-apa, hubungi saja aku ya?” tukas Prasetyo mantap.
“Wah kebetulan sekali, aku mau konsultasi mengenai adikku,” balasnya dengan cepat pada.
“Boleh, temui saja aku besok siang dan ini kartu namaku, di sana ada nomer telpon dan juga alamat rumahku,” sembari Prasetyo memberikan kartu nama itu padaku.
“Iya, besok aku akan ke rumah sakit menemuimu. Oh iya, sudah sore ini, aku mau pulang dulu ya, kasihan adikku di tinggal sendiri.”
“Iya, silakan.”
Dengan cepat Anggia berlalu dari Prasetyo menuju kasir untuk membayar barang belanjaan itu. Setelah membayar, dia pun pergi dari tempat itu. Dengan sedikit mengebut Anggia membawa motor menyusuri jalanan, menuju jalan pulang ke kosan.
***
Di lain pihak, Brandon sangat gelisah akan kata-kata Mia. Ia takut Mia bisa membuktikan kalau janin yang dikandungnya itu adalah anaknya. “Sial...,” sungutnya. “Bisa-bisanya Mia menuduhku, kalau ini terbukti maka karierku sebagai dosen bisa terancam.”
Padahal selama ini, dia bermain aman dan tidak ada satu pun dari mahasiswi yang ditidurinya melaporkan perbuatan bejatnya. Selain itu ia tidak lupa memakai kondom saat melakukan perbuatan yang terlarang itu. Tapi mengapa Mia bisa hamil dengannya, apakah kondom itu terbuka saat mereka melakukan perbuatan terkutuk itu?
Dia ingat betul di malam itu, ia pergi ke bar untuk bersenang-senang. Mencoba melupakan Rejana yang meninggalkannya dan memilih menikah dengan laki- laki lain. Ia belum bisa melupakan Rejana begitu saja, untuk itulah ia melampiaskan kekecewaan dan hasratnya pada Mia. Seorang mahasiswi yang kebetulan meminta remidial atas hasil ulangannya yang buruk. Ia meminta Mia menemuinya di bar, sekedar menemaninya minum. Namun karena terlalu banyak minum, ia mabuk dan akhirnya Brandon meminta Mia mengantarnya ke apartemen miliknya.
Brandon mabuk berat sehingga ia merayu Mia agar mau menemaninya tidur malam itu, ia berjanji pada Mia akan memberikan nilai yang bagus jika bersedia tidur dengannya. Entah setan apa yang menghampiri Mia sehingga dia mau saja saat tangan Brandon menyentuh tubuhnya, membelai rambutnya, mencium bibirnya, lehernya, mengelus pinggulnya sampai ke titik paling intim miliknya.
Belaian serta rangkulan Brandon yang hangat membuat Mia lupa diri, bukannya menolak tapi dia sendiri malah menikmati permainan panas itu. Keduanya dimabuk asmara, Brandon berhasil membuat Mia melayang di awan menikmati setiap sentuhan yang diberikannya. Bahkan ciuman hangat di bibir Mia, dibalas Mia dengan lembut, seolah tak mau di lepaskan. Keduanya bermain dengan penuh gairah, terlebih Brandon yang sudah piawai dalam bermain cinta sehingga dia berhasil menuntun Mia menuju puncak tertinggi dalam permainan panas itu.
Kepiawaian Brandon mencicipi banyak wanita tidak diragukan lagi, baginya mudah saja untuk menaklukkan Mia. Ia hapal betul di titik mana sentuhannya bisa membuat wanita melayang dan tentunya wanita itu tidak bisa menolak sentuhan yang memabukkan itu. Sungguh ia sangat puas malam itu, ia merasakan tubuh Mia seperti Rejana. Seolah-olah ia bercinta dengan Rejana sungguhan. Ia tidak sadar kondom yang di pakainya terbuka. Itulah yang membuat jejak sperma pada alat kelaminnya Mia. Jejak sperma itulah yang kini menjadi benih di rahim Mia dan tentu saja itu adalah anaknya.
***
Pagi berganti siang, Anggia ingat bahwa hari ini dia ada janji konsultasi dengan Prasetyo, menyangkut bisa tidaknya janin yang dikandung Mia di tes DNA. Segera ia menelpon Mia adiknya, menanyakan keberadaannya sekarang.
“ Halo, Mia. Kamu sudah pulang kuliah belum?” tanya Anggia.
“Iya, halo Mbak. Ini aku sudah di kosan kok, udah pulang dari tadi!” ujar Mia.
“Ya sudah, kamu siap-siap ya. Mbak akan bawa kamu ke rumah sakit untuk konsultasi mengenai bisa tidaknya janin kamu di tes DNA. Kebetulan dokternya si Prasetyo teman Mbak waktu SMA dulu. Seperempat jam lagi Mbak sampai di sana, kamu tunggu Mbak ya. Nanti kita pergi sama-sama!” ucap Anggia di telpon.
“ Iya Mbak, Mia tunggu di sini!” jawab Mia
Bergegas Anggia mengemasi tas serta buku-buku mengajarnya. Dia keluar dari ruang guru menuju koridor depan, melewati beberapa kelas hingga tiba di parkiran motor di halaman gedung sekolah. Jadwal mengajarnya sudah selesai dan hari ini tidak ada jadwal mengajar les privat. Dengan perlahan dia melajukan motornya meninggalkan gedung sekolah menuju kosannya.
Tak berapa lama ia sudah sampai di depan pintu gerbang kosannya. Menaiki tangga menuju lantai empat tempat mereka tinggal. Setibanya ia di depan kosannya, tampak Mia sudah berdiri di sana dan terlihat rapi. Mungkin dia sudah lama bersiap-siap.
“Jadi pergi kan Mbak?” tanya Mia padaku.
“Iya dek, tapi Mbak mau ganti baju dulu. Tidak enak pakai baju mengajar begini!” jawabku pada Mia.
“Iya, Mia tunggu Mbak,” ujar Mia