Bab 11 Solusi
Bab 11 Solusi
Anggia benar-benar tidak bisa tidur, karena memikirkan nasib adik kesayangannya dan orang tuanya.
*****
Setelah pikiran Brandon tenang, rasa kantuk Brandon mulai datang. Brandon memutuskan untuk pulang. Sesampainya di rumah, Brandon mondar-mandir. Memang, seperti itulah Brandon jika ada masalah. Ia akan berjalan mondar-mandir sambil berpikir.
Brandon mencoba untuk menghubungi rekanannya satu per satu melalui telepon berkali-kali. Tetapi, tidak ada yang mengangkat teleponnya. Mulai dari analis lab, pengacara, dokter, detektif, hakim, jaksa, dan orang-orang lainnya yang akan membelanya.
Brandon memang punya semua nomor itu, karena masalah seperti ini memang sering terjadi dalam hidup Brandon dulu. Dulu, ia adalah seorang dosen terbang di universitas yang ia ajar saat ini.
Bukan hanya dosen terbang, ia juga adalah seorang dosen undangan yang dipinta untuk mengajar di universitas itu. Karena, ia terkenal sangat cerdas di bidang yang ia tekuni sampai sekarang. Namun, reputasinya hancur setelah kabar itu merebak. Jika dia telah menghamili salah satu mahasiswinya.
Brandon marah lagi, karena semua kontak yang ia hubungi tidak ada yang mengangkat. Akhirnya dia memutuskan untuk mengirimkan pesan kepada mereka dan akan mengecek balasan pesan itu besok hari.
Ia berencana bahwa, pagi-pagi sekali ia akan melakukan hal itu semua. Tetapi, naas ia tidak bisa memejamkan matanya. Karena itu, dirinya memilih untuk bekerja dulu sambil menunggu rasa kantuknya kembali datang. Tetapi, sampai jam dua belas malam, rasa kantuk Brandon belum datang juga.
Brandon mengambil dua pil obat penenang untuk membuatnya tertidur dengan lelap. Tetapi, tidurnya hanya sementara. Ia kembali dibangunkan pukul lima pagi dikarenakan ada suara telepon dari Zela. Brandon langsung mengangkat telepon itu.
“Halo, Sayang! Bagaimana kemarin? Enak tidak?” tanya Zela dengan penuh desahan kepada Brandon.
“Bodoh! Aku masih mengantuk. Kamu malah menghubungiku! Sial! Semalam aku tidak bisa tidur. Sekarang, aku baru tidur sebentar dan kamu malah membangunkanku dengan teleponmu yang berdesah itu!” marah Brandon kepada Zela.
“Maafkan aku, Sayang! Aku tidak tahu, kalau kamu memang benar-benar tidak tidur semalam. Ada masalah apa? Kamu bisa sama aku!” rayu Zela kepada Brandon dengan mendesah.
“Cerita! Cerita! Kamu harus berkaca. Kamu itu siapa! Aku itu siapa! Ingat, ya! Aku tidak akan menceritakan masalahku kepada sembarang orang,” marah Brandon kepada Zela.
“Maaf, Sayang!” ucap Zela meminta maaf lagi kepada Brandon. Setelah itu, telepon dimatikan oleh Zela, karena Zela merasa tidak enak dengan Brandon. Baru saja telepon mati, ponselnya berdering kembali.
“Halo, Brandon!” ucap Hesti kepada Brandon.
“Iya, Hes,” ucap Brandon dengan ketus kepada Hesti.
“Kamu ketus seklai? Kenapa?” tanya Hesti kepada Brandon.
“Kamu tahu sendirilah kenapa aku seperti ini!” kata Brandon kepada Hesti.
“Masalah apa?” tanya Hesti kepada Brandon.
“Itu, loh, si Mia Hanifah itu!” marah Brandon kepada Hesti.
“Oh. Si Mia itu,” kata Hesti kepada Brandon lagi.
“Iya. Si Mia itu mengaku-aku punya anak dariku. Aku tidak pernah berhubungan dengannya,” kata Brandon kepada Hesti berbohong.
“Tidak pernah? Apa kamu yakin?"
“Memang benar seperti itu, Hes,” kata Brandon kepada Hesti dengan emosi.
“Kamu mengaku sajalah, Brandon. Kamu tidak usah banyak berbohong. Maksud aku meneleponmu ini...,” kata Hesti yang langsung dipotong oleh Brandon, karena Brandon sangat panik.
“Apa yang ingin kamu katakan sebenarnya, Hes!” ucap Brandon kepada Hesti dengan emosi.
“Kenapa emosi? Kamu tenang saja! Kita cari jalan penyelesaian masalahnya bersama-sama. Tenang saja! Aku pasti akan membantumu,” kata Hesti kepada Brandon.
“Terima kasih, Hes! Aku tidak menyangka bahwa, kamu akan membantuku. Aku kira setelah kita putus, kamu tidak akan menolongku lagi,” kata Brandon kepada Hesti.
“Tidak apa-apa. Itu adalah kewajibanku. Ngomong-ngomong, bukankah kamu punya orang yang bisa membantu menyelesaikan masalah seperti biasanya? Ini bukan pertama kalinya kamu menghadapi masalah seperti ini,” kata Hesti kepada Brandon dengan mendesah.
“Itulah masalahnya sekarang, Hesti! Mereka tidak bisa aku hubungi dari tadi malam,” marah Brandon kepada Hesti dengan emosi.
“Aku bisa membantumu, jika kamu mau. Tetapi, ada satu syarat,” kata Hesti kepada Brandon.
“Apa?” tanya Brandon kepada Hesti.
“Panggil aku ‘Sayang’ setiap kita sedang berdua-duaan seperti ini! Lalu, prioritaskan aku jika aku menginginkan malam-malam bersamamu,” ucap Hesti mengajukan syarat.
“Kalau itu saja, aku sanggup!” kata Brandon kepada Hesti. Setelah itu, telepon dimatikan Hesti.
Hesti tidak menyia-nyiakan waktu yang ada. Dia harus bisa memegang kendali atas diri Brandon. Bagaimanapun, Brandon adalah laki-laki yang dia impikan menjadi pasangannya, meski laki-laki itu tidak pernah melihat akan keberadaannya.
Mengingat semua perlakuan yang Brandon berikan kepadanya, Hesti segera saja memutar otaknya untuk bisa membuat Brandon tunduk kepadanya. Dan tiba-tiba saja sebuah ide melintas di kepalanya. Setelah itu, dia mulai membuat poin-poin penting akan perjanjian yang dia lakukan bersama dengan Brandon. Setelah selesai, surat perjanjian itu ditandatangani oleh Hesti dan Brandon melalui online.
Setelah itu, Hesti mengirimkan beberapa kontak kepada Brandon. Baru saja kontak itu sampai kepada Brandon, Brandon telah menerima jawaban pesan dari orang-orang yang ia hubungi tadi malam.
“Sial! Kenapa, sih, akhir-akhir ini aku selalu sial? Sudah si Mia menuntut pertanggungjawaban anak dariku, Zela menghubungiku tadi pagi, dan aku yang menandatangani perjanjian dengan Hesti. Ah! Rasanya, hari-hariku penuh dengan kesialan!” marah Brandon kepada dirinya sendiri.
Setelah itu, Brandon membaca pesan dari orang-orang yang ia hubungi tadi malam satu per satu. Alangkah terkejutnya Brandon! Begitu ia mengetahui bahwa, mereka meminta tarif yang mahal kepada Brandon demi membela Brandon dalam kasus itu.
“Sial! Uang dari mana aku? Sudah aku tidak menjadi pekerja di perusahaanku dulu! Aku cuman dosen dengan gaji rendah di universitas ini. Sekarang? Aku dimintai uang banyak. Bagaimana caranya? Gila!” keluh Brandon kepada dirinya sendiri.
Brandon mencoba untuk menego, tetapi tawaran Brandon ditolak. Mereka justru mengejek Brandon miskin.
Brandon tidak putus semangat di situ. Brandon yakin, pasti ada orang yang mau menolongnya. Karena itu, Brandon masih mencoba cara lain.
Brandon menghubungi orang kepercayaan Hesti satu per satu. Mereka langsung menjawab dengan permintaan tarif yang jauh lebih besar daripada orang kepercayaannya.
“Sial! Semuanya minta dibayar mahal. Tidak ada yang mau dibayar murah. Bagaimana aku? Matilah aku!” ucap Brandon bersungut-sungut kepada dirinya sendiri.
Tepat waktunya Brandon selesai bersungut, Hesti menghubunginya.
“Ada apa, Sayang?” tanya Hesti kepada Brandon.
“Pas sekali waktunya kamu telepon, Sayang. Mungkin, kamu adalah orang yang dikirim oleh Tuhan untuk menolongku. Ini, Sayang. Boleh aku pinjam uang dulu untuk bayar biaya uang tutup mereka agar aku menang dan kita bisa terus bersenang-senang, Sayang?” tanya Brandon kembali kepada Hesti.
“Boleh saja. Asal nanti malam, kamu melayaniku di kamarku, ya! Aku merindukan malam-malam denganmu,” pinta Hesti kepada Brandon.
“Tetapi, uangnya kamu transfer dulu,” pinta Brandon kepada Hesti.