Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Pupur Cleopatra

Dosa Masa Lalu

Part 5

***

Begitu sampai di rumah, pada keesokan harinya, saat akan berangkat kerja, aku segera memoles wajahku terlebih dahulu dengan pupur cleopatra pemberian dari Jeng Murti.

Aku lalu berdiri dan mematut diri di depan cermin, dan aku merasa sangat puas melihat wajahku di cermin. Aku merasa wajahku terlihat menjadi semakin cantik setelah memakai pupur cleopatra pemberian dari Jeng Murti itu. Senyuman tersungging di bibirku. Dokter Hilan pasti akan semakin tergila-gila padaku, aku membatin, seraya mengusap kedua pipiku.

Tak berselang lama, terdengar suara klakson mobil di depan rumah. Itu pasti dokter Hilan yang datang untuk menjemputku. Aku tersenyum dalam hati, tak sabar rasanya aku ingin melihat reaksinya.

Namun, aku begitu terkejut saat membuka pintu depan mobil itu. Ada Misno, supir pribadi dokter Hilan duduk di belakang kemudi. Aku lalu melihat ke jok belakang, ada dokter Hilan sedang duduk di sana.

"Ayo naik, Yang. Kok malah bengong,' kata dokter Hilan sambil membuka pintu belakang.

Aku lalu naik dan duduk di samping dokter Hilan. Tak jadi di depan karena ada Misno.

Dalam perjalanan menuju ke puskesmas, aku tak banyak bicara. Aku hanya mendengarkan obrolan antara dokter Hilan dan Misno.

Begitu sampai di puskesmas, aku langsung menuju ke ruang KIA. Ada rasa sebal dalam hati. Batal deh aku membuat dokter Hilan terpesona padaku, aku menggerutu dalam hati.

"Yang, kenapa mukanya judes banget gitu?" tanya dokter Hilan yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu ruangan KIA, saat sudah tak ada lagi kunjungan pasien. Jam di dinding telah menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Sebentar lagi waktu jam pulang kerja selesai.

Aku diam saja, sambil memandang dokter Hilan sekilas. Aku masih sibuk merapikan beberapa buah buku kohort yang ada di atas meja. Dokter Hilan tersenyum, dia lalu duduk di depanku, dengan berbatas meja tulis.

"Aku memang sengaja ngajak Misno hari ini. Nggak bawa mobil ambulans. Biar ibunya Evan nggak tahu, kalau hari ini kita pergi berdua," katanya sambil mencolek hidungku.

Aku memandangnya, tak begitu paham dengan apa yang dia katakan. Lagi-lagi dokter Hilan tersenyum melihat aku tampak bingung.

"Nanti pulang kerja, aku mau ajak kamu cek in ke hotel. Makanya hari ini aku bawa Misno. Nanti aku akan suruh dia untuk ngantar kita sampai ke hotel, terus pulang," kata dokter Hilan menjelaskan.

"Terus Misno nanti di mana?" tanyaku masih bingung.

"Ya terserah dia aja mau ke mana. Nanti kalau kita sudah mau pulang, baru aku suruh dia untuk jemput kita lagi."

"Apa nanti dia nggak akan laporan ke Ibu?" tanyaku khawatir.

"Kalau itu sih beres. Dia kan sudah lama jadi supirku. Dia orangnya setia kok. Jadi kamu nggak usah khawatir ya."

Aku manggut-manggut sembari tersenyum mendengar penjelasan dokter Hilan. Rupanya seperti itu cara dokter Hilan membohongi istrinya, aku membatin. Sesaat aku merasa kasihan pada Bu Mira. Namun, perasaan itu segera kutepiskan. Masa bodo-lah, yang penting aku bisa selalu bersama dengan dokter Hilan.

Begitu jam kantor selesai, kami, aku, dokter Hilan dan Misno, segera menuju ke arah luar kota. Lalu kami berdua cek in di sebuah hotel. Sementara Misno langsung pergi begitu selesai mengantarkan aku dan dokter Hilan.

Kami lalu mengulangi apa yang pernah kami lakukan sebelumnya, melakukan hubungan suami istri. Berulang kali. Hingga malam hari.

"Aku sedih kalau harus pisah sama kamu, Yang," kata dokter Hilan sambil memeluk tubuhku dengan erat, begitu kami akan pulang.

"Kita kan bisa selalu ketemu kapan saja," kataku sambil menatap wajahnya. Dalam hati aku tersenyum, dan merasa sangat puas dengan hasil kerja Jeng Murti. Semua itu pasti karena pengaruh pupur cleopatra, batinku.

Untuk beberapa saat aku dan dokter Hilan larut dalam diam. Sambil masih saling berpelukan. Sampai akhirnya pintu kamar diketuk oleh seseorang. Perlahan Dokter Hilan melepaskan pelukannya dan berjalan menuju ke arah pintu. Ada Misno sedang berdiri di sana, begitu pintu terbuka.

Kami lalu menuju mobil yang diparkir Misno di depan pintu kamar hotel yang kami tempati.

"Kita cari makan dulu, Mis," titah dokter Hilan pada Misno, sesaat setelah mobil berjalan meninggalkan halaman hotel.

"Di mana, Pak?" tanya Misno.

"Kamu mau makan apa, Yang?" tanya dokter Hilan padaku.

Sejenak aku berpikir. Ada beberapa jenis makanan yang tak boleh aku makan, pesan Jeng Murti kemarin. Jika aku melanggar pantangan tersebut, maka pelet pengasihan yang melekat pada tubuhku akan luntur, bahkan mungkin akan hilang sama sekali. Agar aman makan di restoran siap saji saja, pikirku. Daripada ribet pilih-pilih menu.

"Aku ingin makan di KFC saja, Yang," jawabku seraya tersenyum.

Maka, Misno pun mengendarai mobil menuju ke sebuah gerai KFC dan kami makan di sana.

Tiba-tiba telepon genggam dokter Hilan berdering, ketika kami sedang asik makan. Dia lalu mengangkatnya, setelah memberitahu agar aku diam dengan menaruh jari telunjuknya di mulut. Dari 'POLDA' katanya.

Aku tersenyum sembari mengangguk. Dia selalu memakai istilah itu untuk memanggil Bu Mira, istrinya. Awalnya aku bingung, kenapa sering sekali dokter Hilan bilang ada telepon dari POLDA tapi setelah aku dengarkan percakapannya ternyata dia sedang berbicara dengan istrinya. Karena merasa penasaran, aku lalu bertanya, siapa POLDA. Rupanya itu istilah yang dokter Hilan pakai untuk memanggil istrinya, singkatan dari polisi dapur.

Dalam percakapan dengan Bu Mira, aku mendengar dokter Hilan bilang kalau dia masih ada di jalan, jika Bu Mira mau tidur, tidur duluan saja, tak perlu menunggu. Karena entah pukul berapa dia akan sampai di rumah. Aku melirik ke arah Misno. Lelaki itu diam saja, wajahnya datar dan tampak biasa saja. Mungkin dia sudah sering melihat hal seperti itu, ketika Dokter Hilan sedang berbohong pada Bu Mira. Entahlah.

"Memangnya kamu mau ke mana setelah ini, kok nggak langsung pulang, Yang?" tanyaku, setelah dokter Hilan selesai menelepon.

"Aku mau jalan-jalan dulu. Suntuk di rumah. Toh masih jam sembilan, belum malam banget," jawab dokter Hilan santai.

Benar saja, selesai kami makan, dokter Hilan tak langsung mengantar aku pulang. Kami jalan-jalan tak tentu arah tujuan. Ketika melewati sebuah pasar malam, dokter Hilan menyuruh Misno untuk menghentikan mobilnya. Seperti anak kecil, aku dan dokter Hilan lalu naik bermacam mainan yang ada di pasar malam tersebut. Orang yang tak mengenal kami, pasti mengira kalau kami adalah sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta. Mereka pasti tak akan mengira, kalau dokter Hilan adalah pimpinan puskesmas dan aku perempuan selingkuhannya.

***

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel