Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Diinterogasi

Dosa Masa Lalu

Part 6

***

Sampai di rumah, ayah dan ibu sudah menungguku. Mereka berdua sedang duduk di ruang tamu. Nyaliku merasa ciut tentu saja.

"Duduk dulu, Nduk. Ada yang ingin Ayah dan Ibumu bicarakan," titah ayah, begitu aku membuka pintu dan masuk. Lembut, tapi mampu membuatku merasa sangat takut. Mungkin karena aku merasa mempunyai sebuah kesalahan.

Tanpa banyak bicara, aku lalu duduk di sebelah ibu. Aku melihat ayah menarik napas dalam, seakan ada sebuah beban yang menghimpit dadanya.

"Belakangan ini, Ayah dan Ibumu perhatikan, kamu jadi sering pulang malam. Memangnya kamu main ke mana, Nduk? Kamu pergi sama siapa?" tanya ayah, setelah beberapa saat. Matanya tajam menatapku.

Aku diam saja. Perasaan takut menyelimuti. Aku menundukan muka, tak berani untuk membalas tatapan ayah yang terasa begitu menghujam sampai ke jantung.

"Jawab saja pertanyaan Ayah kamu itu, Nduk. Kamu nggak usah takut. Ayah sama Ibu cuma ingin tahu, kamu pergi ke mana dan sama siapa. Sebab selama ini, kami nggak pernah lihat kamu pergi malam hari, apalagi sampai larut. Sebagai orang tua, tentu Ayah sama Ibu punya rasa khawatir, Nduk. Kamu adalah anak kami satu-satunya. Gimana kalau terjadi sesuatu sama kamu," kata ibu dengan suara lembut, sambil memegang tanganku.

Lama aku bergeming. Ingin sekali aku berbohong pada kedua orang tuaku, dengan mengatakan kalau aku pergi bersama teman kerja. Tapi tentu saja ayah dan ibu tak akan percaya begitu saja pada ucapanku. Karena selama ini aku memang anak 'rumahan' yang tak pernah keluar malam, seperti kata ibu barusan.

"Ayo, Nduk. Bilang terus terang saja pada kami. Kamu tadi baru pergi sama siapa?" tanya ayah untuk kali yang kedua.

"Dian tadi pergi sama dokter Hilan, Yah," jawabku akhirnya dengan terbata dan suara lirih. Aku semakin menunduk, tak berani menatap wajah ayah ataupun ibu. Aku betul-betul merasa sangat takut. Aku sudah membayangkan ayah dan ibu akan memarahiku.

Ibu menghela napas dalam.

"Memangnya kalian berdua pergi ke mana, dari siang sampai malam begini baru pulang?" tanya ibu mulai menyelidik. Nada bicaranya agak curiga.

"Apa kamu cuma berdua saja dengan dokter Hilan?" tanya ibu lagi, sebelum aku sempat menjawab pertanyaan beliau yang pertama.

"Nggak kok, Bu. Kami pergi bertiga, sama Misno, supirnya dokter Hilan. Kami pergi cuma jalan-jalan saja," jawabku sambil memandang wajah ibu.

Untunglah saat ayah dan ibu bertanya, kami memang pergi bertiga dengan Misno, jadi aku tak berbohong. Namun, untuk mengatakan hal sebenarnya yang telah aku dan dokter Hilan lakukan di dalam kamar hotel, tentu saja aku tak punya keberanian.

"Jangan kamu ulangi lagi, Nduk. Nggak baik anak gadis pergi malam hari. Apalagi sama suami orang. Walaupun kamu pergi nggak cuma berdua dengan dokter Hilan, tapi tetap saja kurang baik dilihat orang," kata ibu seraya menepuk-nepuk tanganku.

Aku mengangguk. "Iya, Bu. Dian nggak akan mengulanginya lagi."

"Ya sudah, sekarang kamu pergi tidur sana, sudah malam," titah ayah.

Tanpa banyak bicara lagi, aku bergegas masuk ke dalam kamar dan langsung mengunci pintunya. Lega sekali rasanya, ayah dan ibu tak mencecarku dengan bermacam pertanyaan. Aku pasti tak akan bisa berbohong kalau mereka berdua terus bertanya sampai detail tentang kepergianku bersama dokter Hilan.

***

"Yang, aku nggak bisa pergi malam lagi. Tadi malam ayah sama ibu udah tanya macam-macam karena aku sudah sering pergi dan pulang malam hari." Aku memberitahu saat dokter Hilan datang menjemput pada keesokan harinya.

Dia memegang tanganku. "Iya, Yang. No problem," katanya santai seraya tersenyum.

Mobil pun melaju meninggalkan halaman depan rumahku. Ketika sampai di depan puskesmas, dokter Hilan tak menghentikan mobilnya. Tentu saja aku merasa heran. Mobil terus melaju ke arah kota.

"Kok nggak berhenti, Yang?" tanyaku sembari menatap dokter Hilan.

"Kan katanya kamu nggak boleh pulang malam lagi sekarang. Jadi kita cek in ke hotelnya siang hari saja," jawabnya sambil terkekeh.

Tentu saja aku merasa sangat senang mendengarnya. Hari itu hari Sabtu, jadi kami memang tidak memakai pakaian seragam dinas. Sesampainya di kota, kami lalu menuju ke sebuah hotel dan cek ini di sana.

Lagi dan lagi, aku dan dokter Hilan mengulangi perbuatan itu. Perbuatan yang seharusnya hanya boleh dilakukan oleh pasangan yang sudah sah sebagai suami istri. Beberapa kali kami melakukannya.

"Yang, ini HP untuk kamu, biar kamu gampang dihubungi," kata dokter Hilan, setelah kami selesai bercinta. Dia memberikan sebuah kotak HP Nokia 3650 dari dalam tasnya. HP yang sangat aku inginkan. Meskipun aku sudah mempunyai telepon genggam, tapi aku memang sengaja tak pernah memberitahu nomor HP-ku pada dokter Hilan. Aku tak mau ketika berada di rumah dia menghubungi aku, sebab ada ayah dan ibu. Mereka berdua pasti akan merasa curiga jika aku sering menerima telepon dari dokter Hilan.

Dengan tersenyum manis aku menerima HP Nokia tersebut. Kucium pipi dokter Hilan. "Makasih ya, Yang," kataku manja seraya memberikan pelukan mesra padanya.

Aku tertawa dalam hati. Ternyata tak perlu bersusah payah untuk meminta sesuatu yang aku inginkan pada dokter Hilan. Pupur cleopatra dari Jeng Murti telah bekerja sendiri dengan sangat sempurna.

Pukul setengah empat sore aku dan dokter Hilan cek out dari hotel, agar sebelum ayah dan ibu pulang dari toko, aku sudah sampai rumah lebih dulu.

"Gimana, Yang. Apa sudah kamu pikirkan soal pernikahan kita?" tanya dokter Hilan, ketika mobil sedang melaju ke arah jalan pulang.

Seharusnya aku menyambut ajakan dokter Hilan itu dengan penuh suka cita. Bukankah selama ini aku ingin selalu bersamanya. Namun entah kenapa, mulutku tak mengatakan 'iya' setiap kali dia bertanya tentang hal itu.

"Kamu kenapa sih, Yang. Setiap kali aku singgung soal pernikahan kita, selalu saja kamu menghindar. Ada saja alasan yang kamu buat," tanya dokter Hilan. Dia terlihat mulai kesal.

Aku diam saja, karena memang sedang tak ingin berdebat. Jangankan dokter Hilan, aku sendiri juga tak tahu kenapa, selalu mencari alasan untuk menjawab permintaannya agar kami segera menikah.

"Yang, apa sih sebenernya yang bikin kamu ragu nikah sama aku?" tanya dokter Hilan. Dia lantas menghentikan mobilnya di pinggir jalan.

Aku menarik napas panjang. Kami saling bertatapan. Mulutku sebetulnya ingin sekali mengatakan 'iya' tapi entahlah.

Dokter Hilan memelukku dengan erat. "Aku nggak ingin kehilangan kamu, Yang," bisiknya di telingaku. Membuatku seakan terbang melayang.

Beberapa saat kami berpelukan. Sudah hilang rasa malu kami. Kami berdua betul-betul telah dimabuk cinta. Cinta yang terlarang.

***

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel