Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Ke Jakarta

Dosa Masa Lalu

Part 7

***

Semakin hari, hubunganku dengan dokter Hilan semakin lengket. Kami berdua seakan tak bisa dipisahkan. Kami sudah tak menutupi lagi hubungan di antara kami. Kini bukan hanya staf Puskesmas Pandan Wangi saja yang mengetahui soal hubunganku dengan dokter Hilan. Tapi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten beserta beberapa orang staf-nya juga sudah mengetahui. Aku dan dokter Hilan sudah tak peduli lagi tentang gosip yang beredar di lingkungan tempat tugas kami.

Setiap kali ada rapat kepala puskesmas di mana pun tempatnya, dokter Hilan selalu mengajak aku untuk ikut bersamanya. Begitu juga saat menghadiri acara rapat kepala puskesmas yang diadakan di kabupaten dan provinsi. Aku selalu ada di samping dokter Hilan.

Hingga suatu hari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten memanggil kami berdua secara terpisah. Aku tak tahu apa yang beliau bicarakan dengan dokter Hilan. Tapi saat memanggilku, Bapak Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten meminta agar aku menjauhi dokter Hilan. Demi untuk menjaga keutuhan rumah tangga dokter Hilan, begitu pesan beliau. Tentu saja hal tersebut hanya masuk di telinga kiri dan keluar di telinga kananku, semua pesan dan nasihat yang beliau berikan padaku.

Setelah aku dan dokter Hilan selesai menghadap Bapak Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten, kami berdua pulang bersama. Di dalam mobil yang kami kendarai, aku dan dokter Hilan tertawa bersama, menertawakan mereka yang merasa tidak senang dengan hubungan terlarang kami. Intinya, kami berdua sudah tak peduli lagi dengan apa yang dikatakan orang lain pada kami. Kami hanya tersenyum mendengar semua yang mereka ucapkan.

***

"Sstt … itu bidan selingkuhan suami Bu Mira."

Terdengar suara beberapa orang ibu sambil berbisik saat aku lewat di depan mereka, ketika kami sedang menghadiri acara rapat PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) di kecamatan, yang rutin diadakan setiap awal bulan. Meskipun mengucapkannya dengan berbisik, tapi aku masih bisa mendengarnya, sebab jarak kami tak terlalu jauh.

"Bidannya cantik ternyata. Pantas saja suami Bu Mira suka sama dia," bisik seorang ibu yang lain

"Cantik kalau merebut suami orang ya bukan perempuan baik-baik namanya," ucap ibu yang lain lagi. Nada suaranya terdengar sinis.

Aku hanya tersenyum mendengar percakapan para ibu itu, dan segera berlalu dari hadapan mereka.

Selama ini aku belum pernah bertemu dengan Bu Mira, istri dokter Hilan. Aku hanya mendengar namanya saja. Itu pun dari mulut Misno yang menyebut nama itu, ketika suatu hari dia bertanya pada dokter Hilan, apakah dia harus menjemput Bu Mira.

Ketika menghadiri acara rapat PKK di kecamatan itulah aku bertemu muka dengan perempuan yang bernama Bu Mira, istri dokter Hilan. Dia duduk bersama dengan para istri dokter yang lain. Saat aku menatapnya, rupanya dia juga sedang menatap ke arahku. Untuk beberapa detik kami saling tatap. Setelah itu, kami berdua membuang muka masing-masing ke arah lain.

"Mbak Dian, apa bisa kita bicara sebentar empat mata?" tanya Bu Mira, ketika acara rapat telah usai. Dia datang menghampiriku.

Sedetik aku memandang Bu Mira yang berdiri di dekatku, dengan penuh tanda tanya. Apa kira-kira yang akan dia bicarakan denganku, gumamku dalam hati.

"Tentu saja bisa, Bu," jawabku sembari mengangguk.

"Sejak tadi saya mendengar tentang gosip yang beredar, antara suami saya dengan Mbak Dian. Apa Mbak Dian yang sudah menceritakan tentang hal itu pada mereka?" tanya Bu Mira sambil menatapku tajam penuh selidik. Wajahnya terlihat sangat judes, tak ada senyum sedikit pun di bibirnya.

Aku mengernyitkan dahi sembari membalas tatapan Bu Mira. Dalam hati aku merasa aneh dengan jalan pikiran perempuan yang sedang berdiri di depanku ini. Untuk apa aku mengedarkan gosip tentang hubungan gelapku dengan suaminya. Bukankah itu sama saja artinya dengan aku membuka aib diri sendiri? Yang ada juga malah aku akan berusaha untuk menutupinya, agar dia tidak tahu tentang perselingkuhan yang terjadi antara aku dengan suaminya.

"Saya minta dengan sangat, agar Mbak Dian nggak mengulanginya lagi," lanjutnya, sebelum aku sempat menjawab pertanyaannya yang pertama dan hilang rasa heranku pada jalan pikiran istri dokter Hilan ini.

Dia kemudian berlalu dari hadapanku. Aku hanya tertegun sambil melongo melihat kepergian Bu Mira.

Benar-benar orang yang aneh. Dia telah menjatuhkan vonis padaku tanpa mendengar hal yang sebenarnya terjadi. Atau memang dia sengaja melakukannya. Entahlah. Yang jelas, dia terlihat sangat bodoh menurutku.

Aku mendengkus. Dasar perempuan bodoh, umpatku dalam hati. Tak lama kemudian, dokter Hilan datang menjemputku dan kami pun pergi ke arah kota.

***

"Yang, besok hari Sabtu sama Minggu kamu ikut ke Jakarta ya," kata dokter Hilan suatu hari. Dia memang sedang melanjutkan kuliah S2 di Universitas Indonesia dan setiap hari Sabtu dan Minggu dia berangkat ke Jakarta.

"Aku gimana minta izin-nya sama orang tuaku?" tanyaku.

"Gampanglah kalau soal itu. Kamu lupa ya kalau aku ini kepala puskesmas?" tanya dokter Hilan. Kami lalu tertawa bersama.

Singkat cerita, aku sudah mendapatkan izin dari ayah dan ibu untuk berangkat ke Jakarta. Dengan memperlihatkan surat tugas untuk mengikuti pelatihan selama tiga hari di sana. Tentu saja surat tugas itu palsu, yang dibuat dan ditandatangani sendiri oleh dokter Hilan.

Hari Jumat sore aku dan dokter Hilan sudah berada di stasiun kereta api, siap berangkat menuju Jakarta. Di dalam kereta, kusandarkan kepala di bahu dokter Hilan, sambil saling bercerita. Sesekali kami tertawa.

Begitu sampai di Jakarta pada keesokan harinya, kami lalu naik taxi menuju ke sebuah hotel yang sudah dipesan terlebih dahulu oleh dokter Hilan. Setelah beristirahat sebentar, dokter Hilan berangkat kuliah dan aku menunggu di dalam kamar hotel.

Sore hari sekitar pukul lima dokter Hilan baru kembali. Dia lalu mandi dan kami bercinta setelah itu. Sampai puas kami melakukannya. Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul delapan malam.

"Keluar yuk, Yang. Kita cari makan," ajaknya. Kami lalu segera berpakaian dan keluar hotel untuk mencari makan.

Tiba-tiba telepon genggam dokter Hilan berdering, ketika kami baru beberapa langkah berjalan meninggalkan halaman hotel.

"Dari polda," katanya padaku. Dia lalu menerima panggilan itu.

Hanya sebentar, tak sampai lima menit. Berbeda sekali saat dia meneleponku, bisa sampai berjam-jam lamanya, padahal seharian kami sudah bertemu.

"Kok cuma sebentar?" tanyaku basa basi.

Dokter Hilan tak menjawab. Dia lalu menggandeng tanganku dan kami berjalan menyusuri trotoar.

Kami menuju tempat makan cepat saji, aku yang memintanya tentu saja. Karena aku khawatir akan salah makan dan mengakibatkan pelet pengasihan yang diberikan Jeng Murti akan luntur. Bisa bahaya.

"Kamu cantik banget, Yang," kata dokter Hilan, saat kami sedang menunggu pesanan kami datang.

Aku tersenyum manja. Kupegang tangannya. "Pacarnya siapa dulu," kataku menggodanya. Kami lalu tertawa bersama.

Sepulang dari makan kami mengobrol sebentar. Setelah itu kami kembali bercinta. Entah berapa kali. Yang pasti kami sama-sama merasa puas dan kelelahan. Sampai akhirnya kami pun tertidur.

***

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel