Menemui Paranormal
Dosa Masa Lalu
Part 4
***
Awal bulan berikutnya, setelah menerima gaji, aku segera pergi ke tempat paranormal yang aku pernah baca iklan-nya di sebuah tabloid nasional. Nama paranormal itu Jeng Murti. Aku benar-benar sudah nekat dan hilang akal. Bayangkan saja, aku yang sebelumnya tak pernah pergi jauh sendiri, demi untuk mendapatkan pelet pengasihan aku jadi berani.
Aku sengaja naik taxi menuju ke tempat praktik paranormal itu. Karena aku memang tidak paham daerah yang akan aku datangi, juga agar bisa sampai di sana lebih cepat.
Ternyata alamat yang tertera di dalam tabloid itu adalah alamat sebuah hotel. Awalnya aku sempat ragu. Masa iya sih ada seorang paranormal yang melakukan praktik di sebuah hotel. Namun, saat aku tanyakan pada satpam hotel, alamat yang dimaksud adalah benar dan paranormal itu memang berpraktik di hotel tersebut. Aku menjadi makin yakin dan percaya diri, kalau usahaku akan berhasil. Yaitu mendapatkan pelet pengasihan untuk dokter Hilan, agar dia selalu mencintai dan menyayangiku.
Aku lalu naik lift menuju ke lantai 3, dimana paranormal itu berpraktik. Setelah sebelumnya diberitahu oleh satpam hotel. Sampai di lantai 3, terlihat sudah banyak orang yang sedang menunggu.
"Mbak, silakan daftar dan ambil nomor antrian dulu," kata seorang laki-laki yang berada di depan pintu kamar no 13, ketika aku baru sampai. Dia memegang beberapa helai kertas, mungkin kartu kunjungan orang yang datang.
Aku lalu mendaftar dan mengambil nomor antrian. Keren juga nih dukun, pelanggannya sampai harus pake nomor antrian. Pasti manjur, aku membatin seraya tersenyum. Terbukti dengan banyaknya orang yang datang berkunjung ke tempat praktiknya.
Sambil menunggu giliran dipanggil, aku tersenyum dalam hati. Membayangkan dokter Hilan akan terus menyayangi dan mencintaiku serta dia tak akan pernah meninggalkan aku. Meskipun aku belum memikirkan soal kelanjutan hubungan kami. Aku hanya ingin dokter Hilan tak meninggalkan aku.
"Mbak sudah sering ya datang ke sini?" tanya seorang perempuan berusia sekitar 30 tahun yang duduk di sebelahku tiba-tiba, membuyarkan lamunan.
"Oh … eh … belum. Baru sekarang. Kalau Mbak sudah berapa kali datang ke sini?" Aku balik bertanya.
"Sudah empat kali ini," jawabnya, membuat mataku membeliak. Ternyata perempuan ini sudah langganan, batinku. Sembari manggut-manggut.
Perempuan itu lalu bercerita kenapa dia selalu datang menemui Jeng Murti untuk meminta bantuan kepadanya. Aku mendengarkan cerita perempuan yang duduk di sebelahku dengan rasa takjub.
Aku semakin yakin akan ilmu yang dimiliki oleh Jeng Murti ini. Kalau memang tidak manjur, kenapa orang berulang kali datang untuk meminta bantuannya.
Setelah hampir dua jam menunggu, nama dan nomor antrianku akhirnya dipanggil oleh lelaki yang tadi menyuruhku untuk mendaftar dn mengambil nomor antrian. Aku lalu masuk ke kamar hotel yang sudah disulap menjadi sebuah kamar praktik. Tampak seorang perempuan setengah baya, berperawakan sedang, tersenyum padaku, begitu pintu terbuka. Dia sedang duduk di depan sebuah meja yang berisi bermacam benda.
Ada sebuah tungku berukuran kecil yang masih mengeluarkan asap, bau dupa seketika menguar membuat sesak di dada. Lalu ada sebuah baskom berisi air dan bermacam bunga. Dan bermacam benda klenik lainnya yang ada di atas meja kerja Jeng Murti.
Kamar hotel yang berukuran sekitar 24 meter persegi, dipenuhi dengan barang-barang berbau mistis. Di salah satu sudut kamar, ada sebuah lemari berukuran sedang dan ditaruh beberapa buah tengkorak kepala manusia di dalamnya. Aku menelan saliva melihat pemandangan yang ada di kamar hotel tersebut.
"Silakan duduk, Nona Cantik," kata perempuan itu menyambutku seraya tersenyum. Mungkin dia tahu kalau aku sedang memperhatikan seisi ruang praktiknya.
Aku pun segera duduk di depan perempuan itu, berbatas sebuah meja. Entah kenapa, tiba-tiba aku merinding. Bulu kuduk di kedua tanganku meremang. Terlebih saat mata kami saling bersitatap, aku melihat perempuan yang ada di depanku itu lebih mirip dengan seekor ular. Aku melihat mukanya bersisik.
Seketika aku bergidik, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangan dari menatap mata perempuan itu.
"Apa yang jadi persoalan kamu, Nona Cantik?" tanya perempuan itu sambil menyunggingkan senyum. Terlihat ada dua buah taring di giginya. Untuk beberapa saat aku terpaku sambil kembali menelan ludah dengan susah payah. Kerongkonganku tiba-tiba menjadi kering. Ada rasa takut menyelinap dalam hati dan menyesal telah datang ke tempat ini. Padahal ketika di luar tadi aku begitu yakin.
"Kamu nggak perlu takut, Nona Cantik. Santai saja. Coba ceritakan apa persoalanmu. Oh … iya, panggil saja aku Jeng Murti," katanya kemudian. Rupanya dia tahu kegelisahanku.
"I … iya, Jeng," jawabku terbata.
Aku lalu menceritakan semua yang telah terjadi dan apa yang aku inginkan. Jeng Murti mendengarkan ceritaku dengan saksama. Dia terkekeh setelah aku selesai bercerita. Membuatku merasa heran tentu saja, apa yang dia tertawakan.
"Itu sih perkara gampang, Nona Cantik. Dijamin laki-laki itu akan bertekuk lutut padamu," kata Jeng Murti sambil terkekeh. Membuat aku merasa senang sekali mendengarnya.
"Kamu cukup memakai bedak ramuanku, pupur cleopatra namanya. Harganya 350 ribu satu kotak. Tapi sebelumnya kamu harus diruwat dulu, agar aura sialmu hilang dan cantikmu makin kelihatan," kata Jeng Murti.
Jeng Murti lalu menyuruhku melepas semua pakaian dan berganti dengan memakai kain jarik yang sudah disediakan. Dia lalu mengguyur seluruh badanku dengan air yang ada dalam gentong tanah liat dengan bermacam bunga di dalamnya. Ada mawar, melati, kantil, dan entah apa lagi. Sambil merapalkan mantra-mantra yang aku tak tahu apa artinya.
Aku bergegas memakai baju kembali saat acara ritual membuang sial dan membuka aura itu selesai. Jeng Murti lalu menyuruhku duduk kembali di tempat semula.
"Kamu harus selalu datang ke sini sebelum bedak ini habis," katanya sambil menunjukkan sebuah kotak kecil. Dia lalu memberitahu cara memakainya, cukup dipakai setiap pagi sebelum aku bertemu dengan dokter Hilan.
"Kamu paham kan, dengan semua yang aku bilang tadi?" tanya Jeng Murti setelah selesai.
"Iya, Jeng. Saya sudah paham. Jadi berapa mahar yang harus saya bayar?" tanyaku.
"Bedak ini 350 ribu, konsultasi dan pendaftaran 200 ribu, ramuan ruwatan 300 ribu. Jadi semua 850 ribu," kata Jeng Murti.
Aku tak merasa kaget, karena memang sudah memperkirakan sebelumnya. Aku membawa uang tiga juta rupiah dari rumah. Uang gajiku selama beberapa bulan.
Aku lalu memberikan uang sejumlah 850 ribu rupiah kepada Jeng Murti. Setelah itu aku pamit pulang. Di pintu luar, masih banyak orang yang menunggu giliran.
Sepanjang perjalanan pulang, aku merasa sangat bahagia. Senyum terus tersungging di bibir. Membayangkan besok dokter Hilan akan semakin menyayangi dan mencintaiku.
***
Bersambung