Cek in
Dosa Masa Lalu
Part 3
***
"Dian, nanti kita pulang bareng lagi ya," kata dokter Hilan yang sudah berdiri di depan pintu ruangan KIA. Dia lalu masuk dan duduk di kursi yang ada di ruanganku. Entah kenapa, dia sudah tak memanggilku dengan sebutan 'Mbak Dian' lagi.
Aku sedang menulis laporan bulanan. Sejenak aku menghentikan pekerjaanku, lalu memandang pimpinan puskesmas yang sedang duduk di depanku itu, dengan berbatas sebuah meja.
"Saya nanti mau pulang bareng Mbak Weni, Dok," kataku beralasan. Karena jujur saja, aku merasa sangat tidak nyaman harus berduaan di dalam mobil ambulans. Aku khawatir istri dokter Hilan akan tahu dan cemburu padaku. Pasti akan menimbulkan masalah buatku.
Tiba-tiba dokter Hilan tersenyum yang tak bisa aku artikan, mendengar ucapanku.
"Saya tahu kalau itu cuma alasan kamu saja, Dian. Kamu pasti asal bicara. Karena hari ini Weni nggak masuk kerja," kata dokter Hilan, masih sambil tersenyum. Matanya menatapku tajam.
Aku tentu saja menjadi salah tingkah dan merasa sangat malu, karena ketahuan sudah berbohong. Dalam hati aku merutuki diri sendiri, kenapa harus menyebut nama Mbak Weni bukan yang lain.
"Ya sudah kalau kamu nggak mau pulang bareng saya, Dian. Saya nggak akan maksa kamu," kata dokter Hilan. Dia lalu beranjak dari tempat duduknya dan keluar dari ruangan KIA.
Namun entah kenapa, aku malah menyesali diri sendiri setelah dokter Hilan pergi dari hadapanku. Aku bahkan berharap dia akan masuk lagi dan mengajakku kembali untuk pulang bersama.
***
Sejak hari itu, kami, aku dan dokter Hilan, selalu berangkat dan pulang bersama. Dia selalu menjemput dan mengantarku pulang.Tentu saja hal tersebut membuat gosip di antara staf Puskesmas Pandan Wangi. Tapi aku tak peduli dan bersikap acuh menghadapi gosip yang beredar itu. Toh aku dan dokter Hilan tak pernah melakukan apa pun yang melanggar norma kesusilaan, begitu pikirku.
***
Sering sepulang kerja kami berdua tak langsung pulang ke rumah masing-masing, tapi jalan-jalan dulu kemana saja. Aku tak lagi merasa risih hanya berduaan di dalam mobil ambulans dengan dokter Hilan. Bahkan sekarang aku selalu menginginkan hal itu. Aku ingin senantiasa berlama-lama dekat dengannya.
Hubunganku dengan dokter Hilan semakin akrab dan mulai saling terbuka menceritakan kehidupan pribadi masing-masing. Dokter Hilan bilang, dia menikah karena sebuah kecelakaan. Pacarnya hamil diluar nikah, dan keluarga pacarnya itu meminta agar dokter Hilan mau bertanggung jawab atas perbuatannya. Perempuan itu adalah yang sekarang menjadi istrinya, begitu cerita dokter Hilan padaku. Tentu saja hal tersebut membuat aku menaruh sebuah harapan.
"Yang, nanti malam kita jalan yuk. Suntuk aku di rumah," ajak dokter Hilan suatu hari. Dia tak lagi memanggilku Mbak Dian. Aku dan dokter Hilan mempunyai panggilan istimewa di antara kami yaitu, SAYANG.
"Mau jalan ke mana?" tanyaku.
"Ke hotel," jawab dokter Hilan, membuatku terkejut tapi juga merasa senang.
Meskipun aku belum pernah menginap di hotel dengan seorang laki-laki, tapi aku tahu apa yang akan terjadi jika aku dan dokter Hilan cek in di sana. Tanpa pikir panjang, aku pun mengangguk setuju.
***
Malam harinya, aku dan dokter Hilan bertemu di tempat yang sudah kami sepakati bersama, agar orang yang melihat kami tak menaruh curiga. Aku bilang pada ayah dan ibu akan keluar sebentar. Aku lalu naik becak ke tempat tersebut. Dan ketika sampai di sana, Dokter Hilan telah menungguku di dalam mobil pribadinya. Kami lalu menuju ke kota dan cek in di sebuah hotel.
Di hotel itu, aku dan dokter Hilan melakukan perbuatan yang sebenarnya tidak boleh kami lakukan. Kami berdua berbuat layaknya seperti sepasang suami istri. Aku menyerahkan kegadisanku pada dokter Hilan dan aku sama sekali tak merasa menyesal sedikit pun melakukan hal itu. Entah kenapa. Mungkin karena aku mulai menyukai dokter Hilan. Pukul sepuluh malam kami cek out dari hotel.
"Yang, kita nikah saja yuk. Aku ingin bertanggung jawab atas atas apa yang sudah aku lakukan ke kamu tadi. Aku ingin kamu tahu, kalau aku memang betul mencintai aku dan ingin menjadikan kamu istriku," kata dokter Hilan, saat kami sedang dalam perjalanan pulang.
Aku diam saja, tak tahu harus menjawab apa. Aku memang menyukai dokter Hilan, tapi aku belum pernah berpikir untuk menikah dengannya. Apalagi dia sudah mempunyai anak dan istri. Meskipun aku pernah menaruh harapan padanya.
"Kamu kok diam, Yang? Mau nggak kamu nikah sama aku?" Kembali dokter Hilan bertanya, seraya tanganku digenggamnya.
"Terus nanti Ibu gimana kalau kita nikah?" tanyaku, maksudnya istrinya.
"Kita nikah dibawah tangan saja, Yang. Cuma kita berdua yang tahu. Sama orang tua kamu tentu saja."
Aku menghela napas panjang. Saat itu aku baru tahu, kalau dokter Hilan juga mencintaiku. Karena selama ini, tak pernah terucap dari bibirnya kalau dia mencintaiku. Kami menjalani hubungan tanpa pernah mengucapkan kata cinta. Awalnya aku berpikir dia hanya mencari kesenangan saja, karena kabar yang pernah aku dengar, dokter Hilan seorang playboy. Banyak perempuan yang jadi pacarnya, bahkan beberapa di antara mereka yang sudah bersuami.
"Aku pikir-pikir dulu ya, Yang," kataku setelah beberapa saat terdiam. Entah kenapa malah kata itu yang keluar dari mulutku. Bukannya mengiyakan ajakan dokter Hilan untuk menikah siri.
Pukul setengah dua belas malam mobil yang kami kendarai sampai di depan rumahku. Dokter Hilan langsung pergi, begitu pintu rumahku terbuka. Ayah yang membuka pintu, beliau sedang menonton acara TV, sementara ibu sudah tidur.
"Dari mana saja, Nduk. Tumben jam segini kok kamu baru pulang. Nggak biasanya kamu pergi sampai larut malam," tanya ayah, seraya memandangku heran. Sebab memang selama ini aku tak pernah keluar malam, apalagi sampai selarut ini.
"Dari main sama teman, Yah," jawabku singkat. Sembari berusaha untuk bersikap wajar dan biasa saja, agar ayah tak menaruh curiga padaku.
Aku lalu segera masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya, agar ayah tak bertanya lebih banyak lagi. Aku kemudian membersihkan badan, meskipun tadi di hotel sudah kulakukan. Berganti pakaian dan merebahkan diri di kasur.
Kupandangi langit-langit kamar. Aku mengingat kembali apa yang sudah aku dan dokter Hilan lakukan saat di hotel. Bagaimana kalau aku hamil? Bagaimana jika dokter Hilan ternyata berubah pikiran dan tak mau lagi menikah denganku? Bermacam pertanyaan menggelayut di kepala.
Tiba-tiba aku mempunyai ide untuk mendatangi seorang paranormal. Aku akan meminta pelet pengasihan padanya agar dokter Hilan semakin tergila-gila padaku. Aku pernah membaca di sebuah tabloid tentang hal itu.
Aku tersenyum. Ya, aku akan datang ke paranormal itu dan minta bantuannya.
***
Bersambung