Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Hari yang Berbeda

Dosa Masa Lalu

Part 2

***

Sekitar pukul setengah sembilan malam, pesawat telepon di rumahku berdering, saat kami bertiga, aku, ayah dan ibu, sedang menonton acara TV. Ibu yang mengangkat telepon itu, karena kebetulan jarak duduk beliau yang paling dekat.

"Nduk, ada telepon untukmu," kata ibu, sambil meletakkan gagang telepon di atas meja TV. Setelah beberapa saat beliau menerima panggilan telepon tersebut. Ibu lantas kembali duduk di tempat semula.

Aku menautkan kedua alis. Tentu saja aku merasa heran, sebab tak biasanya ada orang yang meneleponku pada malam hari. Apalagi dengan menggunakan pesawat telepon rumah. Kalaupun ada teman yang mempunyai keperluan denganku, mereka akan mengirim SMS.

"Dari siapa, Bu?" tanyaku.

"Dari dokter Hilan katanya," jawab ibu.

Dokter Hilan? Ada apa dia meneleponku malam hari? Dan dari mana dia tahu nomor telepon rumahku? Aku semakin merasa heran.

"Ayo itu teleponnya cepat diangkat, Nduk. Kok malah jadi bengong," kata ayah mengagetkan.

"Eh … iya, Yah," ucapku sembari beranjak dari duduk, lalu menuju ke meja TV.

"Hallo …," sapaku, setelah gagang telepon aku angkat.

"Malam, Mbak Dian. Sedang apa nih? Tadi yang angkat telepon ibu-nya ya," kata dokter Hilan di sambungan telepon.

"Iya, Dok. Maaf, ada apa ya Dokter menelepon saya malam-malam? Apa ada hal yang penting," tanyaku kaku, karena ada ayah dan ibu. Mereka pasti akan mendengar percakapan kami.

"Nggak ada apa-apa kok, Mbak. Saya cuma ingin ngobrol saja sama Mbak Dian. Atau Mbak Dian nggak enak ya, ada ibu-nya di situ?"

"Iya, Dok," jawabku terus terang. Aku memang merasa tak enak hati dengan ayah dan ibu. Terlebih lagi ibu, beliau tak berkedip memandangku dengan tatapan penuh tanda tanya.

"Oh … ya sudah kalau gitu. Besok saja kita ngobrolnya. Jangan lupa besok pagi saya jemput jam tujuh ya."

"Iya, Dok," jawabku dengan malas.

Dokter Hilan lalu menutup teleponnya. Aku kembali duduk.

"Siapa Dokter Hilan, Nduk?" tanya ibu, seperti dugaanku, beliau pasti akan menanyakan hal itu.

"Kepala Puskesmas Pandan Wangi yang baru, Bu. Gantinya dokter Ary yang mau kuliah lagi ambil spesialis penyakit dalam di UGM," jawabku menjelaskan.

"Ohh … kok cuma sebentar telepon-nya?" tanya ibu lagi sembari menatapku. Mungkin beliau agak curiga, tapi aku pura-pura acuh dan berusaha bersikap biasa saja.

"Iya, Bu. Katanya besok saja karena sudah malam."

Ibu tak bertanya lagi. Kami kembali asik menonton acara TV hingga pukul sepuluh malam.

***

Namaku Nirma Dian Arini. Aku anak tunggal, yang tentu saja seluruh kasih sayang kedua orang tua tercurah hanya untukku.

Sebetulnya ayah dan ibu menginginkan aku untuk melanjutkan kuliah di fakultas ekonomi, agar bisa melanjutkan usaha toko keluarga kami. Ayah dan ibu membuka usaha toko di lokasi pasar, yang diberi nama 'Toko Langgeng'. Mereka menjual berbagai macam jenis dan merk tas, sepatu dan sandal. Baik yang untuk anak-anak maupun orang dewasa, semua tersedia di Toko Langgeng milik ayah. Dari harga yang murah, sedang hingga yang mahal, semua ada di sana.

Namun, aku lebih suka melanjutkan pendidikan di bidang kesehatan. Sebab aku ingin segera bisa bekerja. Oleh karena itu, begitu lulus dari SMP, aku langsung mendaftar di sebuah SPK (Sekolah Perawat Kesehatan) dan setelah lulus, aku pun langsung melanjutkan ke D1 Kebidanan. Meskipun setelah selesai sekolah bidan, aku tak membuka praktik. Karena sepulang dari dinas di puskesmas, aku segera pergi ke toko milik keluarga kami. Hingga pukul lima sore aku baru pulang ke rumah, saat toko sudah tutup.

***

Keesokan harinya, pukul tujuh tepat, mobil ambulans Puskesmas Pandan Wangi sudah terparkir di halaman depan rumahku. Aku mengintip dari balik gorden, saat klakson mobil itu berbunyi.

Ternyata, dokter Hilan membuktikan kata-katanya. Gila betul, masa sepagi ini aku harus berangkat ke puskesmas. Belum juga mandi, aku membatin. Maka aku tak menghiraukan suara klakson mobil ambulans tersebut.

Tak lama kemudian, bel pintu rumahku berbunyi. Itu pasti dokter Hilan, gerutuku. Terpaksa aku yang membuka pintu, karena ayah dan ibu sudah berangkat ke toko.

"Selamat pagi, Dok," sapaku, begitu pintu terbuka.

Dokter Hilan tak menyahut. Keningnya berkerut. Beliau menatapku dari ujung kaki sampai kepala. Mungkin merasa heran. Entahlah, aku tak peduli.

"Gadis jam segini belum mandi? Terus mau berangkat kerja jam berapa?" tanya dokter Hilan dengan nada heran, seraya menggelengkan kepala.

Aku diam saja. Biasanya juga jam delapan aku baru berangkat kerja. Siapa yang suruh sepagi ini sudah menjemput, kataku dalam hati.

"Ya sudah, sekarang Mbak Dian cepetan mandi, saya tunggu di sini," titahnya, membuatku kaget tentu saja. Masa sih sampai seperti itu.

"Tapi, Dok, …"

Belum selesai aku bicara, dokter Hilan sudah memotongnya.

"Nggak ada tapi-tapian. Cepetan mandi dan kita berangkat. Atau akan saya kasih nilai buruk di DP3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan)," katanya kemudian.

Dengan perasaan sebal aku berlalu ke belakang. Mandi dan berpakaian rapi. Setelah itu kami berangkat. Di sepanjang jalan kami saling diam hingga sampai di puskesmas.

Puskesmas tentu saja masih sepi, karena baru pukul delapan pagi. Baru ada satu orang yang datang, yaitu Pak Nuri. Dia penjaga loket pendaftaran.

Dokter Hilan lalu mengambil absen, beliau menyuruhku dan Pak Nuri untuk absen dan tanda tangan. Setelah itu, beliau menulis huruf A yang berarti alpa di semua nama staf Puskesmas Pandan Wangi yang belum datang.

Ha tersebut tentu saja membuat heboh saat teman yang lain datang, dan melihat huruf A di nama mereka masing-masing.

"Perhatian ya untuk semuanya. Mulai besok pagi, jam tujuh kalian sudah harus ada di sini. Itu jam kerja. Tak ada alasan apa pun. Kalau keberatan, silakan mengajukan pensiun dini atau pindah dari sini!" kata dokter Hilan dengan tegas, membuat kami semua terdiam, karena memang benar apa yang beliau ucapkan.

"Silakan sekarang kalian bekerja sesuai dengan TUPOKSI-nya (Tugas Pokok dan Fungsi) masing-masing. Bidan Koordinator KIA, tolong ke ruangan saya dan bawa semua buku laporan bulanan tahun lalu," lanjut dokter Hilan.

Kami segera menuju ke ruangan masing-masing. Aku lantas mengambil semua buku laporan tahun lalu dan menyerahkannya kepada dokter Hilan. Hingga menjelang waktu pulang, aku baru keluar dari ruangan beliau. Menjelaskan semua hasil cakupan program tahun lalu dan menjawab semua pertanyaan seputar pencapaian tersebut. Betul-betul menyebalkan.

Sangat berbeda dengan dua pimpinan puskesmas sebelumnya, yang tak pernah menanyakan tentang hasil laporan yang aku buat, dokter Hilan bertanya dengan sangat detail setiap angka yang tertulis di dalam laporan. Mirip seperti sedang menghadapi ujian kelulusan saja.

"Terima kasih, Dian. Kamu ternyata memang cerdas. Wajar jika menjadi koordinator KIA di usia kamu yang masih sangat muda," ujar dokter Hilan di akhir acara 'perploncoan'ku. Aku hanya tersenyum datar menanggapi pujian beliau, meskipun dalam hati sebetulnya aku merasa senang.

***

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel