Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9 Sah

Bab 9 Sah

Senyum kebahagiaan masih terukir di wajah cantik Mariana. Saat membuka matanya, dia masih bisa melihat kedua orangtuanya. Mereka juga sempat sarapan bersama, sebelum akhirnya Mariana harus duduk manis untuk dirias.

“Ana, kamu cantik sekali,” puji Susi saat melihat putrinya keluar dari kamar dalam balutan kebaya pengantin berwarna putih. Susi yang sudah siap sedari tadi, menunggu putrinya di sofa. Dia mengenakan kebaya berwarna coklat keemasan.

“Ibu juga cantik sekali. Baru kali ini Ana melihat ibu secantik ini,” puji Mariana.

Susi tersenyum melihat putrinya. “Ayo duduk sini, Ana. Jangan banyak bergerak, supaya kamu tidak berkeringat.”

Susi menuntun putrinya untuk duduk di sofa sambil menunggu waktunya untuk menuju ke lokasi akad nikah. Setelah menyelesaikan tugasnya, orang-orang yang merias Mariana dan Susi langsung pergi dari kamar. Saat itu, hanya tinggal mereka berdua saja yang ada di dalam kamar.

“Ana, sebentar lagi kamu akan menjadi istri orang. Suamimu bukan orang sembarangan. Pak Mario adalah pengusaha yang cukup terkenal, dia juga pemilik perusahaan tempat bapakmu bekerja. Kamu harus bisa membawa diri. Jangan sampai melakukan tindakan yang mempermalukan suamimu,” pesan Susi.

Mariana terharu mendengar nasihat yang diberikan ibunya. “Maafkan Ana, bu. Ana masih belum bisa membahagiakan bapak dan ibu. Ana tidak menyangka akan secepat ini meninggalkan ibu dan bapak. Ana sendiri masih bingung karena harus menikah dalam usia semuda ini.”

“Manusia boleh membuat rencana, namun pada akhirnya rencana Tuhanlah yang bekerja. Tuhan sudah menyiapkan rencana yang jauh lebih indah dan lebih baik untuk kita. Kita hanya perlu menjalaninya dengan sebaik-baiknya.”

“Doakan Ana, bu. Semoga Ana bisa menjadi istri yang baik untuk Pak Mario. Ibu juga harus menikmati hidup bersama bapak,” pesan Mariana pada kedua orangtuanya. Gadis itu berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis.

Suara pintu kamar yang terbuka menginterupsi obrolan kedua perempuan berbeda generasi itu. Joko melangkahkan kakinya memasuki kamar. “Ana, sudah waktunya kamu turun.”

Rupanya, Joko datang bersama dengan beberapa perempuan yang juga mengenakan kebaya. “Mari, Nona. Kami akan membantu Nona Mariana menuju ke lokasi akad nikah.”

Mariana membiarkan mereka menjalankan tugasnya. Dia tidak pernah lagi menolak pelayanan atau perlakuan istimewa yang diberikan untuknya. Untuk apa membantah, kalau ucapannya tidak pernah didengar. Mereka semua hanya mendengar ‘perintah Mario’ saja.

Joko mendekati istrinya, membantunya bangkit dari sofa. “Bu, kuatkan hatimu. Sebentar lagi kamu akan bertemu dengannya. Kamu harus bisa menguasai diri,” bisik Joko agar tidak didengar oleh Mariana yang berjalan di depan mereka. Susi menatap suaminya dengan raut wajah yang susah diartikan. Setelah sekian tahun lamanya, mereka akan kembali bertemu.

“Seharusnya kita tidak membiarkan pernikahan ini terjadi, Mas. Aku takut dia akan mencelakai Ana,” bisik Susi.

“Mereka tidak akan mencelakai Ana. Mereka membutuhkannya untuk tetap hidup. Mereka pasti akan menjaganya dengan baik. Kita doakan saja yang terbaik untuk Ana,” bisik Joko sambil menggenggam erat tangan istrinya.

Susi menganggukkan kepalanya. Dia juga mengharapkan hal yang sama, kebahagiaan Mariana. Namun, dia masih tidak yakin, apakah ini memang jalan yang tepat untuk mereka semua?

Susi duduk di kursi yang sudah disediakan. Tanpa sengaja, matanya bertemu dengan Citra yang duduk di sisi lainnya. Susi menggenggam tas yang ada di atas pangkuannya.

Aku sudah pergi menjauh, sejauh-jauhnya dari kehidupan kalian. Aku sudah bahagia dengan keluarga kecilku. Tapi, mengapa kalian masih saja datang di kehidupan kami? Aku tidak akan tinggal diam kalau kamu sampai berani melukai putri kesayanganku,” batin Susi.

Susi berusaha keras mengendalikan dirinya. Bertemu kembali dengan orang dari masa lalunya membuat kilasan kenangan menyakitkan itu berputar kembali di kepalanya. Susi harus berusaha sekuat tenaga untuk tidak meluapkan amarahnya.

Susi berulang kali menghela nafas panjang, berusaha keras mengatur emosinya. Dia harus menahan air matanya. Sungguh malang nasib keluarganya. Setelah dia berhasil melarikan diri dari Manggala, kini Mariana yang terperangkap dalam pernikahan dengan Mario.

“Sah… Sah…”

Suara itulah yang mengembalikan kesadaran Susi. Diusapnya genangan cairan bening yang mengumpul di sudut matanya. Gerakannya begitu hati-hati, agar tidak merusah riasan wajahnya. Perempuan itu menatap ke sekelilingnya. Dia melewatkan jalannya prosesi akad nikah putrinya, karena sibuk dengan pikirannya sendiri.

“Ibu macam apa aku ini? Aku membiarkan putriku terlibat dalam pernikahan yang tidak seharusnya terjadi. Apa yang harus aku lakukan? Ana sudah resmi menjadi istri dari Mario,” gumam Susi pada dirinya sendiri. Riuh tepuk tangan yang memenuhi ruangan itu membuat gumamannya lenyap begitu saja.

“Halo, Susi. Kita bertemu lagi,” sapa Citra.

Susi bisa melihat dengan jelas sorot kebencian yang terpancar di mata perempuan di hadapannya. “Sebenarnya aku tidak pernah berharap untuk bertemu lagi denganmu, tapi ternyata Tuhan justru menyatukan kita seperti ini,” kata Susi sinis.

“Jadi, sekarang kamu menyalahkan Tuhan?”

“Aku tidak menyalahkan Tuhan. Aku hanya tidak menyangka akan bertemu lagi denganmu, Citra. Tidak hanya bertemu, bahkan putriku justru menikah dengan putramu. Drama apa lagi yang sebenarnya tengah kalian mainkan?”

Citra tersenyum penuh kemenangan. Dia bahagia bisa menyakiti Susi untuk kesekian kalinya. Dia sungguh bahagia bisa menyiksa perempuan itu.

“Anak-anak kita sudah resmi menikah. Ada baiknya kita lupakan masa lalu dan membuka lembaran baru, bukan sebagai sahabat atau saingan. Tapi, sebagai BESAN.”

Susi mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya. Dia berusaha keras menahan emosinya agar tidak meluap ke permukaan. Dia tidak ingin merusak hari bahagia putrinya.

“Aku pasti akan mengagalkan apapun itu rencanamu, Citra. Sejak dulu kamu tidak pernah berubah. Dasar perempuan ular!”

Usai berkata demikian, Susi membalikkan tubuhnya dan mencari suaminya. Acara akad nikah sudah selesai, Mario dan Mariana sudah berada di kamar ganti untuk berganti pakaian. Sementara para undangan lainnya sudah berpindah ke hall tempat resepsi akan berlangsung.

“Menggagalkan rencanaku? Jangan harap kamu bisa mengagalkan rencanaku! Aku akan melenyapkanmu terlebih dahulu, Susi. Sama seperti dua puluh satu tahun yang lalu,” gumam Citra.

“Ma, kenapa masih di sini?”

Panggilan dari putranya membuat Citra terkejut. Citra segera mengubah ekspresi wajahnya dan menatap putra kesayangannya. “Ada apa, nak? Mama hanya memastikan semua undangan menuju ke hall. Apakah kakakmu sudah selesai berganti pakaian?”

Mazhar menganggukkan kepalanya. “Mas Mario dan Mbak Ana sudah bersiap menuju ke hall. Om Martin sudah menunggu mama di hall. Ayo kita ke sana sekarang.”

Mazhar menuntun menuju ke hall, tempat resepsi pernikahan Mario dan Mariana akan dilangsungkan. Setelah mengantarkan mamanya ke tempat Martin menunggu, Mazhar melangkah pergi. Tugasnya sudah selesai, semua orang sudah berada di posisi yang seharusnya. Sekarang dia bebas melakukan apapun.

“Mas, aku lelah. Apa kita sudah boleh pergi dari sini?” tanya Maudy sambil meluruskan kakinya yang terasa pegal. Kalau aku pergi dari sini bersama Mas Mazhar, mama tidak akan marah padaku, lanjut Maudy dalam hatinya.

Mazhar melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. “Ayo kita kembali ke kamar saja. Kita sudah cukup lama berada di sini. Aku juga sudah lelah dan bosan di sini.”

Maudy langsung bangkit dari kursinya, dia melingkarkan tangannya di lengan Mazhar. Keduanya melangkah keluar dari hall. Banyaknya undangan yang disebarkan membuat resepsi pernikahan itu diadakan selama lima jam.

Kalau aku pergi dari sini bersama Mas Mazhar, mama tidak akan marah padaku, gumam Maudy.

Sungguh membosankan dan membuang-buang waktu, batin Mazhar.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel