Bab 8 Tutup Mulutmu
Bab 8 Tutup Mulutmu
“Mengapa pintunya ditutup? Aku ingin bertemu dengan bapak dan ibu.”
Mario memberikan tatapan tajam pada calon istrinya. Hal itu tentu saja membuat Mariana kembali diliputi ketakutan.
“Ingatlah untuk bertingkah seperti calon pengantin yang berbahagia,” kata Mario. Pria itu mengulurkan tangannya, membelai sisi wajah Mariana dengan punggung tangannya. “Kamu adalah Cinderella dan aku adalah pengeranmu,” lanjut Mario tanpa melepaskan pandangannya dari calon istrinya.
Mariana menganggukkan kepalanya. Usapan lembut Mario mengirimkan sinyal tanda bahaya ke otaknya. Tangan itu bergerak semakin turun, membelai sisi leher Mariana. Dengan tangan lainnya yang bebas, Mario menarik pinggang Mariana.
Tubuh mereka kini hanya terpisahkan oleh kain yang melekat di tubuh masing-masing. Tangan Mario masih berada di pinggang dan belakang leher Mariana. Mario mendekatkan wajahnya, hingga bibirnya menyentuh telinga calon istrinya.
“Pastikan mulutmu terkunci rapat, atau besok akan menjadi hari terakhirmu melihat kedua orangtuamu.”
Tubuh Mariana menegang dalam pelukan calon suaminya. Orang yang melihat mereka tentu akan mengira mereka tengah bermesraan. Posisi mereka memang mencerminkan hal itu. Tidak akan ada yang mengira kalau Mario justru sedang membisikkan kalimat bernada ancaman di telinganya.
“Aku… aku tidak akan cerita apapun,” kata Mariana dengan susah payah. Jantungnya berdetak kencang. Berduaan dengan Mario selalu membuatnya gugup dan ketakutan. Mariana masih belum tahu apa yang diinginkan pria itu. Semuanya masih menjadi tanda tanya besar baginya.
Mario melepaskan tubuh Mariana, membuat gadis itu akhirnya bisa bernafas lega. “Malam ini kamu boleh bersama orangtuamu. Nikmati malam terakhir kalian, karena setelah menikah kamu akan berpisah dengan mereka.”
Mario menekan bell yang ada di sisi pintu. Tidak lama kemudian, pintu kamar dibuka oleh Joko.
“Ana.”
Mariana langsung berlari ke pelukan bapaknya, memeluk erat pria yang selalu menjaga dan melindunginya selama ini. Meskipun Joko tidak bisa melindunginya dari Mario, namun berada di dekat bapaknya membuat Mariana merasa jauh lebih kuat.
“Selamat beristirahat Pak Joko. Kita bertemu lagi besok,” kata Mario.
“Terima kasih banyak, Pak Mario,” kata Joko masih dengan memeluk putri kesayangannya.
Mario melangkah meninggalkan bapak dan anak yang tengah melepas kerinduan mereka. Sudut bibirnya tertarik, membentuk seulas senyum samar di wajah tampan itu.
“Tinggal selangkah lagi, semuanya akan jadi milikku,” gumam Mario. Seulas senyum penuh kemenangan terukir di wajahnya.
Joko melepaskan pelukan putrinya, membimbingnya masuk ke dalam kamar. Di dalam sana, sudah ada Susi yang menunggu kedatangan mereka.
“Ibuuu.” Mariana langsung berlari memeluk ibunya.
Susi memeluk putrinya erat, mengobati kerinduannya karena tidak bertemu dengan putrinya selama tiga hari terakhir. “Ibu kangen, Ana.”
Air mata kebahagiaan membasahi wajah yang sudah dipenuhi keriput itu. Susi merasa tertekan karena tidak bisa bertemu dengan putri kesayangannya. Seumur hidupnya, Mariana tidak pernah jauh darinya. Mariana pun merasakan hal yang sama, dia tidak sanggup lagi menahan air matanya.
“Ana juga kangen sama ibu.”
“Sudah, sudah. Hentikan tangisan kalian. Besok putri kita akan menikah, apa kamu ingin matanya bengkak karena menangis semalaman?” tegur Joko.
Susi yang tersadar, menjauhkan tubuhnya dari putrinya. “Benar kata bapakmu, Ana. Besok kamu akan menikah. Kamu tidak boleh manangis lagi. Ayo, hapus air matamu.”
Mariana tersenyum kecil, dengan menggunakan punggung tangannya, diusapnya cairan bening yang membasahi pipinya. “Ibu juga tidak boleh menangis. Ana ingin ibu tampil cantik di hari pernikahan Ana.”
Setelah membersihkan wajah dan tubuhnya, Mariana mencari kedua orangtuanya. Mereka berdua tengah duduk di sofa sambil menonton televisi. Nampak jelas bahwa mereka tengah menunggu putri mereka.
“Ana, duduklah di sini bersama kami,” ajak Joko saat melihat putrinya keluar dari kamar mandi.
“Bapak dan ibu masih belum mengantuk?” tanya Mariana. Gadis itu mendudukkan diri di sofa yang masih kosong, menatap kedua orangtuanya dengan tatapan penasaran.
“Ada yang ingin kamu tanyakan padamu, Ana.”
“Apa itu, pak?”
Joko nampak ragu-ragu untuk bertanya. Dia takut Mario akan mencelakai keluarganya, kalau sampai dia membocorkan rahasia bossnya itu.
“Apa Pak Mario bersikap baik padamu?” tanya Joko pada akhirnya.
Pertanyaan dari bapaknya itu membuat jantung Mariana serasa berhenti berdetak. Dia sungguh tidak menyangka kalau bapaknya akan melontarkan pertanyaan seperti itu.
“Pak Mario memperlakukan Ana dengan baik. Keluarganya juga menyambut kehadiran Ana dengan baik, Pak,” jawab Ana. Hatinya terasa seperti diremas-remas. Dia merasa bersalah telah mengatakan kebohongan di hadapan bapaknya.
“Apa benar seperti itu, Ana?” tanya Joko kembali memastikan. Pasalnya, dia sama sekali tidak bisa mempercayai ucapan putrinya. Joko tahu persis tujuan Mario menikahi putrinya. Dia juga bisa melihat bahwa ada yang disembunyikan oleh putrinya itu.
“Iya, pak. Pak Mario bahkan memberikan banyak pakaian dan barang yang bagus untuk Ana. Mereka semua memperlakukan Ana dengan baik. Bapak dan ibu tidak usah khawatir, ya.”
Mariana menarik kedua sudut bibirnya, membentuk sebuah senyuman. Dia berusaha keras untuk terlihat bahagia di hadapan orangtuanya.
Biarlah aku saja yang menanggung semua penderitaan ini. Jangan sampai mereka tahu bagaimana perlakuan suamiku yang sebenarnya, batin Mariana.
“Syukurlah kalau Pak Mario memperlakukanmu dengan baik. Bapak dan ibu bisa melepaskanmu dengan ikhlas,” kata Joko pada akhirnya.
“Pak, ada yang mau Ana tanyakan. Apakah Pak Mario memecat bapak?” tanya Mariana. Sedari kemarin, dia ingin mengetahui nasib bapaknya pasca keluar dari penjara. Namun, belum sempat dia bertanya, Jimmy sudah menjemputnya. Mariana juga terlalu takut untuk bertanya pada calon suaminya.
“Tidak, Ana. Bapak masih tetap bekerja seperti sebelumnya. Pak Mario juga sudah membersihkan nama baik bapak.”
Mariana menghela nafas lega. Dia bersyukur bapaknya sudah kembali bekerja seperti biasanya. Dia bisa meninggalkan kedua orangtuanya dengan tenang. Semuanya sudah kembali seperti semula.
Malam ini adalah malam terakhirnya menikmati kebersamaan bersama dengan kedua orangtuanya. Malam terakhir dia bisa tidur bersama dengan ibunya. Mariana tidur sambil memeluk ibunya.
“Bu, untuk malam ini saja, Ana ingin tidur sambil memeluk ibu,” pinta Ana.
“Tidurlah, Ana. Besok adalah hari bahagiamu. Kamu harus banyak istirahat untuk memulihkan tenagamu. Besok akan jadi hari yang membahagiakan sekaligus hari yang melelahkan.”
Tentu saja melelahkan, karena aku harus mengenakan topeng seharian, berakting seperti perempuan yang beruntung dan berbahagia. Tersenyum pada setiap orang yang datang untuk memberikan ucapan selamat padanya.
“Iya, bu. Ayo kita tidur.”
“Mario tidak pernah menganggapku sebagai manusia. Dia tidak membutuhkan seorang istri. Baginya, aku hanyalah boneka yang bisa dibentuk dan didandani sesuka hatinya. Dia hanya membutuhkanku untuk menyempurnakan penampilannya di muka umum. Aku hanyalah boneka yang mengenakan aneka barang mewah pemberiannya. Potret kesuksesan dan kemewahan yang diberikan olehnya,” lanjut Mariana, dalam hati tentunya.
Mariana berusaha melindungi perasaannya. Toh, Mario tidak mencintainya. Pria itu tidak memiliki perasaan apa pun padanya.