Bab 7 Apa yang Sebenarnya Kamu Inginkan?
Bab 7 Apa yang Sebenarnya Kamu Inginkan?
Sejak kemarin, kerabat Mario sudah berdatangan dari berbagai penjuru Indonesia. Mariana sudah bertemu sebagian besar dari mereka. Masing-masing membawakan hadiah pernikahan yang tidak murah harganya.
Ada yang menyapa dan menyambutnya dengan hangat, entah itu tulus atau tidak. Ada yang menganggapnya angin lalu. Ada pula yang secara terang-terangan menunjukkan kebencian padanya
Mereka semua tahu latar belakangnya. Mariana si gadis miskin akan menikah dengan Mario, pengusaha kaya raya yang terkenal. Mereka semua beranggapan bahwa Mariana mendekati dan mengejar Mario untuk menguasai hartanya.
Tidak ada yang mengetahui alasan sebenarnya di balik pernikahan ini. Tidak akan ada yang percaya kalau Mariana terpaksa menerima pernikahan ini. Hingga saat ini, Mariana pun masih bertanya-tanya. Apa sebenarnya yang diinginkan Mario? Mengapa pria itu ingin menikahinya? Apa sebenarnya yang dilihat Mario dari dirinya?
“Sudah saatnya turun,” kata Mario pada calon istrinya.
Malam itu, Citra-mamanya Mario, secara khusus memesan restoran hotel untuk menjamu kerabat mereka. Mario pun secara khusus memesan seluruh kamar yang ada di lantai sepuluh dan sebelas untuk keluarganya.
“Baiklah,” jawab Mariana singkat. Gadis itu meletakkan lipstick yang baru saja digunakannya. Setelah memastikan riasannya rapi, Mariana mengayunkan langkahnya mendekati Mario.
“Berhenti di situ!”
Mariana menghentikan langkahnya yang sudah separuh jalan menuju ke pintu kamarnya. Mario berjalan mendekati calon istrinya, menatapnya tajam. Matanya memindai tubuh Mariana, memastikan semuanya sempurna. Tidak ada cacat pada pakaian maupun riasan sang calon istri.
“Tidak buruk. Baguslah kalau kamu bisa cepat belajar,” komentar Mario menilai penampilan calon istrinya.
Calon suamiku mengamati penampilanku dari berbagai sudut. Aku merasa seperti wanita murahan yang sedang diseleksi oleh pria hidung belang, batin Mariana menahan kekesalan di hatinya.
Kalimat yang seharusnya terdengar sebagai pujian, saat diucapkan oleh Mario terasa seperti hinaan di telinga Mariana. Entah riasan Mariana yang tidak sesuai dengan keinginannya, atau memang pria itu tidak pernah puas sebelum menghinanya. Mariana tidak bisa memperkirakan, mana yang lebih tepat.
“Berjalan ke arah pintu! Aku ingin melihat caramu berjalan.”
Mariana mengeraskan rahangnya, menuruti perintah dari calon suaminya. Selama dua hari ini, Mario mengurungnya di dalam kamar dengan seorang wanita paruh baya yang galak dan tidak berperasaan.
Pagi hari, Mariana belajar cara berjalan dan bersikap seperti putri bangsawan. Siang hari, Mariana belajar menggunakan make up. Malam harinya, akan ada serombongan orang yang berkumpul di kamarnya untuk memoles dirinya.
Wajah dan tubuhnya digosok dan diberi aneka ramuan dan wewangian. Rambut dan kukunya pun ditata dan dipercantik. Mariana tidak tahu apa yang mereka perbuat terhadap tubuhnya. Dia hanya bisa pasrah dan menerima semuanya. Segala protes dan keberatan yang diutarakannya tidak pernah didengar, semuanya berlalu seperti angin.
“Bagus.”
Mario menyusul langkah calon istrinya, melingkarkan tangannya di pinggang ramping itu. Dia puas melihat perubahan yang sudah dibuatnya. Mariana yang sekarang berdiri di sisinya sudah jauh berbeda. Calon istrinya tampil anggun dan menawan, tidak lagi seperti gadis desa yang memalukan.
“Selamat datang kakak dan calon kakak ipar. Kalian berdua tampak serasi. Kakakku yang gagah dan tampan bersanding dengan calon kakak iparku yang cantik dan anggun,” sambut Marcell-adik Mario yang sudah terlebih dahulu berada di restoran.
“Diam kamu! Jangan banyak bicara!” desis Mario kesal melihat tingkah adiknya. Mario berlalu dari hadapan Marcell dan membawa Mariana menuju ke meja utama, tempat ibu dan adiknya yang lain sudah berkumpul.
“Malam, Ma. Maaf kami datang terlambat,” sapa Mario. Pria itu menarik kursi bagi Mariana dan mempersilakannya duduk. Baru setelah itu, dia mengambil tempat di sisi gadis itu. Sikapnya benar-benar seperti laki-laki yang sangat mencintai calon istrinya.
“Tidak apa-apa, Rio. Mama juga pernah muda seperti kalian,” ucap Citra. Seulas senyum terukir di wajahnya. Usianya memang sudah tidak muda, namun kecantikannya masih terpancar kuat.
Melihat kedua calon pengantin sudah tiba di restoran, Martin bangkit dari kursinya. Pria itu berjalan menuju ke tengah restoran dan mengambil pengeras suara yang sudah disiapkan sebelumnya.
“Selamat malam saudara-saudaraku semuanya,” sapa Martin. Matanya menatap ke seluruh restoran, tempat keluarga besarnya berkumpul. Suara musik yang sebelumnya memenuhi restoran kini sudah dimatikan. Hening menyelimuti, kala Martin mulai menyapa mereka semua.
“Saya, Martin, kakak dari Almarhum Manggala, bapak dari Mario. Saya berdiri di sini sebagai perwakilan dari keluarganya Mario. Makan malam hari ini diadakan sebagai ajang silaturahmi.”
Hening sesaat.
“Kita semua mempunyai kesibukan masing-masing. Namun, melalui acara pernikahan Mario, kita akhirnya bisa berkumpul lagi. Besok, Mariana akan resmi menjadi bagian dari keluarga besar kita.”
“Seperti kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Makan malam hari ini, bisa menjadi sarana untuk kita semua saling mengenal. Kita semua bisa mengenal sosok calon istri Mario dari dekat. Hal yang sebaliknya, Mariana juga bisa mengenal keluarga besar Mario, yang mulai besok akan menjadi keluarganya juga.”
“Selamat menikmati makanan yang sudah disediakan. Selamat malam.”
Suasana hening saat Martin memberikan sambutan di tengah restoran. Seakan mereka memperhatikan dan mendengarkan penjelasan pria itu. Saat Martin akhirnya meletakkan pengeras suara yang digunakannya, saat itulah kesibukan kembali memenuhi restoran.
Ada yang sibuk makan, seakan mereka tidak akan bisa makan makanan hotel jika tidak ada acara seperti ini. Ada juga sekumpulan ibu-ibu yang sibuk memamerkan barang mewah yang menempel di tubuhnya. Mariana hanya menatap semuanya tanpa minat. Tidak ada yang mempedulikan kehadirannya.
Mario sudah menghilang dari sisinya. Sementara Mariana masih duduk di tempatnya semula. Untuk malam ini saja, dia bebas makan apapun yang ada di sana. Makanan yang masuk ke tubuhnya tidak diatur seketat hari sebelumnya.
“Nona Mariana.”
Sebuah suara membawanya kembali berpijak di bumi. Mariana memutar kepalanya, menatap asal suara yang menyebut namanya tadi.
“Pak Jimmy? Andakah yang memanggil saya tadi?”
Jimmy menggangguk singkat. “Saya sudah menjemput kedua orangtua anda. Apakah anda ingin bertemu dengan mereka?”
Rona bahagia langsung memancar dari wajah Mariana. Dia langsung menganggukkan kepala dan bangkit dari kursi.
“Mari, saya antar.”
Mariana menatap ke sekelilingnya, mencari Citra untuk berpamitan. Namun, banyaknya orang yang sedari tadi hilir mudik di restoran itu membuatnya pusing.
“Anda mencari siapa?” tanya Jimmy saat melihat Mariana masih diam di tempatnya sambil menatap ke sekeliling restoran.
“Saya mau berpamitan dulu dengan Tante Citra.”
“Tidak perlu, Nona. Ibu Citra sudah kembali ke kamarnya karena lelah. Mari, Nona.”
Mariana mengayunkan langkahnya mengikuti Jimmy. Dia ingin segera meninggalkan restoran ini. Dia sudah lelah memakai ‘topeng’ terus menerus. Semua yang ada di sekitarnya penuh dengan kepalsuan.
Jimmy membawa Mariana ke sebuah kamar yang berada di lantai yang sama dengan kamar yang ditempatinya bersama dengan Mario. Pintu kamar terbuka sesaat setelah Jimmy menekan bell.
Mariana tidak dapat menyembunyikan raut wajah terkejutnya, saat melihat Mario yang membukakan pintu untuk mereka.
“Terima kasih, Jim. Beristirahatlah, tugasmu sudah selesai hari ini,” kata Mario.
“Baik. Terima kasih, Pak. Selamat malam.”
Jimmy membungkukkan tubuhnya singkat kemudian melangkah pergi menuju ke kamarnya. Sementara itu, Mario melangkah keluar dari kamar dan menutup pintu di belakangnya. Tingkah laku calon suaminya itu membuat kening Mariana berkerut bingung.
“Mengapa pintunya ditutup? Aku ingin bertemu dengan bapak dan ibu.”