Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 Perintah Mario

Bab 6 Perintah Mario

Mariana mengerjapkan matanya, menatap ke sekelilingnya. Kamar yang asing. Ranjang yang asing. Semuanya asing. Mariana terduduk di ranjangnya. Dia berusaha mengingat-ingat di mana dirinya berada.

“Ah, aku lupa. Aku sekarang ada di hotel bersama calon suamiku,” gumam Mariana putus asa. Hilang sudah semangatnya hari ini, begitu pula senyuman di wajah cantiknya. Gadis itu bangun dengan enggan, merapikan kembali ranjang yang baru saja digunakannya.

“Semoga suasana hatiku menjadi lebih baik setelah aku mandi,” gumam Mariana sambil melangkahkan kakinya menuju ke kamar mandi. Gadis itu mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Untuk pagi ini, dia lebih membutuhkan siraman air dingin untuk menyegarkan tubuhnya.

“Astaga,” pekik Mariana terkejut saat keluar dari kamar mandi. Ada lima orang perempuan asing yang sudah berada di dalam kamarnya.

Seorang wanita paruh baya yang seragamnya terlihat berbeda dibandingkan keempat perempuan lainnya, berjalan mendekati Mariana. “Selamat pagi, Nona. Silakan duduk di sini.”

Perempuan itu mempersilakan Mariana untuk duduk di kursi yang ada di depan meja rias.

“Kalian… Kalian siapa? Mengapa ada di kamarku? Apa yang akan kalian lakukan padaku?” tanya Mariana ketakutan. Mariana justru berjalan mundur karena ketakutan.

“Kami datang atas perintah Pak Mario untuk membuat Nona terlihat cantik dan berkelas. Jadi, silakan duduk di kursi ini, supaya kami bisa segera menjalankan tugas,” kata perempuan itu tanpa basa-basi.

Lagi-lagi, Mariana hanya bisa pasrah. Sambil menghela nafas panjang, gadis itu duduk di kursi yang sudah disiapkan. Perempuan paruh baya itu mundur ke sudut ruangan, sementara tiga perempuan lainnya maju mendekati Mariana.

Seorang berdiri di belakang kursi, merapikan dan menata rambut gadis itu. Seorang lagi berlutut di sisi kursi, mempercantik kuku jari tangan dan kaki Mariana. Sementara ada satu lagi yang menangani wajahnya. Mariana cukup terkejut karena di atas meja riasnya sudah berjajar peralatan make up yang sangat lengkap.

Mariana hanya bisa pasrah menerima semua perlakuan itu. ‘Perintah Pak Mario’ adalah titah yang harus dilaksanakan oleh siapapun. Itulah yang sejak kemarin tertanam di dalam benaknya

“Silakan nona berdiri.”

Entah sudah berapa lama Mariana duduk di kursi itu. Duduk diam tanpa melakukan apapun membuatnya mengantuk. Hampir saja dia tertidur, saat akhirnya mereka memintanya untuk berdiri. Dia tidak mengetahui bagaimana rupanya saat ini. Mariana belum sempat melihat hasilnya di cermin. Dia hanya berharap mereka tidak membuatnya terlihat aneh.

“Apa yang kalian lakukan?” tanya Mariana saat salah satu dari perempuan itu menarik lepas ikatan bathrobenya.

“Kami hanya mau membantu anda berganti pakaian, Nona,” jawab salah satu perempuan itu datar.

“Letakkan saja pakaiannya di atas ranjang! Aku akan memakainya sendiri. Aku belum mengenakan pakaian dalam, jadi tolong kalian semua keluar dari sini,” kata Mariana menolak untuk dibantu.

“Mohon maaf, Nona. Pak Mario menyuruh kami untuk membantu Nona sampai selesai. Kalau Nona tidak berkenan, Pak Mario sendiri yang akan datang ke sini untuk membantu Nona.”

“Apa?”

Ucapan perempuan itu membuat wajah Mariana merona merah. Dia lebih tidak mau bertemu dengan Mario dalam kondisi polos seperti ini. Sudah cukup kemarin, dia diperlakukan seperti wanita murahan.

“Baiklah,” kata Mariana pasrah. Dia memejamkan matanya saat pegawai itu membuka bathrobe yang dikenakannya. Dia hanya menurut saja, saat mereka memakaikan pakaian di tubuhnya.

Pakaian dalam berwarna hitam, dengan model minimalis tapi harganya fantastis. Selanjutnya, mini dress brokat berwarna biru muda yang tampak sederhana namun kainnya begitu halus dan nyaman saat digunakan.

Apakah memang seperti ini kalau menjadi istri orang kaya? Rasa-rasanya aku sudah tidak memiliki hak atas tubuhku sendiri, pikir Mariana. Meskipun dia mendapatkan banyak pelayanan dan kemewahan, namun semuanya harus dibayar mahal. Mariana sudah kehilangan privasinya.

Tepat saat semuanya selesai, pintu kamar Mariana terbuka. “Sudah selesai?” tanya Mario singkat. Pria itu sudah rapi dengan mengenakan kemeja casual berwarna biru muda yang senada dengan gaun Mariana.

“Sudah selesai, Pak Mario,” jawab perempuan paruh baya yang sedari tadi mengawasi dari sudut ruangan.

“Terima kasih. Kalian semua sudah boleh pergi.”

Perempuan paruh baya itu menunduk singkat pada Mario kemudian membawa anak buahnya meninggalkan kamar Mariana. Setelah semuanya pergi, Mario melangkah mendekati calon istrinya yang saat ini berdiri di tengah kamar.

Pria itu berdiri mengamati penampilan Mariana. Setelah puas mengamati dari depan, pria itu berjalan ke belakang Mariana. Tangannya menyentuh pinggang ramping Mariana, membuat gadis itu tersentak kaget.

“Kamu cantik. Dengan penampilan seperti ini, kamu pantas berdiri di sisiku,” bisik Mario di telinga Mariana

Mariana hanya memejamkan matanya. Walaupun dia sudah berulang kali mendengar penghinaan yang dilontarkan Mario, namun tetap saja rasanya masih menyakitkan. Gadis itu menghela nafas panjang, berusaha menambah kadar kesabaran dan ketabahan untuk menghadapi penghinaan selanjutnya.

Tekanan tangan Mario di pinggangnya, membuat gadis itu kembali membuka matanya. “Ayo berangkat!”

Mariana bergerak mengikuti Mario. Dia tidak tahu ke mana pria itu akan membawanya kali ini. Kemarin, mereka baru pulang menjelang tengah malam. Mariana baru mengetahui bahwa Jason bukanlah pria sembarangan.

Kalau bukan karena pengaruh Jason di rumah sakit itu, Mariana tidak akan bisa menjalani pemeriksaan di luar jadwal seperti kemarin. Hasilnya bahkan akan keluar siang ini. Sungguh, kekuasaan dan uang bisa memuluskan segalanya.

Mariana bernafas lega saat Mario membawanya ke restoran hotel. Dia memang sudah kelaparan sejak tadi. Semalam dia tidak makan apapun. Mario tidak memberinya makan dan dia pun terlalu takut untuk meminta makanan pada calon suaminya itu.

Sesaat setelah mereka duduk, pelayan datang untuk mengantarkan makanan. “Makanlah! Banyak yang harus kita lakukan hari ini,” kata Mario singkat.

Mariana terkejut melihat menu sarapan yang ada di hadapannya. Semangkuk oatmeal dan granola. Sangat bertolak belakang dengan menu sarapan milik calon suaminya. Nasi goreng seafood dengan telor mata sapi di atasnya.

“Hmm, apa… apa aku boleh minta yang seperti itu?” tanya Mariana ragu-ragu. Dengan mengumpulkan segenap keberaniannya, gadis itu menunjuk nasi goreng milik Mario. Makanan yang ada di hadapannya terlalu asing, dia ingin makanan yang sama dengan yang tengah disantap oleh calon suaminya.

TRANG

Suara sendok yang beradu dengan piring membuat Mariana tersentak kaget. Gadis itu menunduk ketakutan, melihat kilatan amarah yang terpancar di mata calon suaminya.

“Makan makanan itu! Tidak usah banyak protes!” desis Mario dengan suara rendah. Suatu keberuntungan bagi Mariana, saat itu mereka tengah berada di tempat umum. Mario tidak akan meluapkan kemarahannya sembarangan.

Mariana mengambil sendok yang ada di meja, mengisinya dengan makanan yang ada di mangkuknya kemudian menyuapkannya ke mulutnya. Rasanya cukup aneh di lidahnya. Dia terbiasa makan nasi, bukan makanan seperti ini.

Dengan susah payah, Mariana mencoba menelan makanannya sekaligus menahan air matanya. Mariana bukan gadis yang cengeng. Namun, penghinaan dan perlakuan kasar yang berulang kali diterimanya membuat batinnya tertekan.

“Menurutlah! Hidupmu akan bahagia kalau kamu menuruti perintahku!”

Mariana menganggukkan kepalanya. Dia masih menundukkan kepalanya, menatap makanan di hadapannya yang masih tersisa separuh. Lenyap sudah nafsu makannya. Dia berusaha keras menelan makanan itu, hanya untuk bertahan hidup.

Aku bersyukur dia masih memberiku makan, meskipun makanan ini tidak cocok di lidahku. Setidaknya, aku tahu kalau dia masih membutuhkan aku dalam kondisi hidup, batin Mariana.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel