Bab 5 Pemeriksaan Tubuh
Bab 5 Pemeriksaan Tubuh
Tanpa menjawab pertanyaan calon suaminya, Mariana langsung berlari menuju pintu terdekat. Dia tidak tahu mana kamar yang dimaksud oleh Mario. Dia hanya ingin melarikan diri dari calon suaminya yang mengerikan.
Mariana langsung menutup pintu di belakangnya dan mengatur nafasnya. “Entah ini kamar yang benar atau tidak, yang penting aku harus segera mandi dan mencari pakaian,” gumam Mariana pada dirinya sendiri.
Gadis itu menuju ke pintu lain yang ada di dalam kamar itu. Tebakannya tepat, ternyata itu memang pintu menuju ke kamar mandi. Gadis itu melangkahkan kakinya memasuki kamar mandi mewah itu.
Pandangannya meneliti setiap sudut kamar mandi itu. Gadis itu takjub dengan kemewahan yang ada di dalam kamar mandi itu. Ada banyak botol yang berjajar di dekat wastafel. Mariana membaca setiap label yang menempel di sana.
“Hmm, wanginya. Aku pakai ini, deh,” kata gadis itu sambil mengambil botol berisi sabun dan shampoo dengan aroma mawar.
Tiga puluh menit kemudian, gadis itu sudah selesai membersihkan diri. Dia membuka lemari yang ada di dekat wastafel di sana dia melihat ada handuk bersih dan juga bathrobe. Setelah mengeringkan tubuhnya, Mariana keluar dari kamar mandi dengan menggunakan bathrobe.
Gadis itu menemukan satu set pakaian dalam dan juga sebuah gaun di atas ranjangnya. Tanpa pikir panjang, Mariana langsung mengenakan gaun itu. Gaun berpotongan sederhana namun membuatnya terlihat anggun. Dalam sekali lihat, orang akan tahu kalau harga gaun itu tidak murah.
“Cantik sekali gaun ini. Kalau bukan karena Pak Mario, aku tidak akan pernah bisa mengenakan gaun secantik ini,” gumam Mariana sambil memutar tubuhnya di depan kaca. Dia tersenyum saat melihat bayangan tubuhnya. Pakaian yang indah dan berkelas bisa mengubah penampilannya. Kini, dia tidak lagi tampak seperti gadis desa.
“Cantik.”
Suara dari pintu kamarnya, membuat Mariana berjengit kaget. “Astaga, Pak Mario…”
“Cepat bersiap! Sepuluh menit lagi kita berangkat,” potong Mario kemudian berlalu meninggalkan kamar Mariana lagi.
Ucapan singkat itu membuat Mariana bergegas menyisir rambutnya dan bersiap-siap. Jangan sampai dia terlambat, atau hal buruk lainnya akan menimpa dirinya. Satu hal yang dipelajarinya hari ini, jangan membantah atau menolak perintah dari Mario.
Saat melihat Mariana keluar dari kamarnya, Mario mengayunkan langkahnya menuju ke pintu. Dia terus berjalan menuju ke lift, tanpa mempedulikan Mariana yang berjalan di belakangnya. Sementara itu, Mariana bersusah payah mengejar Mario.
Mariana agak kesulitan berjalan karena mengenakan sepatu setinggi tiga sentimeter. Flat shoes miliknya sudah hilang entah ke mana. Jadi, mau tak mau dia mengenakan sepatu yang tersedia di kamarnya.
“Jalan lebih cepat tapi harus tetap anggun!” tuntut Mario. Mereka berdua sudah berada di dalam lift yang membawa mereka turun ke lantai satu. Saat itu, hanya ada mereka berdua di dalam lift itu.
Mariana mendengus kesal mendengar sindiran Mario. Gadis itu tidak menyahut, mulutnya tertutup rapat. Dia berdiri agak di belakang Mario, berusaha menetralkan deru nafasnya yang masih tidak beraturan.
Mario membawa calon istrinya ke sebuah rumah sakit swasta yang cukup terkenal di kota mereka. Gadis itu menutup mulutnya rapat-rapat. Dia hanya mengikuti langkah Mario. Dalam pikirannya, tidak ada gunanya dia menolak atau memberontak, Mario tidak bisa dibantah.
“Mendekat padaku!” perintah Mario saat mereka berjalan memasuki rumah sakit.
“Hah? Apa?” tanya Mariana bingung.
Mario yang tidak sabar, langsung merengkuh pinggang Mariana dan mencengkeramnya. “Ingat, kamu harus bersikap mesra denganku saat di tempat umum! Itulah kegunaanmu sebagai seorang istri!” desis Mario di telinga Mariana.
Mariana menggigit bibir bawahnya, berusaha keras menahan air matanya. Pupus sudah harapannya untuk hidup bahagia. Calon suaminya saja tidak menghargai dirinya. Sejak pertemuan mereka tadi, hanya penghinaan, makian dan perlakuan kasar yang diterimanya.
Mario menghentikan langkahnya di depan sebuah pintu. Dia menatap Mariana tajam. “Tersenyum! Pasang raut wajah bahagia!” desis Mario di telinga calon istrinya.
Mariana berusaha keras menarik kedua sudut bibirnya, membentuk sebuah senyuman terpaksa. Hatinya masih terasa sakit, tapi dia harus menunjukkan wajah bahagia di hadapan orang banyak. Hidupnya sungguh ironis.
Setelah melihat seulas senyum di wajah Mariana, Mario mengetuk pintu di hadapannya sebelum kemudian membukanya.
“Hai, Jason,” sapa Mario riang.
“Hai, Rio. Silakan masuk.”
Tangan Mario sudah berpindah dari pinggang Mariana ke tangannya. Dia menggenggam tangan calon istrinya saat memasuki ruang kerja Jason.
“Aku sudah terima undanganmu, Rio. Apa ini calon istrimu?” tanya Jason yang sudah bangkit untuk menyambut kedatangan sahabatnya.
“Iya. Kenalkan, ini Mariana, calon istriku. Sayang, dia adalah Dokter Jason, sahabatku sejak SMA.”
Jason mengulurkan tangannya pada Mariana yang langsung disambut dengan hangat oleh gadis itu. Mariana masih mengusahakan seulas senyum terpaksa saat berhadapan dengan Jason. Dia bisa melihat Mario meliriknya tajam, mengawasi segala tindakannya.
“Jason.”
“Mariana.”
“Ayo, silakan duduk.,” ucap Jason mempersilakan tamunya untuk duduk di sofa yang tersedia di ruang kerjanya. “Jadi, kamu benar-benar akan melakukan pemeriksaan itu?” tanya Jason.
“Tentu saja. Lakukan semua pemeriksaan yang aku minta kemarin. Aku ingin hasilnya sudah keluar besok,” jawab Mario santai.
“Kalau kamu bukan sahabatku, sudah aku tendang kamu keluar. Pemeriksaan seperti itu biasanya membutuhkan waktu tiga hari sampai satu minggu sampai hasilnya keluar. Kamu malah minta besok,” gerutu Jason.
“Hahaha. Mau bagaimana lagi, kamu tahu aku sibuk akhir-akhir ini. Baru hari ini aku bisa membawa calon istriku kemari. Aku tidak tega menyuruhnya menjalani pemeriksaan ini seorang diri.”
“Ya, ya, ya. Kamu memang orang super sibuk. Sibuk kerja sekaligus sibuk pacaran. Hahahaha.”
Jason bangkit dari sofa yang didudukinya, kemudian meraih telepon yang ada di meja kerjanya. “Halo, Suster Anita. Tolong ke ruangan saya sekarang.”
Beberapa menit kemudian, seorang perawat yang masih muda dan cantik datang ke ruang kerja Jason. Dokter muda itu langsung berkata, “Suster Anita yang akan mendampingi Mariana menjalani pemeriksaan. Mariana, silakan mengikuti Suster Anita.”
“Aku pergi dulu,” pamit Mariana pada calon suaminya.
“Aku temani, ya,” kata Mario yang juga ikut bangkit hendak menemani calon istrinya.
Jason terkejut mendengar ucapan sahabatnya. “Kamu tidak perlu ikut, Rio. Kita tunggu mereka berdua di kantin rumah sakit saja. Ayo,” ajak Jason sambil melingkarkan tangannya di bahu Mario.
Jason menggiring Mario menuju ke kantin rumah sakit yang ada di lantai satu rumah sakit, sementara Suster Anita membawa Mariana untuk menjalani serangkaian pemeriksaan yang diminta oleh Mario.
“Jadi, apa alasanmu menikahi Mariana?” tanya Jason saat mereka sudah berada di kantin rumah sakit.
Tidak banyak orang yang ada di kantin malam itu. Setelah memesan kopi, kedua pria itu duduk berhadapan di salah satu sudut.
“Selama bertahun-tahun kamu tidak pernah serius berhubungan dengan wanita. Sekarang, kamu tiba-tiba mau menikah. Aku cukup terkejut mendengar kabar itu. Jadi, apa yang sebenarnya tujuanmu?” tanya Jason lagi.
Jason duduk bersandar di kursinya, menyilangkan tangan di depan dada. Pria itu menatap Mario tajam, menunggu penjelasan dari bibir sahabatnya.
Mario menyesap kopi miliknya, kemudian ikut bersandar di kursinya. Seulas senyum terukir di wajah tampannya, membuatnya terlihat semakin menawan. “Aku hanya ingin memperbaiki kualitas hidupku. Mungkin, bersama Mariana semuanya akan jauh lebih baik.”