Bab 4 Bertemu Calon Suami
Bab 4 Bertemu Calon Suami
Usai berpamitan dengan kedua orangtuanya, Mariana masuk ke dalam mobil mewah yang terparkir di depan rumahnya. Joko dan Susi tidak mampu menyembunyikan kesedihannya. Mariana akan segera meninggalkan mereka.
Sore itu, sama seperti sore lainnya. Banyak tetangga Mariana yang menghabiskan waktu dengan mengobrol di depan rumah. Kali ini, topik pembicaraan mereka adalah Mariana.
Bagaimana tidak, selama dua hari berturut-turut, rumah gadis itu didatangi oleh pria yang mengendarai sebuah mobil mewah. Pemandangan yang sangat langka di desa itu. Bisik-bisik tetangga turut mengantarkan kepergian Mariana.
“Siapa pria itu? Dia akan membawa Ana ke mana?”
“Bukankah itu pria yang datang kemarin? Kenapa hari ini dia datang lagi?”
“Apa hubungan Ana dengan pria itu? Apa itu calon suaminya?”
“Wah, apa itu calon suami Ana? Apa dia akan menikah dengan pria yang kaya raya? Aku iri dengan nasib baiknya.”
Berbagai pertanyaan dan spekulasi terus bermunculan di antara para tetangga Mariana. Sementara itu, orang yang dibicarakan hanya bisa berdiam diri sambil menatap ke luar jendela. Hatinya dilanda kesedihan yang teramat sangat karena harus meninggalkan desa tempat kelahirannya.
Selamat tinggal, desaku. Selamat tinggal, kampung halamanku. Doakan aku, supaya aku bisa meraih kebahagiaanku, kata Mariana dalam hatinya.
Tiga puluh menit kemudian, mobil yang ditumpangi Mariana berhenti di depan sebuah hotel berbintang lima. Mariana terpesona melihat betapa tinggi dan mewahnya gedung yang ada di hadapannya.
Jimmy sudah turun dari mobil dan membukakan pintu untuk gadis itu. “Silakan turun, Nona. Kita sudah sampai.”
Ucapan Jimmy membuat Mariana kembali menapak ke bumi. “Ah, iya,” kata Mariana. Gadis itu turun dari mobil sambil melihat penampilannya. Wajahnya menunduk malu, karena dia hanya mengenakan gaun sederhana dan flat shoes yang sudah usang.
“Mari, Nona. Pak Mario sudah menunggu anda di dalam.”
Ucapan Jimmy membuat Mariana mau tak mau melangkahkan kakinya memasuki hotel itu, mengikuti langkah Jimmy yang berjalan di hadapannya.
Mariana terus berjalan sambil menundukkan kepalanya. Dia bisa merasakan banyak mata yang memandang dan membicarakan dirinya. Dia sungguh merasa malu dan tidak pantas berada di tempat semewah ini.
“Kita sudah sampai, Nona. Silakan masuk,” kata Jimmy.
Ucapan Jimmy membuat Mariana memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya. Gadis itu mengerjapkan matanya bingung. Dia sudah berada di lorong yang sepi dan ada sebuah pintu yang sudah terbuka di depannya.
“Pak Mario sudah menunggu anda di dalam.”
Mariana memberanikan dirinya untuk melangkah ke dalam kamar. Saat itulah, Jimmy menutup pintu kamar, membuat Mariana tidak dapat melangkah mundur lagi. Mariana melangkah perlahan memasuki kamar.
Gadis itu mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya, mengamati segala kemewahan yang ada di sekelilingnya.
“Lambat sekali kamu ini. Apa memang begitu tipikal gadis desa?”
Mariana tersentak kaget mendengar teguran itu. Pandangannya langsung terarah pada seorang pria yang berjalan mendekatinya.
“Ka-kamu siapa?” tanya Mariana. Refleks, Mariana mundur untuk menghindari pria yang terus berjalan ke arahnya. Langkahnya terhenti saat punggungnya menabrak dinding kamar.
Mariana mencengkeram erat tali tas yang tersampir di bahunya. Ketakutannya semakin besar saat pria itu semakin dekat dengannya. Gadis itu menundukkan wajahnya, berusaha meredakan debaran jantungnya yang semakin kencang.
Pria itu merenggut kedua pipi Mariana dengan kasar, membuat gadis itu terpaksa menatap ke arahnya. “Lihat aku baik-baik! Aku ini calon suamimu!”
Tubuh Mariana bergetar karena ketakutan dan putus asa. Jantungnya berdetak kencang, campuran antara ketakutan dan kekaguman pada sosok di hadapannya. Pria yang mengaku sebagai calon suaminya ternyata masih muda. Badannya tegap dan wajahnya pun cukup tampan.
Namun, ada satu hal yang membuat Mariana ketakutan. Tatapan tajam dari pria itu, seperti pedang yang siap menghunus.
“Pak… Pak Mario?” tanya Mariana ketakutan.
“Baguslah kalau kamu sudah tahu namaku.”
Mariana bisa bernafas sedikit lega saat akhirnya Mario melepaskan cengkeraman pada pipinya. Pria itu mundur beberapa langkah, kemudian mengamati Mariana dari ujung kaki hingga ujung rambutnya.
“Tidak buruk,” komentar Mario. Pria itu membalikkan tubuh Mariana dengan kasar hingga gadis itu menabrak tembok. Dengan kasar, Mario menarik resleting gaun Mariana hingga terbuka.
“Apa… apa yang kamu lakukan?” teriak Mariana ketakutan. Tangannya mencengkeram erat gaun di bagian dadanya.
“Aku harus memastikan tubuhmu bebas dari penyakit kulit. Aku ingin istriku bersih dari penyakit menjijikkan itu.”
Hati Mariana terasa sakit karena penghinaan Mario. Ingin rasanya dia membantah, tapi perlakuan Mario selanjutnya membuatnya mengurungkan niat.
“Aaargh,” pekik Mariana terkejut. Mario merenggut kasar gaun Mariana dan membuangnya ke lantai. Kini Mariana berdiri di hadapan Mario dengan hanya mengenakan pakaian dalam saja.
Tubuh Mariana bergidik karena hembusan penyejuk udara yang menerpa tubuhnya. Mariana semakin merapat ke dinding dengan kedua tangan yang berusaha menutupi area pribadi di tubuhnya.
Mario menatap gadis di hadapannya yang gemetar ketakutan. “Kamu mau buka sendiri atau harus aku yang membukanya?”
Mariana menatap pria di hadapannya dengan tatapan terkejut. “Aku tidak punya penyakit kulit. Aku tidak mau melepas pakaian dalamku,” jawab Mariana berusaha bernegosiasi dengan Mario.
“Jadi, itu pilihanmu.” Mario bergerak mendekati Mariana. Dalam sekali sentakan, dia menarik lepas pakaian dalam Mariana.
“Jangaan. Tolong jangan lakukan itu!” kata Mariana sambil berusaha menghalangi tangan Mario yang hendak merenggut penutup tubuh terakhir yang melekat di tubuhnya.
Mariana tak dapat lagi menahan air matanya. Calon suaminya memperlakukan dirinya seperti perempuan murahan. Dirinya seperti tak memiliki nilai di hadapan pria itu.
“Singkirkan tanganmu!” perintah Mario.
Mariana menggelengkan kepalanya putus asa. Dia masih berusaha menutupi area pribadinya dengan kedua tangannya. Dia semakin menempelkan tubuhnya di tembok, berusaha menutup tubuhnya yang kini polos tanpa sehelai benang pun.
“Tidaaaak!” Teriakan putus asa Mariana dan isak tangisnya menggema di kamar mewah itu. Namun, perasaan Mario seakan tidak terpengaruh sama sekali. Dia tetap memaksa Mariana untuk menyingkirkan tangannya.
Tanpa banyak kata, Mario menarik pergelangan tangan Mariana dan menahannya di dinding. Salah satu sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah seringaian kejam. “Tubuhmu ini sekarang sudah menjadi milikku. Aku bebas melakukan apapun pada tubuhmu. Ingat itu!”
Kata-kata ancaman dari Mario membuat Mariana memejamkan matanya. Air mata terus mengalir melalui sudut matanya. Hatinya terasa sakit. Penghinaan dan perlakuan kasar dari Mario sungguh melukai harga dirinya.
“Bersihkan tubuhmu! Setelah itu, aku akan membawamu untuk menjalani pemeriksaan tubuh secara keseluruhan.”
Mario melepaskan tangan Mariana kemudian melangkah pergi meninggalkan perempuan itu.
“Pe-pemeriksaan tubuhku? Apa lagi yang harus diperiksa? Bukankah kamu sudah melakukannya?” tanya Mariana memberanikan diri. Dia tidak bisa membayangkan ada orang yang akan menyentuh tubuhnya lagi.
Mario membalikkan badannya, menatap Mariana yang masih berdiri di tempatnya. “Sebelum menikahimu, aku harus tahu riwayat penyakitmu. Selain itu, aku juga ingin tahu kamu masih gadis atau tidak.”
Sebuah seringaian kejam kembali terukir di wajah tampan Mario. Dengan kedua tangan di saku celananya, pria itu kembali mendekati Mariana. “Atau, kamu ingin aku sendiri yang memeriksa? Untuk memastikan, apakah milikmu di bawah itu masih tersegel.”
Mata Mariana terbelalak kaget saat Mario menunduk, menatap inti tubuhnya yang berusaha ditutupinya dengan telapak tangannya.