Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Ikhlas (?)

Bab 3 Ikhlas (?)

Jimmy memenuhi janjinya. Keesokan harinya, Joko sudah dibebaskan dari penjara. Kepulangannya ke rumah disambut dengan isak tangis dari istri dan anaknya.

Susi langsung memeluk erat suaminya, sementara Mariana menatap kedua orangtuanya dari kejauhan. Air mata kebahagiaan mengalir melalui kedua mata indahnya.

“Mas Joko, akhirnya kamu pulang juga. Aku takut mimpi burukku kemarin menjadi kenyataan.” Susi menangis terisak-isak dalam pelukan suaminya.

Susi sungguh lega melihat suaminya pulang ke rumah dengan selamat, tak kekurangan sesuatu apapun. Dalam benaknya, orang yang dipenjara tidak akan pulang secepat ini. Dia tidak tahu, kalau uang dan kekuasaan bisa membuat hal yang tidak mungkin menjadi mungkin.

“Mimpi buruk apa, bu?” tanya Joko sambil mengusap punggung Susi, mencoba meredakan tangis sang istri.

“Kemarin aku bermimpi kalau Mas Joko masuk penjara. Syukurlah kalau semua itu cuma mimpi, Mas,” jawab Susi di sela tangis bahagianya.

Joko terdiam mendengar ucapan istrinya. Matanya bertemu dengan manik mata Mariana yang berada tidak jauh dari mereka. Putri kesayangannya itu hanya tersenyum kecil sambil mengusap cairan bening yang membasahi wajahnya.

“Ana, bapak mau bicara sama kamu,” kata Joko saat Susi tengah mencuci pakaian di belakang rumah.

“Ada apa, Pak?” Mariana duduk di kursi ruang tamu, berhadapan dengan bapaknya.

“Kesepakatan apa yang sudah kamu buat dengan Pak Jimmy? Mengapa Pak Mario bisa secepat itu mencabut tuntutannya?” tanya Joko pada putrinya.

Mariana terkejut mendengar pertanyaan bapaknya. “Darimana bapak tahu soal kesepakatan itu? Apa Pak Jimmy yang mengatakannya?”

“Bapak sudah lama bekerja dengan Pak Jimmy dan Pak Mario, Ana. Bapak tahu bagaimana perangai mereka berdua. Mereka tidak akan melepaskan mangsanya sebelum mendapatkan apa yang mereka inginkan.”

Mariana tertegun mendengar ucapan bapaknya. Sampai detik ini pun, Mariana masih bertanya-tanya untuk apa Jimmy membuat kesepakatan itu dengannya. Dia sama sekali tidak mengenal Mario. Bahkan, bertemu dengannya saja tidak pernah.

“Jadi, sekarang katakan sama bapak. Kesepakatan apa yang sudah kamu buat dengan Pak Jimmy?” tanya Joko untuk kedua kalinya.

“Ana… Ana setuju untuk menikah dengan Pak Mario, pak,” kata Mariana lirih. Gadis itu menundukkan wajahnya. Tangannya saling bertautan di atas pangkuannya. Untuk alasan yang masih belum diketahuinya, perasaan bersalah menyelimuti hatinya.

Joko meraup wajahnya kasar. Pria itu bangkit dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruang tamu mereka yang sempit. “Pernikahan ini tidak boleh terjadi! Apa yang harus aku lakukan sekarang? Ya Tuhan, tolong berilah Hamba-Mu ini petunjuk,” gumam Joko.

Mariana kebingungan melihat sikap bapaknya. “Pak, ada apa? Apa Ana membuat keputusan yang salah? Tapi, hanya itu satu-satunya cara untuk membebaskan bapak dari penjara.”

Joko kembali duduk di kursinya. “Ini jebakan, Ana. Kamu nggak seharusnya menerima kesepakatan itu. Lebih baik bapak mendekam di penjara, daripada melihatmu menikah dengan Pak Mario,” kata Joko dengan suara rendah. Ada penyesalan yang teramat sangat di dalam nada suaranya.

Mariana bangkit dari kursinya dan pindah duduk di sisi bapaknya. “Pak, kalau bapak dipenjara, bagaimana dengan ibu? Bapak tega melihat ibu sakit-sakitan di rumah? Ana tidak bisa melihat orangtua Ana menderita.”

“Tapi, bagaimana dengan kebahagiaanmu, Ana? Apa kamu akan bahagia menikah dengan Pak Mario? Dia tidak sebaik yang kamu bayangkan, Ana.”

“Mungkin ini sudah jalan takdir Ana, Pak. Ana ikhlas, pak. Tolong doakan kebahagiaan Ana.”

Joko memeluk putrinya erat. “Maafkan bapak, Ana. Bapak masih belum bisa jadi orangtua yang baik buat kamu. Bapak belum bisa mewujudkan keinginanmu untuk kuliah. Bapak juga tidak bisa memenuhi semua kebutuhanmu. Sekarang, kamu malah mengorbankan kebahagiaanmu demi menyelamatkan bapak. Maafkan bapakmu yang tidak berguna ini, Ana.”

Mariana menangis dalam pelukan bapaknya. Hatinya terasa sakit mendengar ucapan bapaknya. Meskipun dia bisa mengatakan ‘ikhlas’ pada bapaknya, namun jauh di lubuk hatinya yang terdalam, rasa ‘tidak ikhlas’ itu jauh lebih besar.

Semasa sekolah, Mariana tidak pernah mempunyai uang saku. Dia hanya membawa uang sekadarnya untuk naik angkutan umum, karena jarak sekolah dan rumahnya lumayan jauh. Masih bagus dia bisa membeli buku dan alat tulis. Seragam saja dia selalu memakai seragam bekas yang disumbangkan alumni di sekolahnya.

Puncaknya, di saat teman-temannya sibuk memilih jurusan yang mereka inginkan, Mariana harus berpuas diri dengan hanya menggenggam ijazah SMA. Joko tidak mampu membiayai kuliahnya.

“Sudah, pak. Bapak jangan menyalahkan diri sendiri. Nasi sudah menjadi bubur. Ana senang melihat ibu bisa tersenyum lagi saat melihat kepulangan bapak.”

Joko melepaskan pelukannya, kemudian menatap putrinya. “Bagaimana kalau kamu kabur saja, Ana? Bapak masih punya uang tabungan. Kamu bawa saja semuanya untuk bekal kamu di perjalanan. Pergilah yang jauh, Ana. Jangan sampai Pak Jimmy atau Pak Mario menemukanmu.”

Mariana terdiam mendengar usulan bapaknya. Usulan yang tampak menggiurkan. Kebebasan ada di depan matanya. Hampir saja dia menerima usulan bapaknya, namun ucapan Jimmy kemarin kembali terngiang di telinganya.

‘Pak Mario bisa membuat Pak Joko mendekam selamanya di balik jeruji besi. Namun, beliau juga lebih dari mampu untuk melenyapkan Pak Joko tanpa ada seorang pun yang mengetahuinya.’

Mariana langsung menggelengkan kepalanya. “Tidak usah, pak. Ana takut, pak. Bagaimana kalau bapak masuk penjara lagi? Kalau Ana kabur, nanti ibu sama siapa? Ana tidak mau, pak. Ana tidak mau kehilangan bapak dan ibu.”

“Keputusan yang bijaksana.”

Mariana dan Joko langsung menoleh ke arah datangnya suara. Keduanya nampak terkejut dengan sosok yang berdiri di pintu rumah mereka yang sedari tadi terbuka lebar. Wajah Joko langsung pucat pasi melihat kedatangan tangan kanan Mario itu.

“P-pak… Pak Jimmy. Si-silakan masuk, pak,” kata Joko dengan suara terbata-bata. Tatapan tajam dan wajah dingin Jimmy membuat ketakutan dalam diri Joko semakin besar.

Jimmy melangkah masuk ke dalam ruang tamu. Tatapannya memindai kedua orang yang ada di hadapannya, hingga berakhir pada sosok Mariana yang berdiri di belakang tubuh bapaknya.

“Nona Mariana, saya sudah memenuhi janji saya. Sekarang, giliran anda,” kata Jimmy singkat.

Jantung Mariana berdetak semakin kencang saat Jimmy berbicara padanya. Dengan mengumpulkan segenap keberaniannya, gadis itu berusaha mengangkat wajahnya untuk menatap Jimmy.

“A-apa yang harus saya lakukan, Pak Jimmy?” tanya Mariana dengan suara bergetar.

Ini adalah kali kedua Mariana berhadapan dengan Jimmy, namun aura yang terpancar dari tubuh Jimmy selalu bisa mengintimidasi dan membuatnya ketakutan.

“Pernikahan anda akan dilaksanakan tiga hari lagi. Undangan sudah tersebar dan seluruh persiapan pernikahan sudah hampir selesai. Saya datang ke sini untuk menjemput anda, Nona Mariana.”

Mariana membelalakkan matanya, terkejut dengan ucapan Jimmy. “Me-menjemput saya? Sekarang? Saya akan menikah? Tiga hari lagi?” tanya Mariana tidak mempercayai pendengarannya. Dia menatap Jimmy dan Joko bergantian.

“Anda benar. Semakin cepat semakin baik, karena Pak Mario sangat sibuk. Mari, Nona Mariana,” ajak Jimmy.

“Ta-tapi saya belum menyiapkan apa-apa,” kata Mariana berusaha menolak ajakan Jimmy dengan halus.

“Anda tidak perlu menyiapkan apa-apa. Semua kebutuhan anda sudah disiapkan oleh Pak Mario, sampai ke hal terkecil dan yang paling pribadi sekalipun.”

Ucapan Jimmy membuat wajah Mariana memerah karena malu. Gadis itu menundukkan kepalanya, untuk menyembunyikan wajahnya.

“Lalu, bagaimana dengan bapak dan ibu? Mereka boleh hadir di acara penikahanku, kan?” tanya Mariana. Wajahnya semakin terasa panas, saat dirinya menyebut kata ‘pernikahan’. Rasanya aneh dan canggung.

“Tentu saja. Pak Joko dan Bu Susi akan dijemput satu hari sebelum hari pernikahan. Kedua orangtua Anda tentu akan menghadiri upacara pernikahan anda.”

Mariana menghela nafas panjang. Dia sadar, dia sudah tidak bisa mengelak lagi. Sekarang, saatnya untuk membayar harga atas kebebasan bapaknya.

“Baiklah, tapi, ijinkan saya untuk berpamitan pada ibu sebelum pergi.”

“Silakan, Nona.”

Sepeninggal Mariana, Joko langsung menjatuhkan dirinya di hadapan Jimmy. “Pak, tolong lepaskan Mariana. Dia masih terlalu muda untuk menikah. Dia tidak tahu apa-apa, pak. Saya mohon, tolong jangan bawa Mariana.”

Joko sudah tidak mempedulikan harga dirinya. Yang ada di benaknya saat ini hanya satu, menyelamatkan putri kesayangannya dari pernikahannya dengan Mario.

“Nona Mariana menyetujui pernikahan ini atas kesadarannya sendiri. Saya tidak pernah memaksanya,” kata Jimmy bahkan tanpa memandang Joko yang bersimpuh di kakinya.

“Sebaiknya anda segera berdiri, sebelum Nona Mariana datang. Jika anda kembali mengacaukan rencana Pak Mario, jangan salahkan beliau jika anda tidak dapat lagi bertemu dengan istri dan anak anda.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel