Bab 2 Keputusan
Bab 2 Keputusan
Langit sudah berubah gelap, namun Mariana masih terdiam di kursi ruang tamu. Jimmy langsung pergi setelah memberikan penawaran pada Mariana. Masih ada waktu bagi Mariana untuk membuat keputusan. Sebuah keputusan besar yang akan mempengaruhi masa depannya.
“Apa yang harus aku lakukan? Haruskan aku menikah dengan Pak Mario? Tapi, siapa dia? Aku tidak mengenalnya, bertemu dengannya saja tidak pernah. Tapi, hanya itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan bapak,” gumam Mariana pada dirinya sendiri.
“Anaa… Anaa…”
Suara dari kamar sang ibu, membuyarkan lamunan Mariana. Gadis itu langsung berlari ke kamar ibunya.
“Iya, bu. Ana di sini,” kata Mariana yang sudah duduk di tepi ranjang sang ibu. Susi terduduk di ranjangnya sambil menatap ke sekelilingnya.
“Jam berapa ini, Ana? Bapakmu sudah pulang?” tanya Susi lirih namun masih bisa didengar oleh Mariana.
Hati Mariana bagai ditusuk ribuan jarum. Pertanyaan sederhana yang dilontarkan ibunya, membuat matanya memanas. Mariana menengadahkan kepalanya, mencoba mencegah mengalirnya cairan bening yang sudah mengumpul di sudut matanya.
“Bapak belum pulang, Bu,” jawab Mariana lirih.
“Apa tidak ada kabar dari bapakmu, Ana? Bukankah biasanya bapak kasih kabar kalau pulang terlambat?” tanya Susi khawatir.
Kening Mariana berkerut bingung mendengar ucapan ibunya. Mariana memutar otaknya, berusaha merangkai kata-kata untuk meredakan kekhawatiran ibunya.
“Mungkin bapak masih banyak pekerjaan, bu,” jawab Mariana. Hanya itu yang bisa diucapkan Mariana pada ibunya. Dia sungguh bingung harus mengatakan apa pada ibunya.
“Sudah malam, bu. Ibu makan dulu, ya?” Mariana berusaha mengalihkan pembicaraan, supaya ibunya tidak bertanya lagi tentang bapak.
Susi menggelengkan kepalanya. “Ibu lelah, Ana. Ibu tadi mimpi buruk. Ibu ingin istirahat saja.”
“Ibu mimpi apa?” tanya Mariana sambil membantu Susi berbaring kembali di ranjang. Dia mengambil selimut juga untuk menghangatkan tubuh sang ibu. Udara malam itu cukup dingin karena hujan masih mengguyur sejak sore tadi.
“Ibu bermimpi kalau bapakmu masuk penjara, Ana.” Gerakan Mariana terhenti saat mendengar jawaban ibunya. Terjawab sudah pertanyaan yang sedari tadi ada dalam benaknya. Rupanya, Susi menganggap kejadian tadi siang hanyalah mimpi buruk semata.
“Sebaiknya ibu istirahat dulu. Biar Ana yang menunggu bapak pulang.”
Susi menganggukkan kepalanya. “Tolong siapkan makan malam kalau bapakmu pulang nanti.”
Mariana memaksakan seulas senyum untuk menenangkan hati ibunya. Setelah memastikan ibunya tertidur lelap, Mariana mengambil secarik kertas yang ada di saku gaunnya. Kertas kecil yang adalah kartu nama Jimmy, pria yang datang ke rumahnya tadi siang.
Hatinya masih ragu-ragu, tapi Mariana tidak punya pilihan lain. Bapak harus segera pulang, batin Mariana.
Dengan langkah cepat, Mariana membawa payung lipatnya dan menerjang hujan menuju ke rumah Mutiara. Semakin cepat semakin baik, begitu yang ada dalam pikiran Mariana.
“Ana, ada apa kamu ke sini malam-malam?” tanya Mutiara yang terkejut melihat sahabatnya yang nekat datang ke rumahnya di tengah hujan deras.
“Aku mau pinjam ponselmu, Tia. Aku butuh untuk menelepon seseorang,” jawab Mariana dengan suara bergetar. Tubuhnya menggigil, payung lipat yang dibawanya tidak bisa melindungi tubuhnya dari hujan deras. Separuh pakaiannya sudah basah terkena air hujan.
“Masuk dulu, Ana. Aku buatkan teh hangat dulu, ya,” ajak Mutiara. Dia khawatir melihat sahabatnya yang terlihat pucat dan menggigil kedinginan.
Mariana menggelengkan kepalanya. “Aku cuma sebentar, Tia. Aku hanya mau pinjam ponselmu saja.”
“Iya, iya. Tapi, kamu masuk dulu, ya. Kamu kedinginan, Ana.” Mariana memilih duduk di teras rumah Mutiara, sementara sahabatnya itu mengambil ponselnya.
“Pakailah.”
Mariana langsung menekan sederet angka yang sudah dihafalnya di luar kepala.
“Halo, selamat malam, Pak. Saya Mariana,” sapa Mariana saat panggilan teleponnya diterima pada dering ketiga.
“Selamat malam, Nona Mariana. Apakah anda sudah membuat keputusan?” tanya Jimmy langsung.
Pertanyaan Jimmy membuat jantung Mariana berdetak semakin kencang. Gadis itu memejamkan matanya, mengumpulkan segenap keberaniannya. Keputusan yang dibuatnya tidak main-main. Ini berkaitan dengan masa depannya.
“Saya menerima tawaran anda,” jawab Mariana pada akhirnya. “Kapan bapak saya bisa pulang ke rumah?” tanyanya kemudian.
“Terima kasih atas keputusan bijaksana anda, Nona Mariana. Besok pagi, Pak Joko akan pulang ke rumah.”
“Baiklah. Terima kasih Pak Jimmy. Selamat malam.”
Mariana mematikan sambungan telepon, kemudian mengembalikan ponsel Mutiara. “Terima kasih, Tia.”
“Jadi, berita itu benar? Bapakmu sekarang ada di kantor polisi?” tanya Mutiara pelan. Dia takut membuat Mariana tersinggung karena pertanyaannya.
Berita tentang Pak Joko yang dipenjara sudah tersebar di seluruh penjuru desa. Begitu juga dengan pria bermobil mewah yang tadi datang ke rumah Mariana.
Anggukan kepala dari Mariana menjawab pertanyaan Mutiara. “Orang yang aku telepon tadi, dia adalah orang yang tadi datang ke rumah. Dia bisa membantuku membebaskan bapak dari penjara.”
“Apa yang dia inginkan darimu? Aku yakin dia tidak butuh uang. Lalu, apa yang dia minta, Ana?”
Seulas senyum pahit menghiasi wajah cantik Mariana. “Dia memang tidak butuh uang, Tia. Yang diminta oleh orang itu jauh lebih berharga daripada uang.”
Wajah Mutiara berubah pucat. “Kamu menjual tubuhmu pada pria itu?”
Gelengan kepala dari Mariana membuat Mutiara bernafas sedikit lega. “Kalau bukan uang dan bukan juga tubuhmu. Lalu apa yang dia minta, Ana?”
“Aku harus menikah dengan bossnya,” jawab Mariana pahit. “Entah pria itu masih muda atau sudah tua. Entah aku nanti jadi istri pertama atau istri mudanya. Entah pria itu baik atau tidak. Aku sama sekali tidak tahu tentang pria itu. Aku hanya tahu, namanya Pak Mario.”
“Setidaknya, dia pria kaya, Ana. Dia punya mobil mewah, tentu rumahnya juga besar dan mewah. Kamu beruntung bisa menikah dengan pria kaya. Setidaknya, kamu bisa pergi dari desa kecil ini dan tinggal di rumah mewah bersamanya.”
Wajah Mutiara berbinar saat mengutarakan isi hatinya pada Mariana.
“Kamu tidak perlu lagi memikirkan susahnya mencari uang. Kamu punya suami yang kaya, dia akan mencukupi semua kebutuhanmu. Kamu juga bisa minta kepadanya untuk membiayai kuliahmu. Membayangkan betapa kayanya suamimu, tentu dia tidak akan keberatan untuk membayar uang kuliahmu.”
Mutiara menepuk bahu Mariana, memberi dukungan atas keputusan besar yang diambil oleh sahabatnya. “Ana, dengan kamu menikahi Pak Mario, bapakmu terbebas dari penjara. Kamu pun bisa hidup nyaman bersamanya. Pikirkanlah itu.”
“Terima kasih, Tia. Setidaknya, sekarang aku sudah lega. Besok bapak akan pulang ke rumah.”
“Aku turut senang mendengarnya.”
Hujan sudah mulai reda, Mariana bangkit dari duduknya. “Aku pulang dulu, Tia. Terima kasih atas bantuanmu,” pamit Mariana pada sahabatnya.
“Jangan lupakan aku, kalau kamu sudah menikah nanti, Ana! Kirim pesan padaku kalau kamu sudah punya ponsel nanti,” pesan Mutiara yang hanya dibalas dengan senyuman oleh Mariana.
Mariana melangkah pulang ke rumahnya. Ucapan Mutiara tadi, sedikit banyak mempengaruhinya juga.
Apa memang hidupku akan berubah seperti itu? Seperti cerita dongeng saja. Aku tidak berharap banyak, aku hanya ingin hidup bahagia, kata Mariana dalam hatinya.