Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 10 Kamu Milikku

Bab 10 Kamu Milikku

Pukul sepuluh malam, acara resepsi sudah selesai. Mariana akhirnya bisa duduk dan meluruskan kakinya yang terasa pegal. Gadis itu sudah berdiri selama lima jam dengan menggunakan high heels setinggi lima sentimeter. Belum lagi dia harus terus memasang senyum bahagia di wajahnya. Sungguh melelahkan.

“Kembalilah ke kamar. Mereka akan membantumu,” kata Mario sambil menunjuk dua perempuan yang tadi menjemputnya di kamar.

“Tapi, aku lapar. Aku belum makan,” kata Mariana lirih. Perutnya terasa melilit karena belum terisi makanan sejak tadi.

Mario mendengus kasar. “Makan di kamar saja. Kamu bisa menyuruh mereka untuk membawakan makanan ke kamar.”

“Baiklah.” Mariana akhirnya mengalah. Gadis itu akhirnya bangkit berdiri dengan susah payah. Tenaganya sudah terkuras habis menyambut ratusan tamu yang hadir untuk memberikan ucapan selamat padanya.

Mario menuntunnya turun dari pelaminan kemudian menyerahkan istrinya pada dua perempuan yang sudah siap di sana. “Tolong antar istriku ke kamar. Setelah itu, pesankan makanan untuk makan malam istriku. Dia sudah kelelahan di sini.”

“Baik, pak.”

Kedua perempuan itu langsung melaksanakan perintah Mario. Mereka mengiringi Mariana berjalan menuju ke kamar Mario. Saat berada di lift, Mariana langsung melepaskan sandal yang dikenakannya.

“Nyonya, sandalnya…”

“Sudahlah, diam saja. Kakiku sakit sekali. Aku sudah tidak sanggup lagi mengenakan sandal ini. Sekarang sudah tidak ada siapapun di sini. Biarkan aku melepaskannya, daripada kalian harus menggendongku ke kamar.”

Kedua perempuan itu akhirnya diam. Mereka tidak membantah apalagi menegur istri dari Mario itu. Saat sudah berada di dalam kamar, mereka langsung membagi tugas.

Salah satu dari mereka langsung mengisi bak mandi dengan air hangat dan menyiapkan perlengkapan mandi untuk Mariana. Sementara satu orang lagi membantu Mariana melepaskan kebaya, sanggul dan pernak pernik lain yang melekat di tubuh pengantin perempuan itu.

“Nyonya, air mandinya sudah siap. Sebentar lagi makanan juga akan diantarkan ke kamar. Apakah ada lagi yang nyonya butuhkan?”

“Tidak ada. Kalau tugas kalian sudah selesai, kalian boleh pergi.”

Mariana yang hanya mengenakan pakaian dalam, melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Dia tidak peduli dengan kehadiran dua perempuan yang tadi membantunya.

Rasa lelah dan pegal yang dirasakannya terasa jauh berkurang setelah berendam air hangat. Satu jam dihabiskannya untuk berendam dan membersihkan diri. Mariana akhirnya melangkah keluar dengan wajah dan tubuh yang jauh lebih segar.

“Wah, makanannya sudah datang,” kata Mariana senang. Perutnya sudah protes minta diisi sejak tadi.

Tanpa berganti pakaian terlebih dahulu, Mariana langsung duduk di kursi dan melahap makanan yang ada di sana. Setelah menghabiskan makanan yang ada di meja, barulah Mariana melangkah menuju ke lemari pakaian.

“Baju apa ini? Mengapa semuanya seperti ini?” tanya Mariana terkejut. Matanya terbelalak saat melihat baju tidur yang ada di lemari. Tidak ada baju tidur yang pantas untuk dikenakan. Semuanya baju tidur dengan bahan yang tipis menerawang.

“Baju apa ini? Masa aku harus memakai baju ini? Baju tidur kurang bahan, aku bisa masuk angin kalau memakai baju seperti ini,” gumam Mariana.

“Apa yang kamu lakukan di sana?”

Mariana terlonjak kaget saat mendengar suara Mario dari arah pintu kamar. “Astaga, Pak Mario.”

“Pak? Kamu masih memanggilku ‘Pak’?”

“Lalu, aku harus memanggil apa?” tanya Mariana dengan suara bergetar. Dia belum sempat berpakaian dan Mario sudah masuk ke dalam kamar. Mariana sungguh takut Mario akan kembali melecehkannya.

“Panggil aku ‘Mas’. Akan terasa aneh kalau kamu masih memanggilku ‘Pak’.”

Mariana menganggukkan kepalanya. “Baik, Mas Mario.”

“Bagus. Itu lebih baik.”

Mariana memalingkan wajahnya saat melihat Mario mulai melepaskan pakaiannya. Baru kali ini dia berada di kamar yang sama dengan Mario. Jantungnya berdetak kencang, dia sungguh bingung harus berbuat apa.

“Apa yang kamu lakukan di sana? Mengapa tidak berpakaian? Apa kamu akan tidur dengan bathrobe seperti itu?” tanya Mario heran.

“Sepertinya aku akan tidur dengan pakaian ini. Aku tidak menemukan baju tidur yang bisa dippakai,” kata Mariana. Dia menutup lemari pakaian, kemudian melangkah menuju ke ranjang.

“Diam di sana!”

Mario berjalan menuju ke lemari pakaian. Dia mengambil satu set baju tidur berwarna hitam kemudian melemparkannya pada istrinya. “Pakai itu.”

Mariana membelalakkan matanya menatap baju tidur yang ada di tangannya. “Tapi, aku bisa masuk angin kalau memakai baju tidur setipis ini. Baju ini bahkan tidak bisa menutup tubuhku.”

Mario tertawa mendengar ucapan istrinya. Pria itu melangkahkan kakinya mendekati Mariana. “Baju itu memang didesain BUKAN untuk menutupi tubuhmu, cantik. Baju itu justru akan menonjolkan setiap lekuk tubuhmu!”

Mariana terkejut mendengar ucapan suaminya. Wajahnya merah padam seperti kepiting rebus. Dia sungguh malu kalau harus mengenakan pakaian yang diberikan oleh suaminya itu.

“Haruskah… haruskah aku mengenakan ini?”

“Tentu saja. Bukankah salah satu tugas seorang istri adalah menyenangkan hati suaminya. Aku akan senang sekali kalau kamu mengenakan baju tidur itu malam ini.”

“Tapi…”

“Kamu punya dua pilihan. Memakai baju tidur yang aku berikan, atau tidak mengenakan apapun. Pikirkan baik-baik, sementara aku membersihkan badan,” potong Mario.

Pria itu membalikkan tubuhnya dan berjalan masuk ke kamar mandi. Mariana masih memegang baju tidur dengan bahan tipis menerawang yang tadi diberikan oleh suaminya.

“Aku malu sekali memakai baju tidur seperti ini. Tapi, aku akan lebih malu kalau tidur tanpa memakai pakaian. Apalagi, malam ini aku tidur di sini, bersama dengan suamiku. Ah, apa yang harus aku lakukan?” gumam Mariana kebingungan.

Mariana masih sibuk dengan pikirannya. Suara gemericik air dari dalam kamar mandi akhirnya membuatnya tersadar. Gadis itu bangkit berdiri dan melepas bathrobe yang dikenakannya. “Lebih baik aku cepat mengenakannya, kemudian bersembunyi di balik selimut. Mas Mario tidak akan melihatnya,” gumam Mariana senang karena sudah mendapatkan solusi yang cemerlang.

Dalam waktu singkat, Mariana sudah selesai mengenakan baju tidur itu. Secara tak sengaja, dia melihat bayangannya di cermin. “Ya ampun, jadi begini penampilanku,” gumam Mariana terkejut.

Gadis itu langsung naik ke ranjang dan menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. Tepat setelah itu, suara gemericik air berhenti. Jantung Mariana berdetak semakin kencang, karena tidak lama kemudian terdengar suara pintu kamar mandi terbuka.

Mario keluar dari kamar mandi dengan mengenakan handuk yang melilit pinggangnya. Dia tersenyum geli melihat istrinya yang berpura-pura tidur di atas ranjang.

“Kamu pikir bisa kabur dariku. Mari kita lihat, kamu mengenakan baju tidur itu atau justru tidak mengenakan apapun di balik selimut itu,” gumam Mario.

Saat keluar dari kamar mandi, dia melihat bathrobe istrinya sudah teronggok di lantai. Jadi, pria itu yakin kalau Mariana tidak mengenakan bathrobe di balik selimutnya. Mario melepaskan handuk yang melilit di pinggangnya, melemparkannya asal di lantai.

Pria itu naik ke ranjang, menyibakkan selimut yang menutupi tubuh istrinya. Tenaganya tidak cukup kuat untuk menahan selimut itu lebih lama lagi. Mariana akhirnya merelakan selimut tebal itu lepas dari cengkeramannya.

Mario tertegun melihat keindahan di hadapannya. Sementara Mariana masih berusaha menutup matanya rapat-rapat. Wajahnya bersemu merah, dia sungguh malu pada suaminya sendiri.

“Kamu cantik sekali, Ana.”

Pujian yang keluar dari mulut Mario membuat Mariana akhirnya membuka matanya. Belum sempat Mariana bereaksi, suaminya sudah menerkamnya.

“Kamu milikku, Ana. Aku tidak akan melepaskanmu,” gumam Mario di sela-sela ciumannya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel