Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 11 Surga dan Neraka

Bab 11 Surga dan Neraka

Pria itu naik ke ranjang, menyibakkan selimut yang menutupi tubuh istrinya. Tenaganya tidak cukup kuat untuk menahan selimut itu lebih lama lagi. Mariana akhirnya merelakan selimut tebal itu lepas dari cengkeramannya.

Mario tertegun melihat keindahan di hadapannya. Sementara Mariana masih berusaha menutup matanya rapat-rapat. Wajahnya bersemu merah, dia sungguh malu pada suaminya sendiri.

“Kamu cantik sekali, Ana.”

Pujian yang keluar dari mulut Mario membuat Mariana akhirnya membuka matanya. Belum sempat Mariana bereaksi, suaminya sudah menerkamnya.

“Kamu milikku, Ana. Aku tidak akan melepaskanmu,” gumam Mario di sela-sela ciumannya.

Manik mata Mariana membulat sempurna kala bibir mereka saling bertautan. Sentuhan lembut yang membuat jantung Mariana berdetak semakin kencang.

Apa seperti ini rasanya berciuman? Bibir suamiku terasa hangat dan lembut, pikir Mariana.

Gadis itu sama sekali buta tentang hubungan dengan lawan jenis. Dia tidak pernah berpacaran, perlakuan mesra yang diberikan Mario seketika membuat otaknya lumpuh.

“Buka mulutmu, Sayang,” desis Mario di sela ciumannya.

Detik berikutnya, lidah Mario sudah menjelajah dengan bebasnya. Mariana hanya bisa menerima semuanya dengan pasrah. Otaknya tidak bisa lagi diajak bekerja sama. Nafasnya semakin memburu seiring dengan sentuhan Mario yang semakin tidak terkendali.

Tubuh Mariana menegang di bawah kungkungan suaminya. Ciuman pertamanya. Sentuhan intim yang pertama kali dirasakannya. Semuanya dilakukan oleh Mario, pria yang sudah sah menjadi suaminya, beberapa jam yang lalu.

“Ehhhmm.”

Erangan kenikmatan meluncur tidak terkendali dari bibir merah jambu itu. Bibir Mario bergerak menjelajahi tubuh Mariana yang tidak berdaya di bawahnya. Mariana hanya bisa memejamkan matanya, berusaha menahan desakan gairah yang semakin besar di dalam dirinya.

“Jangan ditahan, Sayang. Lepaskan semuanya,” bisik Mario. Dalam sekali hentakan, tercabik-cabiklah baju tidur yang dikenakan istrinya. Kini, baju tidur mahal itu sudah berakhir menjadi onggokan kain tidak berharga.

Jemari Mario terus menjamah setiap bagian tubuh Mariana. Bermain dengan bebasnya di atas tubuh istrinya. Jejak kepemilikan kini bertebaran di sekujur tubuh Mariana, hasil karya bibir Mario yang semakin lama semakin nakal.

“Maaass.”

Desahan demi desahan meluncur bebas dari bibir Mariana seiring dengan gerakan tubuhnya yang semakin tidak terkendali, membuat Mario kian bersemangat. Pria itu memposisikan tubuhnya di antara kedua kaki sang istri. Dia sudah tidak bisa menahan keinginannya lagi.

Beberapa kali dia mencoba untuk memasuki tubuh istrinya. Inti tubuh istrinya masih tersegel rapat, belum pernah disentuh apalagi dimasuki oleh seorang pria. Mario patut berbangga hati karena dialah yang pertama kali membuka segel itu.

Pada percobaan ketiga, barulah Mario berhasil menemukan jalan yang tepat. Senyum penuh kemenangan terukir di wajah tampan itu. “Akhirnya, aku menemukannya.”

Kedua tangannya mencengkeram pinggung sang istri. Dalam sekali hentakan, Mario menerobos masuk ke dalam inti tubuh istrinya.

“Aaarghhh.”

Desahan kenikmatan yang keluar dari mulut Mario bercampur dengan jerit kesakitan sang istri. Kedua suara itu menggema, memenuhi seisi kamar. Tanpa mempedulikan kesakitan sang istri, Mario terus bergerak mencari kenikmatannya sendiri.

Cairan bening mengalir dari sudut mata Mariana. Dia merasakan nyeri di inti tubuhnya. Pengalaman pertama yang menyakitkan, batin Mariana.

Sejuknya pendingin udara tidak mampu mendinginkan dua insan yang terbakar gairah di atas ranjang. Mario semakin mempercepat gerakannya, tidak dipedulikannya Mariana yang berusaha menahan nyeri karena tindakannya yang kasar.

“Tidak salah aku memilihmu menjadi istriku, Ana. Aaahh. Sensasi yang kamu berikan. Aaaahh, sungguh nikmat Ana,” racau Mario di sela gerakannya yang semakin tidak terkendali.

Beberapa saat setelahnya, pria itu mendesak semakin dalam, menyiramkan benihnya ke dalam tubuh sang istri. Mario membiarkan tubuh mereka menyatu untuk beberapa saat. Kepuasan yang sungguh berbeda dengan biasanya.

“Bangun dan bersihkan tubuhmu!” perintah Mario saat dia sudah mendapatkan apa yang diinginkannya. Pria itu menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Matanya terpejam, nafasnya masih memburu namun senyum kepuasan terukir di wajah tampan itu.

Rasa nyeri yang teramat sangat masih dirasakan Mariana di bagian bawah tubuhnya. Dengan susah payah, dia turun dari ranjang dan berjalan tertatih-tatih ke kamar mandi. Cairan bening mengalir deras dari sudut matanya.

Setelah mengambil haknya sebagai suami, dia kembali memperlakukanku seperti perempuan murahan, batin Mariana. Hatinya kembali terasa sakit karena perlakuan suaminya.

Mariana berdiri di bawah shower, mengguyur tubuhnya dengan air hangat. Namun, belum sempat dia keluar dari kamar mandi, Mario sudah menyusulnya.

“Aku masih ingin menikmati tubuhmu.” Ucapan singkat itu membuat wajah Mariana pucat pasi. Tanpa sempat mengeringkan tubuhnya, Mario sudah mendorongnya ke dinding.

Mariana seperti boneka bagi Mario, boneka pemuas nafsunya. Setelah berhasil membobol segel sang istri, Mario seperti ketagihan. Baru beberapa menit berpisah dari istrinya, dia sudah ingin menikmati tubuh istrinya lagi.

“Aku tidak salah pilih istri. Tubuhmu membuatku ketagihan, Sayang. Aku tidak pernah puas menikmati tubuh indahmu ini,” desis Mario di sela gerakannya di dalam tubuh sang istri.

Malam pertama menjadi malam yang tidak terlupakan bagi sepasang suami istri itu. Tidak terlupakan dalam artian yang berbeda.

Mario seperti mempunyai mainan baru yang menyenangkan. Dia tidak pernah bosan mengeksplorasi setiap sudut tubuh Mariana. Kulit putih Mariana kini sudah dipenuhi tanda kepemilikan darinya.

Bertolak belakang dengan suaminya, Mariana merasa seperti masuk ke dalam penderitaan yang tidak memiliki akhir. Suaminya terus menerus memaksakan keinginannya, tanpa memikirkan kondisi tubuhnya yang sudah kelelahan dan inti tubuhnya terasa panas dan berdenyut tidak nyaman.

“Malam pertama yang indah, Ana. Istirahatlah, besok kita akan mencoba gaya yang lainnya.”

Mariana masih memejamkan matanya, mencoba menetralkan nafasnya yang memburu. Detik berikutnya dia mendengar suara pintu dibuka kemudian ditutup kembali. Mariana membuka matanya, menatap ke sekeliling kamarnya.

“Sepertinya dia sudah pergi dari kamar ini,” gumam Mariana lirih. Tubuhnya terasa amat sakit, terutama di bagian bawah. Rasanya perih, panas dan tidak nyaman. Dengan mengumpulkan sisa tenaganya, Mariana menarik selimut untuk membungkus tubuh polosnya. Dia sudah tidak sanggup bangkit dari ranjang untuk sekedar membersihkan diri.

“Aku benar-benar seperti perempuan murahan. Perempuan bayaran yang ditinggalkan setelah puas digunakan,” gumam Mariana. Bukannya berbahagia, pengantin baru itu justru bergelung di balik selimut dan menangis terisak-isak.

Tubuh manusia juga memiliki batasannya. Saat tubuh berada di ambang batas yang mampu ditahannya, otak akan memerintahkannya untuk beristirahat. Dan di titik itulah Mariana kini berada. Kelelahan, kesedihan dan rasa sakit yang teramat sangat membuat Mariana akhirnya terlelap.

Lelah meratapi nasibnya yang begitu buruk. Lelah memikirkan bagaimana masa depannya. Belum lagi rasa sakit yang mendera sekujur tubuhnya. Walaupun sakit yang dirasakan tubuhnya jauh lebih ringan dibandingkan sakit yang mendera hatinya.

“Ana, ayo bangun.”

Samar-samar Mariana mendengar suara yang memanggil namanya. Matanya masih terasa berat. Rasa-rasanya dia baru saja memejamkan mata.

Saat kesadarannya sudah terkumpul sepenuhnya, Mariana mencengkeram selimut yang masih menutupi tubuhnya.

“M-mas, a-ada apa?” tanya Mariana terbata-bata. Tubuhnya masih terasa sakit. Dia takut, suaminya akan kembali mengajaknya bercinta. Dia sungguh tidak siap melayani kebuasan suaminya di atas ranjang.

“Kalau kamu ingin bertemu dengan kedua orangtuamu untuk terakhir kalinya, segera bangun dan bersiap. Satu jam lagi kita sarapan bersama.”

Mariana akhirnya menghela nafas lega, saat Mario beranjak dari tepi ranjang. Pria itu langsung pergi meninggalkan kamar begitu saja tanpa menoleh lagi ke arahnya.

“Syukurlah dia tidak berusaha menyentuhku lagi,” gumam Mariana penuh syukur. Langkahnya masih tertatih-tatih menuju ke kamar mandi. Nyeri masih dirasakannya, saat kakinya melangkah perlahan.

“Mungkin berendam air hangat bisa sedikit meredakan nyeri ini. Dasar suami tidak berperasaan, mau enaknya saja.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel