Bab 7. How Dare You!
Alea mengerjapkan matanya beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya matahari yang terbit dari sela-sela gorden tebalnya. Seminggu berlalu setelah kejadian memalukan sekaligus buruk tersebut. Bahkan, seminggu ini yang bisa Alea lakukan hanyalah menghindari Willy dan juga Venny secara bersamaan. Bahkan, sudah tiga kali dalam minggu ini ia tidak menghadiri perkuliahan pria itu.
Biarlah nilainya turun, asalkan ia tidak bisa bertemu dengan seorang William J. Henderson.
Pagi ini, ia berniat untuk ke rumah sakit menemui David sekaligus Gina. Dengan cepat, Alea mempersiapkan diri sambil memakai bedak seadanya. Wajahnya terlihat begitu natural dan tentu saja cantik. Belum lagi rambut hitamnya yang tergerai indah.
Dan ketika semuanya telah siap, ia melupakan satu hal bahwa Venny sudah menunggunya di ruang televisi.
“Kau yakin ingin pergi sendiri?” sejak kemarin Alea memang telah memberitahukan sahabatnya bahwa ia akan ke rumah sakit untuk menemui David sendirian tanpa ingin ditemani.
“Yakin bahkan sangat yakin, Darla.”
“Tidak ingin kutemani?” tanyanya sekali lagi memastikan.
Menghela napas pelan, Alea berusaha memberikan pengertian kepada Venny bahwa ia benar-benar ingin sendiri. Karena berada di dekat Venny membuatnya terlihat seperti pengkhianat. Atau benarkah dirinya sudah berkhianat walau itu bukanlah kemauannya?
Kejadian seminggu lalu membuatnya benar-benar seperti seorang pencuri yang dikejar polisi. Bahkan, sikap Alea yang mendadak menghindarinya itu membuat Venny curiga dan terus mendesak Alea untuk mengatakan apa yang telah terjadi, namun dia tetap bungkam.
“Aku akan pergi sendiri, Venny sayang. Jika niatmu ingin bertemu Pak William maka dia tidak akan di rumah sakit karena ini adalah jadwalnya mengajar di kampus, paham? Lagipula, setahuku baru tiga hari kau tidak bertemu dengannya.”
“Tiga hari itu sudah cukup lama untukku, Alea. Dan bagaimana kau bisa mengingat jadwalnya dengan baik?”
Alea merotasikan bola matanya ke atas, “Kau tahu apa yang aku lakukan ketika dihukum, bukan? Menyusun jadwalnya. Jadi, aku tahu benar kapan jadwal ia mengajar. So, I gotta go now, see ya later, Beibh.” Alea segera pergi setelah melambaikan tangan. Membiarkan Venny menempati apartemennya, lagipula masing-masing dari mereka memiliki kunci cadangan apartemen keduanya.
•••
Alea memarkirkan mobil sedannya dengan rapi sebelum memilih masuk ke dalam rumah sakit mewah bertingkat tersebut. Selain mengunjungi David, Alea sebenarnya juga ingin mengunjungi Gina dan menghabiskan waktu bersama gadis kecil itu sampai sore. Maka itu, ia tidak membiarkan Venny mengikutinya karena nanti sahabatnya itu pasti akan merasa sangat bosan. Lagipula, Alea tidak berbohong soal Willy yang sedang mengajar di Universitas mengingat ini adalah hari selasa.
Alea melangkah gontai sambil memutar kunci mobil di jemarinya. Ia bersenandung kecil dan berjalan ke arah ruangan David karena rencananya keduanya ingin mengajak Gina keluar, itupun jika lelaki single itu sedang tidak ada pasien.
Sampai di depan ruangan David, Alea melebarkan senyumnya dan tanpa mengetuk ia masuk begitu saja. Namun, senyuman itu luntur saat melihat orang yang paling dihindarinya ada disana,
“Shit!” mulutnya memaki untuk kali pertama. Sebelum kembali menutup pintu dengan rapat dan berlari menjauh.
Kenapa seorang William bisa berada di rumah sakit saat ini? Pikirnya sambil terus melangkah cepat.
“Alea, wait!”
Double shit!
Benar-benar tidak disangka Alea bahwa Willy mengejarnya dan dengan sekuat tenaga Alea berlari untuk menghindari pria itu.
•••
“Dav, kumohon... Pertemukan aku dengannya,” pinta Willy nyaris putus asa saat tidak sama sekali ada jalan untuk bertemu dengan mahasiswinya yang satu itu mengingat seminggu sudah kejadian itu berlalu.
David menaikkan sebelah alisnya dan berdecak pelan, “Pertama, kau menjadikannya sebagai ibu dari anakmu. Kedua, kau menciumnya. Ketiga,” mata David menyipit dan berkilat menggoda, “Aku takut kau akan membawanya ke ranjangmu. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi!”
“Damn, David! I’m not gonna do that!” bentaknya keras sambil menyugar rambutnya kasar.
“Seriously? Or maybe you’ve falling in love with her, heh?”
Willy menipiskan bibirnya kesal. Benci ketika meminta pertolongan justru mendapat olokan.
“Kalau kau tidak—”
Suara pintu terbuka itu memotong apapun yang hendak Willy sampaikan. Keduanya menoleh menatap sosok yang sedang mereka bicarakan menatap terkejut, terutama pada Willy sebelum terdengar umpatan halus dan pintu terbanting kasar,
“Shit!”
Brak!
Tak butuh waktu lama bagi Willy untuk mengejar sosok Alea yang berjalan tidak terlalu jauh di depannya. Ia berlari kecil tanpa memperdulikan sapaan dari beberapa suster maupun dokter junior yang dilewatinya.
“Alea, wait!”
Dan ternyata, panggilannya membuat langkah Alea semakin kencang. Hingga gadis itu masuk ke dalam sebuah ruangan yang sudah mulai sering ia kunjungi dua minggu ini. Tanpa disadari, Willy tersenyum simpul dan masuk ke ruang rawat inap milik pasien temannya.
“Dokter?” Gina melebarkan matanya sambil memberikan senyuman cantiknya pada Willy yang baru saja ia kenal minggu-minggu ini.
Willy tersenyum dan memilih untuk mendekat. “Bagaimana keadaanmu?”
“Baik-baik saja, dok.”
“Bagus. Apa makanmu teratur? Karena jika tidak, dokter tidak akan membiarkanmu keluar dari ruangan ini!” Willy memang akan selalu memantau Gina untuk perkembangan kesehatan makanannya. Dan inilah ancaman yang akan berhasil membuat gadis kecil itu makan dengan teratur.
Gina mengangguk semangat, “Tentu saja, dok. Aku makan teratur, dan kata suster Zia, berat badanku bertambah 3 kilo, dok.”
Senang rasanya mendengar bahwa Gina baik-baik saja. Karena sejak kejadian beberapa minggu lalu, Willy mulai memperhatikan Gina seperti ia memperhatikan Keylo. Lagipula, ibunya juga tampaknya rutin dalam menjenguk Gina bersama dengan Alea.
“Baguslah. Jika perkembanganmu semakin membaik, maka dokter akan memberikan hadiah untukmu.”
“Benarkah?”
“Tentu saja. Tapi, sekarang kau harus menjawab pertanyaan dokter dulu. Dimana Kak Alea?”
Mata Gina seketika menyipit karena senyumnya terlalu lebar. Ia menunjuk ke sudut ruangan.
Dahi Willy mengernyit sebelum mengangguk singkat dan melangkah ke arah toilet di kamar Gina. Ia mengetuk pintu tersebut,
“Alea, buka. Aku tahu kau di dalam! Alea,” seru Willy masih tidak mendapatkan jawaban. “Apa kau akan mengurung dirimu seharian di sana? Karena aku tidak akan pergi sebelum kita berbicara!” dan tampaknya ancaman itu berhasil mengingat bagaimana pintu langsung terbuka. Menampilkan sosok Alea yang menatapnya jengkel.
Tanpa aba-aba, Willy menggenggam erat jemari Alea dan menatap Gina dengan senyuman mautnya, “Terima kasih, Gina. Sekarang, dokter pinjam Kak Lea sebentar ya?”
“Lama juga tidak apa-apa, dok.”
Alea mendelikkan mata tidak setuju mendengar jawaban Gina, namun belum sempat ia memprotes, Willy lebih dulu menariknya ke luar ruangan untuk berbicara lebih privasi di ruangan pribadinya.
•••
“Duduklah,” titah William saat melihat mahasiswinya itu hanya berdiri diam di depan pintu. Tahu Alea kesal, namun Willy masih mempertahankan wajah datarnya. Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang ada saat ini mengingat seminggu lamanya Alea menghindarinya tanpa memberinya kesempatan untuk menjelaskan.
Mendengus. Alea memilih duduk di sofa yang serba putih. Ruangan Willy cukup luas dan juga nyaman. Matanya memindai sekitar sebelum terpaku pada satu bingkai foto yang terdapat sosok wanita yang jelas sangat cantik sambil tersenyum lebar menghadap kamera.
“Dia Keeyna. Isteriku,” gumamnya pelan saat melihat Alea terpaku pada mendiang isterinya. “Minum!” lanjutnya kemudian sambil menyerahkan segelas greentea hangat.
“Terima kasih,” balas Alea pelan sambil menyeruput greentea hangat tersebut mengingat tenggorokannya butuh cairan. Alea kembali meletakkan dengan hati-hati gelasnya di atas meja. “Apa yang ingin kau bicarakan?”
Willy menatap Alea lekat-lekat seakan fokusnya hanya tertuju pada gadis tersebut. Ia memilih berdiri tepat dihadapan Alea yang terduduk kaku di sofanya. “Pertama, kemana saja kau seminggu ini? Kedua, apa kau ingin mengulangi mata kuliahmu semester depan, huh? Kalau iya, maka aku akan mengabulkannya.”
Ditatap seintens itu membuat Alea bergerak gelisah. Tidak ada laki-laki yang pernah menatapnya mendikte seperti ini. “A-aku hanya tidak ingin berjumpa denganmu,” balasnya gugup seketika.
“Tidak ingin berjumpa denganku?” Willy menatapnya selidik. “Jangan katakan bahwa ciuman itu yang menjadi alasanmu menghindariku, Alea!”
“Lantas, kalau iya kenapa?!” sentak Alea tiba-tiba. Menatap kesal sekaligus marah pada sosok Willy yang masih bersikap santai seakan hal itu bukanlah sama sekali beban untuknya.
Willy melangkah semakin dekat hingga dengan mudah ia meraih tubuh Alea untuk dilingkupi oleh kedua lengan kokohnya. Mengukung Alea sehingga tidak bisa bergerak kemanapun.
“Kenapa kau merasa terganggu?” bisiknya pelan dengan wajah yang kian dekat, “Apa perlu kita mengulang kembali ciuman itu? Bukankah kau menikmatinya, hm?”
Terpaan napas diwajah Alea membuat dirinya seketika merinding. Alea bahkan memejamkan matanya untuk menahan gejolak yang tiba-tiba saja terlintas di benaknya. Tidak! Ini salah. Dengan segera, Alea membuka matanya dan melihat bibir keduanya nyaris saja menyatu jika ia tidak segera menendang selangkangan lelaki itu.
“Augh!” pekik Willy sembari melangkah mundur. Ia menatap Alea kesal, marah, dan juga kesakitan.
Alea tersenyum miring, sebelum melambaikan tangannya untuk keluar dari ruangan tersebut. Namun, ia sempat mendengar Willy berteriak keras sambil mengancam,
“How dare you, Alea! I won’t let you go.”