Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6. Penjelasan

“Mommy mengenal Alea hampir dua tahun lalu.” Eliza menjelaskan kepada Willy dan juga Venny yang penasaran akan hubungan keduanya. Ketiganya menatap Alea yang sedang bermain bersama Keylo dan juga Gina. Berdiri tidak jauh dari mereka sembari tertawa karena tingkah lucu Keylo. “Awalnya, Daddymu mengenalkan Mommy pada Gina yang sudah menjadi pasien tetap di rumah sakit sejak kecil.”

Mata Eliza memandang wajah cantik Alea sambil mengulas senyuman tipis. “Dan ketika Mommy mengunjungi Gina, di sanalah awal perjumpaan Mommy dan Alea. Mommy melihat Alea sedang menyuapkan makanan untuk Gina.” Secara bersamaan, ketiganya menatap Alea yang tampak ceria sambil mengacak rambut Keylo. “Seiring berjalannya waktu, Mommy dan Alea menjadi begitu dekat. Mommy juga mengetahui kegiatan Gina sehari-hari dari Alea. Dia juga yang membiayai semua pengobatan dan biaya operasi Gina walau Mommy sudah bersikeras untuk tidak memungut biaya pengobatan Gina. Tapi, Alea tidak ingin merepotkan Daddy dan Mommy maka itu dia menolaknya.”

“Lalu, kenapa Mommy tidak menceritakannya padaku?” desak Willy sambil menatap sang ibu penasaran.

“Mommy tidak pernah tahu bahwa Alea adalah mahasiswamu. Lagipula, sejak ayahnya Gina meninggal, Alea tidak pernah lagi mengunjunginya dan itu terjadi selama satu setengah tahun sampai hari ini.”

Dahi Venny mengerut seketika. Ia ingat selama satu tahun terakhir ini memang sikap Alea sedikit berbeda. Menjadi lebih dingin, pendiam, dan ketika berbicara hanya akan menyakiti hati orang lain. “Memangnya ada apa sehingga Alea tidak mengunjungi Gina lagi, Bibi?”

“Dia merasa bersalah sudah menyembunyikan status ayahnya. Alea hanya tidak ingin kondisi Gina memburuk dan David menyetujuinya.”

“David?” tanya Willy tidak percaya. “David sahabatku?”

Eliza mengangguk. “Ya, Nak. David sahabatmu dan sepupunya Alea.”

Dan Willy tidak mengerti entah kebetulan seperti apa lagi yang mampu menyangkut pautkan dirinya dengan Alea. Seakan ada benang merah yang terjalin secara tidak kasat mata.

“Kalau boleh aku tahu,” sela Venny pelan lalu berdeham. “Apa penyakit Gina, Bibi?”

Eliza menatap sendu sosok Gina yang tersenyum lebar dari kejauhan. “Kanker hati stadium IV. Harapan hidupnya sudah tidak ada.”

Astaga...

Venny tidak mampu untuk menahan air matanya yang keluar. Betapa menyedihkannya hidup seorang anak kecil yang bahkan tidak pernah tahu apa-apa tentang dunia luar.

Eliza tak lagi melanjutkan ceritanya saat melihat Alea, Keylo dan juga Gina mendekat ke arah mereka.

“Apa yang kalian bicarakan?” tanyanya sambil menatap Eliza dan Venny menyelidik. Sengaja mengabaikan Willy karena masih merasa canggung akibat dari Keylo yang sudah menjadikannya sebagai Mommy sebutan. Padahal, Alea sudah meyakinkan diri bahwa itu hanya sebutan, tetapi tetap saja rasanya berbeda. “Menggosipiku, bukan?”

Dituduh seperti itu, Eliza tersenyum dan menepuk bangku di sebelahnya. “Hanya sedikit,” sahutnya disertai tawa. “Kemarilah, Nak. Mommy sangat merindukanmu.”

Alea langsung menghambur ke pelukan Eliza yang akan tetap selalu hangat. Mengingatkan ia pada ibunya yang sudah ada di atas sana. “I’m sorry and I miss you, Mom.”

“Do you miss your Mama now, Darling?”

Alea tidak menjawab apapun dan hanya mengangguk dalam pelukan Eliza. Setiap kali melihat Eliza, seakan ia melihat ibunya sendiri. Dan ini sudah berlalu hampir dua tahun lamanya ia tak berjumpa dengan sosok pengganti ibunya itu. Bukankah ia bisa mengambil kesempatan ini untuk meredakan rasa rindunya?

Baik Venny maupun Willy hanya dapat memperhatikan hal tersebut dalam diam. Hingga suara Keylo memecahkan keheningan yang ada, “Daddy, aku lapar.”

•••

Alea berlari di koridor fakultas kedokteran dengan cepat. Sialan! Ia lupa bahwa pagi ini adalah mata kuliah Mr. William J. Henderson.

Sudah beberapa kali ia mengumpat dalam hati untuk dirinya sendiri mengingat betapa sulitnya ia bangun pagi. Saat letak lokalnya sudah di depan mata, Alea memelankan langkahnya, menarik napas berulang kali dan berharap bahwa tidak ada hukuman apapun yang akan diterimanya.

“Pagi, Pa—,” ucapannya terputus kala melihat tatapan tajam Willy menghunusnya, pun dengan teman-teman satu lokalnya yang sudah mendesah pelan mengingat Alea selalu mampu membuat mood mengajar Willy menjadi buruk karena keterlambatannya.

Ia berdiri tepat di depan pintu sambil menunduk memperhatikan sepasang kaki yang dilapisi sepatu boots yang ia kenakan.

“Silakan tutup pintu dari luar, Nona. Saya ingin mengajar!”

Yah, Willy tetaplah Willy yang tak bisa menolerir mahasiswanya yang masuk terlambat di setiap pagi.

“Ah, jangan lupa untuk ke ruangan saya setelah ini,” sambungnya di sertai dengan bunyi pintu yang tertutup rapat.

•••

“Alea,” seru Rexa yang baru saja sampai bersama dengan seorang laki-laki yang bernama Grey. Keduanya mendekati Alea yang sedang menghabiskan waktu di kantin fakultasnya.

Alea tersenyum tipis sembari kembali membaca novel Dan Brown dengan judul Angels and Demons.Novel yang membahas kontroversi "Antimateri", yang disebut- sebut sebagai energi alternatif masa depan, tetapi dapat menimbulkan efek negatif, yaitu menjadi senjata pemusnah massal.

“Kau tidak masuk?” Rexa memilih duduk di hadapan temannya itu. Sedangkan Grey memilih duduk di sebelahnya. Ia melirik jam tangannya, “Bukankah seharusnya kau masuk mata kuliah Pak William?”

“Dia pasti terlambat,” ketus Grey sambil menutup novel yang sedang Alea baca. “Kami sedang berbicara, Lea. So, please, don’t share your focus.”

Alea memutar bola matanya jengah. Memasukkan novel ke dalam tasnya dan menatap dua manusia yang sudah menghancurkan moodnya.

“Ya, aku di usir dan sebentar lagi aku harus menjadi pembantunya! Apa kalian puas?”

Rexa terkekeh pelan. “Sepertinya kau sangat betah menjadi pembantu Mr. William?”

“Jelas saja dia betah, Darla. Bukankah Mr. William adalah pria impian setiap wanita?”

Nada kemayu Grey membuat Alea semakin kesal. Tidak bisakah kedua temannya itu membantunya? Bukannya justru menghancurkan semua semangatnya sejak pagi?

“Lagipula,” sambung Grey dengan tatapan seriusnya. “Aku melihatmu bersama dengan Mr. William beberapa hari lalu. Kalian seperti sebuah keluarga kecil. Sebenarnya, apa yang sedang kau mainkan, Alea?”

•••

Menghindari pertanyaan Grey dengan beralasan ia harus menemui Willy adalah sebuah keputusan yang benar. Karena sebenarnya, Alea tidak tahu apa yang sedang ia mainkan saat ini. Dan untung saja Venny mengerti penjelasannya tentang panggilan Keylo untuknya.

Alea mendesah pelan, sudah beberapa menit ia berdiri tepat di depan ruang Mr. William. Dirinya merasa ragu untuk mengetuk pintu tersebut. Sedikit malas dan juga kesal setiap berhadapan dengan dosen mata kuliah Ilmu Penyakit Syaraf.

Ia mengepalkan tangan kanannya, dan bergerak mengetuk pintu yang terbuat dari bahan UPVC. Suara maskulin dari dalam ruangan menyuruhnya masuk. Tangannya membuka handle pintu dan melihat sosok Willy dengan kaca mata yng bertengger di hidung mancungnya sambil menulis beberapa berkas yang tidak Alea ketahui.

Ia melepaskan kaca matanya, menatap Alea dengan sorotannya yang tidak memiliki makna apapun. “Duduklah.”

Alea menurut. Duduk di depan Willy sambil menunggu hukuman yang akan dikerjakannya. Ini adalah kali pertama mereka bertemu sejak ia bersusah payah menghindari William.

“Nilaimu berkurang pada semester ini, Alea. Kuyakin kau tahu itu,” gumam Willy dan kembali memerhatikan rekap laporan nilai hasil studi mahasiswanya. “Kau meninggalkan banyak tugas dimata kuliahku, bahkan beberapa kali kau tidak masuk hanya karena terlambat.”

“Itu bukan salah saya,” sahut Alea cepat. Ia sama sekali tak ingin disalahkan.

“Jadi, menurutmu itu salahku?”

Tentu saja! Sahutnya dalam hati. Lagipula, siapa yang mencoba mengusirnya setiap dia terlambat?

Alea tak berani mengungkapkan isi hatinya karena takut jika nilainya kembali diturunkan. Padahal, mata kuliah lain, dosennya selalu membelanya dan memujinya.

“Ya sudah. Sekarang, kau pindahkan buku ini ke rak buku di sana. Lalu, salin ini hingga selesai.”

Alea hanya mengangguk karena tak ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi dengan dosennya. Ia bahkan sama sekali tidak membantah perintah Willy seperti biasanya. Sesaat ia sedang melakukan hukumannya, Willy bergumam pelan,

“Mengenai anakku...”

Gerakan Alea terhenti seketika. Ini yang membuat dia menghindari Willy selama beberapa hari ini. Ia enggan membahas tentang hal pribadi yang bersangkutan dengan putera dari dosennya ini.

“Pak—,”

“Sampai kapan kau akan menghindar?” sela lelaki itu cepat dengan nada yang tidak bisa dikatakan ramah. “Mau tidak mau kita harus membahasnya, Alea!”

Alea berbalik dan menatap Willy sambil memeluk buku yang hendak ia susun di dalam rak tersebut. “Pak, Keylo memanggil saya mommy karena—”

“Karena dia menyukaimu.”

Mata Alea melebar. Tidak menyangka jika Willy mengatakan hal itu sesimpel ini. “Pak, saya hanya membantu anda. Lagipula, saya menyayangi Keylo seperti saya menyayangi Gina. Mereka ibarat senja bagi saya, senja terjingga yang menoreh warna baru yang berarti untuk hidup saya.”

Willy memerhatikan dan menatap wajah Alea yang penuh senyuman itu dalam hening. Ucapan Alea baru saja membuat dadanya menghangat. Dan entah mengapa pada sosok Alea, ia temukan ‘sesuatu’ yang telah lama menghilang. Dengan perlahan, Willy bergerak melangkah maju mendekati Alea. Keduanya berdiri berhadapan dengan jarak yang dekat.

Alea menengadah, menatap bingung pada sosok Willy yang berdiri menjulang tinggi di hadapannya. “Pak—,” gumamnya gugup sambil mencoba mundur selangkah.

“Kau tahu Alea, aku membuat perjanjian dengan temanmu itu,” bisiknya sambil maju selangkah seakan tak membiarkan Alea kabur begitu saja. “Perjanjian jika dia bisa mengambil hati anakku dalam waktu tiga bulan maka aku akan memperistrinya. Tapi, jika tidak maka aku terpaksa memutuskan hubungan perjodohan kami.”

Alea tahu. Ia tahu semuanya. Namun, disaat seperti ini ia justru tak bisa mencerna apapun. Apalagi, ketika punggungnya sudah menabrak rak buku di belakangnya.

“Lalu, diluar dugaan. Puteraku justru tertarik padamu. Dia bahkan tak segan memanggilmu Mommy,” lanjutnya diiringi dengan langkahnya semakin merapat dengan badan mungil Alea. Tangannya bergerak mengukung gadis itu. “Menurutmu, apa yang harus kulakukan sekarang?” tanyanya dengan seduktif sambil membiarkan wajah mereka mendekat satu sama lain.

“P-pak—”

“Alea, sekarang bukan waktunya membantah. Tapi, menjelaskan bagaimana kau bisa mengambil hati puteraku begitu mudahnya? Atau— haruskah aku memperistrimu saja?” dan tanpa memberikan Alea kesempatan untuk menjawab, bibir Willy lebih dulu menyentuh bibir tipis Alea yang sudah menggodanya sejak awal. Menekan dan melumatnya dengan perasaan yang bisa dijelaskan melalui kata-kata. Membuat hasrat lelakinya yang selama ini terpendam kembali dengan lebih posesif dan juga seduktif.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel